Memulai

81 16 6
                                    

Apartemen Bright selalu ditinggalkan dalam keadaan rapi , lampu menyala redup dan dingin yang menyapa kala Bright menarik pintu apartemennya terbuka, ia mempersilahkan Metawin masuk terlebih dahulu, lalu disusul dirinya selanjutnya.

Warnanya lebih didominasi oleh abu dan putih, aromanya pengharumnya setengah ombak laut; namun begitu menyegarkan untuk dihirup. Metawin menatap sekeliling; pada meja makannya yang mengkilap, terdapat beberapa potong buah yang disajikan di tengah meja, lalu beralih ke sofa abu-abu lembutnya yang besar kemudian lampu tinggi di atasnya yang begitu mewah.

"Saya tinggal sendiri." Bright berucap saat melihat mata Metawin tertuju pada dua buah cangkir berisi kopi yang tidak habis di atas meja ruang tengah. "Tadi ada temen saya yang mampir."

Metawin harusnya ga perduli. Dia harusnya ga penasaran juga dengan apa yang Bright lakukan dan dengan siapa ia melakukannya.

"Ini," Bright berdeham, "di sini kamar kamu." Bright menunjuk sopan satu pintu berwarna hitam legam, ukiran kayunya indah, melekuk sempurna. "Yang di sebelahnya kamar saya." Bright melanjutkan.

Pintu kamar Bright berwarna abu-abu metalik, tepat bersisian dengan pintu kamar milik Metawin.

"Terima kasih," Metawin berucap pelan. "Oh, dan jangan terlalu formal, mas." ujar Metawin. "cukup aku-kamu aja, takutnya nanti kebawa kalau kita ketemu keluargamu."

Benar.

Bright langsung mengangguk patuh. Ia mengambil tas tangan di genggaman Metawin.

"Ayo saya-- eh aku antar ke kamar." Bright berkata dengan kikuk. Masih tidak biasa, namun harus mulai ia biasakan.

Bright menenteng tas tangan Metawin menuju ke pintu kamar, membukanya dengan sigap lalu masuk terlebih dahulu. Canggung. Ia merasa luar biasa canggung mendapati dirinya dan Metawin berada di satu ruang tidur. Metawin melangkah ke kasur, meletakkan ransel besar di pundaknya sembari menatap sekeliling.

"Maaf kalau kamarnya agak sempit."

Kamar tamu di apartemennya berukuran lebih sempit dan ruangan tidur master yang ia tempati. Muat satu kasur king-size, dua lemari tinggi, satu tempat rias, dan sofa mungil di sudut kamar. Bright belum sempat mendandani kamar ini, dindingnya berwarna broken-white, dengan gorden warna sebiru langit dan lemari besar warna abu-abu, sangat tidak sinkron.

"Kalau kamu ngerasa kamarnya terlalu sempit dan kamu butuh space banyak sa--aku bisa sewa unit apartemen di samping buat kamu," Bright menawarkan, menaruh tas tangan Metawin di atas kasur.

Mata Metawin terbuka lebar, dia mengibaskan tangannya kaget.

"G-gausah, mas. Ga perlu. Ini aja udah lebih dari cukup."

"Yakin?" Bright memastikan.

Metawin mengangguk pasti.

"Kamu boleh nambahin barang yang sekiranya kamu butuhin. Kamu cukup kasih tau aku aja." Ucapnya lagi.

Metawin tersenyum. "Iya, nanti kalau aku ada butuh sesuatu aku kasih tau." Ia lalu menyibak rambutnya, lalu bertanya dengan wajah menggemaskan, "aku mau mandi, boleh?"

"T-tentu," Bright menjawab kaku, "kamar mandinya ada di ujung lorong, aku udah siapin perlengkapan mandi kamu di sana."

Metawin menggigit bibirnya pelan, mengulum senyuman yang tidak tertebak.

"Makasih, Mas." gumannya. "Kamu baik banget."

Bright tidak bisa menjawab. Ia hanya tahu ia harus memperlakukan Metawin dengan baik. Tidak tahu alasannya apa. Mereka tidak kenal satu sama lain. Hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Bright hanya ingin melakukannya dengan baik, walaupun tidak untuk selamanya, setidaknya Bright sudah melakukannya dengan sungguh-sungguh.

.
.
.

"Aku tadi lupa bawa sabun sama shampoku," Metawin keluar dari kamar mandi dengan kaus berwarna hitam dan celana pendek selutut yang terlihat sangat menggemaskan di mata Bright. Ada handuk melingkar di lehernya, tetes air masih turun di ujung rambutnya yang basah, membuat bercak kecil di kausnya yang legam. "Jadi tadi aku pake sabun sama shamponya punya mas Bright, ehehe." akunya lucu, giginya yang seperti kelinci mencuat imut.

Bright ikut senyum dengarnya, "Gapapa." Bright tepuk sofa di sisinya, Metawin dengan patuh jalan mengitari sofa lalu duduk di samping Bright. "Mau makan?'

Metawin mengangguk, wajahnya bersih sekali. Putih. Mulus. Alisnya rapih, terbentuk sempurna.

"Mau makan apa?"

Metawin nampak berpikir, bibirnya bergerak lucu.

"Mau ayam,"

Bright seperti sudah mengenal lama Metawin. Kehadirannya terasa sangat menyenangkan. Menatap wajahnya begitu membuat Bright terhibur.

"Ayam apa? yang goreng? Bakar?"

"Yang pedes," ucapnya lucu. "Yang ada sambelnya banyak."

"Kamu suka pedes?"

Metawin mengangguk cepat. "Mas ga suka?"

"Suka. Biasanya kalau dibeliin ayam sambel yang ada levelnya mas minta yang paling tinggi."

Mata Metawin terbelalak kaget. "level sepuluh?"

Bright menggeleng sambil setengah tertawa. "Level satu dong."

Metawin langsunh cubit pinggang Bright. "Itu level paling rendah tauuu."

"loh, bagi mas itu level paling tinggi." lagi, pinggangnya dicubit kencang oleh Metawin.

"Aku aja paling tinggi bisa makan level delapan." ujar Metawin.

"Mas pesen makanannya sekarang, ya?" ijinnya lembut. Tangannya gatal ingin mengusap rambut Metawin yang masih basah.

"Oke," Metawin menyetujui. Patuh. Layaknya anak kecil.

"Suka bagian apa?" tanya Bright, tangannya sibuk men-scroll layar telponnya.

"Apa aja. Tapi mau paha atas deh."

"Kenapa ga dada?"

"Enggah, ah. Dagingnya kebanyakan."

"Kalau mas sukanya dada kiri."

Lagi, cubitan bersarang di pinggang Bright. Kali ini dibarengin sama ketawa Bright dan Metawin.

"Gimana bedainnya coba dada kanan sama dada kiri?" tanya Metawin sebal.

"Loh, bisa dong."

"Ah, ngawur."

Menyenangkan. Menggoda Metawin seperti sangat menyenangkan. Mengikis rasa canggung juga agar mereka lebih mengenal satu sama lain.

Entah akan berakibat baik, atau buruk untuk ke depannya. Bright tidak tahu.

"Oke, udah mas pesen. Metawin level lima, buat mas level paling tinggi."

"Level satu!" timpal Metawin.

"Benar sekali. Mas tinggal mandi, ya. Ini kamu cek aja. Biasanya nanti resepsionis bakal telpon kalau makannya udah sampe. Tapi kalau kamu mau cek, buka hape pas aja, ya. Ga di password kok."

Bright mengusuk rambut Metawin sebelum melenggang pergi ke arah kamar mandi.

Metawin meminta pada Tuhan agar tiga puluh hari ke depan berjalan lebih lambat dari biasanya.

Hanya kali ini saja.

[TBC]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RENT.LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang