0.1

412 15 1
                                    

Mereka bilang gedung berwarna abu-abu gelap dengan pilar-pilar hitam ini adalah sekolah favorit, dari anak-anak tidak normal. Otak mereka yang tercuci oleh iblis, kehidupan mereka yang hancur karena ulah orang tuanya sendiri, dan mereka... Yang benar-benar terlahir sebagai manusia berhati busuk.

Tidak ada wajah suci yang bersinar, pernah masuk kedalam gerbang tinggi hitam tersebut. Hanya murid berseragam hitam, bercelana hitam, dan berdasi abu-abu gelap. Mereka berangkat memanfaatkan kakinya, menaiki fasilitas umum seperti Bus, atau diantar menggunakan mobil dan dilempar dari dalam oleh seseorang.

Tidak ada, murid yang benar-benar terlihat normal.

Pada suatu pagi, sekolah tanpa nama yang memiliki reputasi sangat buruk itu membunyikan bel nya dengan nyaring. Gendang telinga para murid cukup peka, sehingga mereka berlari menuju tempat belajarnya masing-masing.

Tidak terkecuali, tiga siswa dan dua siswi yang baru saja datang. Penampilan mereka terlalu menarik jika dibandingkan dengan murid yang lain. Juga, wajah mereka yang sama sekali tidak memancarkan kesedihan. Benar-benar hidup bahagia, atau berhasil dalam menyembunyikan itu semua?

"Siapa yang menjadi pengajar pertama kelas kita, Akuma?" tanya lelaki yang paling tinggi, ia bernama Azazel.

"Kurasa guru ceria yang gemar tertawa dan mencari perhatian," balas Akuma. Dia seperti murid populer yang menjadi sumber ketakutan bagi semua murid.

Tidak ada yang menyeramkan di wajah putih Akuma. Dia hanya bersifat dingin, berwajah datar dan memiliki pikiran lebar sehingga bisa memutar mu, melempar mu, bahkan membunuhmu didalamnya. Akuma juga menjadi ketua dari gerombolan ini, keempatnya yang berhati jahat akan terlihat jauh lebih malaikat jika dibandingkan dengan Akuma.

Akuma, lelaki jahat yang terlihat paling normal.

Mereka berlima pun memasuki sebuah kelas dengan dinding berwarna gelap. Sumber cahayanya hanya dari sinar matahari yang memasuki celah jendela. Seorang wanita berpakaian formal dengan warna bertabrakan memasuki kelas.

Jas kuning, celana biru dan sepatu putih yang guru itu kenakan, sedikit membuat mata mereka perih. Namun tidak satupun berani mengutarakan keresahannya. Wanita itu terlalu banyak tersenyum, mereka hanya tidak ingin membuatnya pudar.

"Selamat pagi semuanya!" ucap guru tersebut, menyapa dengan ceria.

"Selamat pagi," semua murid menjawab dengan nada hampir sama.

"Tampaknya kelas kita mendapati dua murid baru, mereka datang hari ini," ujar Mrs. Tistana.

"Siapa?" tanya seorang gadis berambut pendek yang duduk di bangku paling depan. Pandangan kosongnya menatap Mrs. Tistana dengan penuh tanya.

Seluruh kelas mendengar sebuah ketukan dari luar, secara bersamaan seluruh kepala itu menoleh. Sang guru mengambil alih, ia berjalan mendekati pintu hitam, lalu membukanya.

"Silahkan masuk,"

Akuma dan teman-temannya terlihat tidak peduli tentang murid baru. Mereka berlima yang duduk di pojok paling belakang, hanya bisa berpikir bahwa siapapun itu hanyalah anak tidak berguna yang memiliki penyakit mental.

Hingga, dua anak dengan jenis kelamin berbeda memasuki kelas. Yang perempuan berjalan terlebih dahulu, lalu disusul oleh yang laki-laki. Anehnya, wajah mereka bersinar, mata yang penuh dengan kebahagiaan, juga ujung bibir yang sedari tadi tertarik.

"Perkenalan diri kalian," perintah Mrs. Tistana.

"Perkenalkan, namaku Rebecca," ujar yang gadis, terdengar begitu lembut dan ceria.

"Namaku Jacob," ujar yang laki-laki. "Kami berdua adalah teman karib yang hidup bersama dari kecil," lanjut Jacob menatap Rebecca dengan senyuman tulus.

Semuanya terkecuali Akuma dan keempat temannya bertepuk tangan. Satu persatu sudut bibir mereka tertarik dan menciptakan senyuman. Akuma terkejut dan heran. Bagaimana bisa dua anak baru itu membuat wajah mereka begitu bahagia?

"Lihatlah Akuma, kupikir mereka anak yang kirimkan Jesus untuk sekolah ini," bisik Morana, gadis yang duduk dibelakang Akuma.

Akuma dan Morana pun menoleh kearah Rebecca dan Jacob yang telah mendapatkan tempat duduk di pojok belakang seberang mereka. Tangan putih Rebecca dengan lancar menjabat setiap tangan yang berada disekitarnya. Senyuman gadis itu... Menular dan membuat suasana kelas ini menjadi sedikit berbeda.

AKUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang