2. Barisan Para Tampan

65 13 0
                                    

Satu minggu sejak dilaksanakannya Masa Orientasi Siswa di SMA Galaksi, mulai banyak bertebaran ajakan-ajakan untuk mengikuti ekstrakurikuler, baik itu internal maupun eksternal yang begabung dengan sekolah-sekolah lain. Mulai dari cowok-cowok berperawakan tinggi yang mendemonstrasikan ekskulnya di lapangan basket, cewek-cewek berbadan lentur dari ekskul dance, hingga siswa-siswi berbaju rapi yang mewakili paskibraka.

Lain dari yang lain, seusai mengisi absen di ekskul tempat mereka bergabung, ketujuh siswa berwajah tampan itu meninggalkan posisi dan mulai membuka meja pendaftaran baru. Kertas putih bertuliskan "Barisan Para Tampan" ditempelkan berdiri di atas meja dengan selotip seadanya.

"Ayooo! Semuanya yang berwajah tampan, silakan mendaftar ke stand kita!" Haris, yang paling bersemangat menyambut anggota baru mulai berteriak kencang. Suaranya mengalahkan toa yang kemarin dipakai kepala sekolah untuk berpidato.

Sebenarnya, pendaftaran ini juga semua hasil akal-akalan Haris dan Arjuna, yang menganggap eksistensi geng mereka harus tetap dipertahankan. Karena menurut Arjuna, kelompok dengan "muka kinclong" dan multi keahlian seperti mereka sangat penting untuk menjaga kualitas sekolah.

Disebut multi keahlian, karena sebenarnya ketujuh lelaki ini memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sakti dan Haris yang bersabuk hitam di karate, Johan dengan kecerdikannya bermain catur, Joshua dan Fauzi dengan kemampuan bermusik, Wisnu dengan kameranya di ekskul fotografi, dan Arjuna yang masih bingung apakah harus bertahan atau keluar dari dunia teater.

"Ayo daftar sekarang juga! Barang siapa mendaftar akan mendapat kupon gratis foto bareng. One plus one!" teriak Arjuna, ikut berpromosi seperti Haris, namun dengan menambahkan promo yang selalu ia berikan setiap kegiatan, beli satu gratis satu.

Bukannya menghadirkan siswa-siswa yang ditargetkan, para siswi justru membentuk barisan panjang hingga ke belakang setelah mendengar tawaran itu.

Fauzi menghela napas. "Bencana," gumamnya.

"Emang luar biasa pesona kita. Ditawari foto doang langsung antre," bisik Johan. Kemudian berdiri di antara kerumunan.

"Ayo cewek-cewek yang bisa bawa temennya yang ganteng ke sini, boleh foto sama gue!" katanya.

Lantas perempuan-perempuan menghilang. Dari kejauhan Sakti melihat mereka menarik paksa teman-teman sekelasnya. "Parah, serem juga cewek-cewek Galaksi ini," ujarnya, bergidik ngeri.

Kurang dari lima menit, beberapa dari mereka sudah kembali. Namun jumlahnya tidak sebanyak tadi. Mungkin terpaksa mundur karena targetnya menolak mentah-mentah.

"Isi formulir di sini setelah foto. Nu, lo ambil gambarnya," titah Sakti. Sistem ini dibuat agar formulir segera terkumpul---tidak pakai embel-embel lupa dan tidak membawa pas photo.

Wisnu menyalakan kameranya, membidik remaja yang kini berdiri dengan tegang. "Santai mukanya," kata Wisnu tanpa senyum, dan justru membuat anak itu semakin kaku.

"Bro, santai dikit dong. Gini, lihat gue." Joshua mendekati keduanya. Berpose seadanya dengan menarik kedua ujung bibir dan menghadap kamera. "Nah, gampang, 'kan?"

"Wisnu!"

"Eh, Karin? Udah siap urusan osis?" yang bertanya tentu bukan Wisnu, karena lelaki itu hanya menatap Karin dengan wajah penasaran, melainkan Arjuna yang dengan manis menampakkan senyum di bibirnya.

"Boleh gue pinjam Wisnu, Kak?"

Sakti mengangguk. "Jangan lupa dibalikin, ya." Karin tertawa mengiyakan.

"Sini, gue gantiin fotonya," tawar Haris.

Wisnu dengan pasrah menyerahkan kamera kesayangannya---yang sebenarnya tidak suka ia pinjamkan kepada orang lain. Tapi karena yang memegang adalah anggota BPT, ia bisa sedikit lebih rela. Kakinya mengikuti Karin yang sudah lebih dulu menghilang dari sana.

"Peserta selanjutnya!"

Pria dengan tinggi 179cm maju ke barisan paling depan. Membungkukkan badannya dengan hormat.

"Lo dateng sendirian?" tanya Joshua mengingat peserta yang lain didampingi oleh seorang 'pengawal' di sampingnya.

Ia mengangguk.

"Nama lo siapa?"

"Andika, Kak. Biasa panggil Dika."

Johan memerhatikan garis wajahnya. Kalau dipikir-pikir, gantengan dia kemana-mana. Enam temannya yang lain juga jelas lebih baik dari Dika. "Lo kenapa ikutan?"

"Kata mama saya saya ganteng, Kak. Tapi menurut saya sih enggak. Cuma katanya kalau mau ganteng harus gabung sama yang ganteng juga," ujarnya polos.

Semua yang mendengar melongo. Termasuk Haris yang baru ingin menyesap kopi susunya. "Masuk akal juga, sih," bisik Arjuna.

"Masuk akal pala lo. Itu sih jawaban orang pasrah," jawab Haris.

"Lo ga perlu audisi lagi." Sakti memecah keheningan dan membuat Johan heran.

"Lo gak salah? Masih banyak yang---"

Sakti menarik Johan lebih dekat dan mendekatkan bibirnya ke telinga lelaki itu. "Gue harus menjaga peringkat ketampanan juga di antara kalian. Udah kalah sama Wisnu dan Jun, masa kalah sama anak baru lagi?"

Johan menahan tawa. Kekhawatiran temannya ini masuk akal, tapi di sisi lain ia juga tidak menyangka bahwa Sakti bisa setidak percaya diri itu hanya karena terkalahkan oleh Wisnu dan Arjuna.

"Oke."

••

"Capek juga ya," ujar Joshua. Lalu membaringkan badannya di atas kursi-kursi yang sudah ia gabungkan terlebih dahulu.

"Gue gak nyangka yang daftar sampe puluhan. Padahal awalnya ogah-ogahan sampe harus ditarik paksa sama temennya," kata Sakti.

Dari yang sebelumnya antrean hanya diisi oleh sepuluh orang termasuk Dika, tiba-tiba saja barisan menjadi penuh saat Wisnu kembali. Kalau kata Jun, kehadiran temannya itu yang menjadi alasan mereka bergabung. Saat ditanya oleh Haris mengapa begitu, jawabannya adalah karena wajah Wisnu meyakinkan dan gak aneh aneh.

"Itu mah gara-gara teriakan harimau gue, bukan Wisnu," balas Haris tak terima. Ia hampir kehabisan suara karena harus bertanding teriakan dengan ekskul-ekskul yang sedang berpromosi.

Wisnu menghela napas. "Serah lo, deh."

"Kalo dipikir-pikir, boleh juga pilihan Sakti. Tuh anak mukanya gak seganteng gue, sih. Tapi masih di atas rata-rata juga. Anaknya juga polos, gak macem-macem." Johan memulai inti pembicaraan sekaligus alasan mereka belum pulang sampai sekarang.

Fauzi mengangguk. "Gue juga dengar dia nyanyi di pentas pas MOS kemarin, suaranya bagus."

"Ini kita mau rekrut berapa orang?" tanya Haris.

"Tiga atau empat juga udah cukup."

"Buseett dikit amat, kasian yang 30 lagi," responnya lagi.

Sakti mengangkat bahu tak acuh. "Namanya juga kompetisi."

"Kalo yang ini gimana?" Arjuna menunjukkan foto yang ada di kamera Wisnu. "Ganteng, tinggi, bakal naikin popularitas, nih."

"Gak! Gue gak setuju!" sahut Fauzi.

"Kenapa?"

"Dia kayak tiang bendera gitu, nanti gue berasa semut jalan di samping tuh anak."

Lantas ucapan itu membuat semua temannya tertawa. "Makanya kalo disuruh minum susu tuh minumnya Hilo bukan Prenagen!" ledek Haris.

"Gue setuju."

"Gue juga."

"Gue juga."

Huh, bertambahlah sudah barisan orang tinggi di sekitarnya, ucap Fauzi dalam hati.

"Satu lagi siapa?"

"Ini aja deh, gimana?"

°dipublikasikan ulang 30 Mei 2023°

Antara (Wonwoo, Yerin, Jun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang