Di waktu 5 Tahun

10 1 0
                                    

Hari ini, waktunya gue buat sekolah di SMP Tri Bhakti. Perjuangan selama ini yang gue lakukan ternyata nggak sia-sia. Mulai dari sekolah SD dengan biaya seadanya, sekarang gue bisa lanjut sekolah di SMP yang bisa dibilang Sekolah Internasional di Bandung.

Gue coba buat jalan ke lorong kiri yang sepi.

Di sana cuman ada ruangan kecil dan pintu terbuka, semakin gue mendekat, ada suara jeritan minta tolong. Gue masuk.

"Heh! Mau ngapain lo?"

Tiga cewek yang lagi coba buat nampar cewek yang duduk di bangku dengan keadaan terikat akhirnya mengurungkan niatnya.

"Siapa lo? Jangan ikut campur urusan gue, paham?!"

Gue tersenyum miring, ternyata di sini banyak orang jagoan. "Busettt! Ngeri amat ucapan lo. Nggak takut dikeluarin dari sekolah?"

Dia mendekat, gue pun ikut mendekat. "Gue yang punya sekolah ini, mana mungkin gue dikeluarkan dari sekolah sendiri."

"Gilaaaaa! Bisa dong kalau gue gratis sekolah di sini? Kan pemilik sekolahnya lo! Cewek sok jagoan tapi nyali lo kecil." Jempol gue mengarah ke bawah di depan matanya.

"Lo anak baru, 'kan?" ucap temannya yang satu.

"Kalau gue anak baru, lo mau kenalan? Oke! Nama gue Zesana Aprillia Putri Siregar. Kalau lo, lo, dan lo, namanya siapa?" Gue menunjuk satu-satu di antara mereka kecuali cewek yang duduk di kursi.

"Anak baru udah jagoan, gimana jadi senior lo?"

"Weisstt, gue? Gue kalau jadi senior bakal selalu hormat sama yang sekiranya hormat sama gue, entah dia adek kelas gue, ataupun teman seangkatan gue. Oh, iya. Gue juga enggak takut sama siapa-siapa di sini. Gue rasa di sini juga enggak ada senior, semuanya sama buat cari ilmu, kalau lo beranggapan seperti itu dan cuman buat pengen dihormatin, tempat lo bukan di sini, tapi di tiang bendera!"

"Mulut lo dijaga, ya! Lo nggak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo, ya?"

Ucapan mereka membuat gue terdiam. Sesak rasanya pas mereka sebut orang tua. Jangankan buat mereka kasih nasihat untuk gue, nemuin gue aja nggak pernah.

"Kenapa diam?"

"Nggak usah berisik. Lepasin Kakak itu, atau gue lapor guru?"

"Iya, gue lepasin, dan gue cuman ingetin satu hal buat lo, jangan pernah ikut campur urusan gue. Inget itu!"

Merek bertiga keluar dari ruangan ini, hanya ada gue dan cewek yang bisa dibilang sangat cantik. Sayang banget kalau misal harus ditampar, pipinya pasti akan luka.

"Halo, Kakak Cantik! Lo nggak apa-apa, kan?"

Dia menggeleng dan mengulurkan tangannya. "Ziska Putri Elawazo. Salam kenal, ya. Makasih banyak udah nolongin gue. Oh, ya. Nama lo Zesana, ya? Gue bisa panggil lo dengan sebutan apa?"

"Kalau orang tua gue dulu, mereka sering banget panggil gue dengan kata 'zesay', katanya itu nama yang pastinya buat gue tetap mencintai diri sendiri dan jangan nyerah sama keadaan sekarang. Itu menurut orang tua gue, ya. Tapi terserah lo sih, Kak, mau panggil gue apa." Gue hanya bisa tersenyum dengan sembunyiin air mata yang dari tadi gue tahan.

"Maksud lo orang tua dulu? Memang sekarang mereka ke mana? Maaf, nih, gue nggak bermaksud apa-apa, tapi raut wajah lo di saat mereka bawa orang tua jadi berubah."

"Gue dulu sering dipanggil 'Zesay' dari umur 1 - 4 tahun, bahkan gue dikasih tahu kenapa gue dipanggil itu. Tapi, di saat umur 5 tahun, gue ditinggal di tepi jalan sendirian haha. Gue enggak punya siapa-siapa di sini, cuman sebatas anak kecil yang bingung gimana buat alur cerita berikutnya. Gue cuman bisa nangis buat pengen ketemu mereka, gue cuman bisa pegang perut buat nahan laper, bahkan di saat pertama kali gue ditinggal sendirian, air putih aja nggak ada yang masuk ke tubuh gue. Sekarang ... kenapa gue bisa sekolah di sini? Karena beasiswa. Tanpa bantuan itu gue enggak bisa sekolah. Sekolah SD? Itu pun gue bayar dengan seadanya, karena gue nggak punya buku, tas, baju sekolah, dan keperluan lainnya. Kalau dibilang sakit, sakit banget. Di umur belia seperti itu, harus bertahan hidup sendirian. Duduk di jalanan. Bolak-balik buat cari uang. Bahkan masih sempat gue lakukan sekarang. Selama 6 tahun ini, gue juga nggak tahu di mana keberadaan orang tua gue sekarang." Gue cerita dengan air mata yang mengalir.

"Sorry ya, gue jadi cerita panjang lebar."

Ziska menepuk bahu gue dan berkata, "Lo perempuan hebat, lo perempuan kuat, dan lo udah jadi pahlawan buat diri lo sendiri. Gue salut sama lo. Nggak ada anak kecil yang mampu bertahan hidup sendirian tanpa orang tua. Gue nggak ada kata-kata lagi buat lo, lo adalah perempuan yang pastinya akan dapatkan kesuksesan di suatu saat nanti dengan cara lo sendiri. Lo hebat! Gue jadi termotivasi sama kehidupan lo. Jangan pernah nyerah, ya. Kalaupun lo butuh gue, gue ada. Sekarang kita temenan!"



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang