Gratis.
Gratis.
Aku tidak pelit, aku cuma kere. Jadi aku suka yang gratisan.
Sekarang aku menyesali prinsip itu. Hampir dua tahun yang lalu aku memutuskan masuk ke sekolah ini. SMA terbaik diseantero kota, katanya. Disini semuanya gratis. Kecuali jajan di kantin. Kalau berhasil masuk kesini, seragam sekolah, biaya SPP, sampai pembelian buku tulis semuanya ditanggung pihak sekolah. Semua-muanya. Dan dengan iming-iming murahan itu aku menerima begitu saja beasiswa bersekolah disini.
"Hey, Norak! Beliin minuman soda, dong. Ngantuk nih!"
Sekolah swasta yang entah punya siapa. Aneh. Ada rumor kalau yayasan sekolah ini sebenarnya dinaungi perusahaan properti berskala besar, lalu pendiri perusahaan itu ingin melakukan kegiatan amal dan mengeluarkan sedikit duitnya untuk memajukan dunia pendidikan. Makanya dia membangun sekolah gratis ini. Tapi dia tidak mau dikenali. Biar nampak baik hati katanya. Gak ikhlas sekali.
"Norak! Punya telinga gak, sih?!"
"Udah deh, Na. Ntar kalian masuk ruang BK lagi-"
"Eh, diem lo!"
Siapapun orang baik hati dibalik adanya sekolah terlaknat ini, seharusnya dia cukup pintar untuk menyadari bahwa siswa-siswa yang bersekolah disini hampir tidak ada yang baik hati satupun. Aku rasa kalau orang itu betul-betul baik hati dia tidak akan membiarkan sekolah ini sampai punya tingkatan kasta yang diwarisi turun-temurun menurut jumlah harta orang tua.
SMA Mega Sakti. Nama yang aneh tapi sesuai dengan kenyataan sekolahnya.
Namun semua cacat tersembunyi rapi dibalik gerbang sekolah. Tidak pernah ada setitik keburukan pun yang terdengar keluar.
"HEY!!" Feyna berteriak marah kearahku, "lo tuli, ya?!"
Aku diam sebentar.
Lalu sengaja tertawa keras sampai membuat seluruh kelas mendadak terdiam. Irina menyenggol-nyenggol lenganku dari tempat duduknya disamping, samar-samar kudengar dia mendesah lelah.
"Gak, tuh. Gue gak tuli," aku menyahutnya, "gue gak nyangka aja lo lagi ngomong. Lah orang teriak-teriak gitu, kirain tadi mau lahiran." Satu kelas terbahak keras. Si Pandi yang biasanya diam aja sampai mukul-mukul meja sambil megangin perut. Aku mengupas bungkus permen karet dan melahapnya. Sebentar lagi pasti nih ratu bakal ngedrama.
"Lo tuh ya ..." Feyna menunjuk-nunjukku sambil berjalan mendekat dengan suaranya yang mulai bergetar, "bisa gak sih, lo sehari aja gausah ngolok-ngolokin gue, gausah ngejatuhin harga diri gue. Jahat banget sih jadi orang! Hiks!" Perempuan itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan berlari keluar dari kelas.
Sorak-sorai membahana, teman-teman sekelas memberiku tepuk tangan meriah seperti baru menang kejuaraan debat tingkat lurah. Aku tersenyum saja, sambil beberapa kali menunduk bilang terimakasih terus dadah-dadah manja.
Inilah posisiku di kasta itu. Aku bukan orang kaya, sama sekali tidak pintar, bukan juga primadona sekolah, tapi aku-
Pandai melawan. Dan itu adalah bakat luar biasa yang aku syukuri setiap pagi.
Karena orang-orang sepertiku, kami membangun kasta kami sendiri.
***
Aku tercenung setengah mengeluh bosan. Ha, kan!
Sudah kuduga si Nenek Lampir Feyna pasti mengadu lagi. Kali ini, mugkin karena sudah muak menangani kasus yang sama berkali-kali, dengan pelaku dan korban yang itu-itu saja, akhirnya Bu Meylinda yang terhormat yang datang langsung menghampiriku di kelas. Mungkin beliau ini sudah tidak sanggup lagi memanggilku ke ruang BK karena toh, tidak ada perubahan. Alur dramanya begitu-begitu saja seperti jalan di tempat. Seandainya drama besutan sutradari Feyna ini ditayangkan di televisi, kadang sudah kuhantam televisi itu dengan komik nista milik Dion sangking aku juga muak melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duo Berandal yang Terculik✔
Short StoryNora anak sekolahan yang tidak biasa. Dia nekat, bergajulan dan liar. Si Brengsek manapun bisa mendadak cupu begitu berurusan dengannya. Nora seorang gadis serampangan yang menyukai bocah badung lainnya. Alfaro Arata. Alfa tengil, petakilan, tapi be...