The Village (1)

13 6 2
                                    

[Semua yang terjadi dicerita ini terinspirasi dari mimpi sang penulis.]

Seharusnya aku tidak mengajukan diri untuk pergi. Seharusnya aku tetap tinggal dirumah. Rencana libur yang tadinya kupikir akan menyenangkan, malah berakhir mengerikan. Sial.

Sebenarnya yang terjadi adalah, aku seorang pekerja yang dirumahkan untuk sementara waktu karena adanya pandemi saat ini. Suntuk dirumah, akupun mengusulkan untuk berlibur bersama keluargaku. Namun aku ingin berlibur yang menyenangkan, tentunya dengan budget yang rendah.

Aku tahu itu sangat sulit dilakukan, karena jika ingin berlibur atau keluar kota, pasti nya itu diharuskan melakukan rapid test, dan itu mengeluarkan biaya yang banyak. Aku menyampaikan hal ini pada ibuku, dan ibuku menyarankan kita untuk ikut serta dengan tetanggaku yang ingin pulang kampung, biasanya yang kami panggil Uwak. Ibuku bilang kampung nya cukup indah untuk dijadikan tempat liburan. Akupun mengiyakan. Lalu aku dan keluargaku pun mengemas barang-barang kami.

Uwak mengatakan kita akan kesana dengan angkot yang disewanya. Huh, sebenarnya aku sedikit tak suka jika diharuskan naik angkot, karena itu kotor dan panas. Namun yah sekali lagi, ini demi liburan.

Diperjalanan aku terus menerus mengutuk dalam hati, Angkotnya panas dan dikelilingi bau apek. Belum lagi supirnya menyetel musik dangdut dengan volume yang keras.

Perjalanan yang bak neraka itu pun berakhir, kami sampai dikampung Uwak.

Wow.

Semua derita yang kualami tadi seperti terbayar setelah melihat pemandangan didepanku ini. Pepohonan yang rindang, suara sungai yang mengalir menenangkan pikiranku. Dan aku tak percaya masih ada anak-anak yang mengembala kambing disini. Aku tersenyum, meminta kakak ku untuk mengambilkan beberapa foto untukku. Lalu kami berfoto keluarga dengan menggunakan timer. Kami berfoto agak jauh dari tempat kami turun angkot tadi, tapi demi mendapatkan foto yang bagus, apa salahnya. Setelah selesai, kami mengambil barang-barang kami. Lalu kami menyadari bahwa Uwak tiba – tiba tidak ada. Kami memanggil Uwak beberapa kali, Uwak pun muncul dari balik semak – semak.

"Habis ngapain, Wak ?"Tanya Ibuku.

Uwak tersenyum, "Buang air kecil."

Setelah itu, rahangku menganga setelah mendengar jika kita harus melewati jembatan kayu untuk mencapai rumah Uwak. Sial, mengapa begitu sulit mempertahankan kebahagiaan yang begitu sulit kudapat.

Jembatan kayu tersebut hanya mempunyai dua balok panjang, tidak mempunyai lindungan atau pegangan disisi nya, sedangkan dibawahnya terdapat kali. Huh, tidak bisakah aku lebih sial dari ini ? kataku dalam hati.

Kami pun satu persatu melewati jembatan itu dengan hati-hati, dan merasa lega setelah berhasil melewati jembatan itu dengan selamat. Kami berjalan mengikuti Uwak dengan pandangan orang-orang didesa itu yang mengikuti kami. Aku melihat sekelilingku, desa ini cukup sejuk dan bersih, dan aku menyadari sejak aku sampai di desa ini, aku melihat sebagian besar warga di desa ini memiliki kucing peliharaan. Namun bukan kucing ras, kebanyakan kucing kampung. Ah, aku jadi ingat dengan kucingku Momo, yang kutitipkan ketemanku.

Akhirnya Uwak pun mengarahkan kami jalan menuju kerumahnya. Uwak memberitahu kami bahwa ia meminjamkan rumah kosong milik almarhum suaminya untuk kami tinggali sementara, dan ia juga menambahkan rumah itu telah dibersihkan sebelum kami datang kemari. Setelah berterima kasih ke Uwak, kami bergegas masuk kedalam rumah tersebut.

Aku pun membersihkan diri, dan memutuskan untuk mengeluarkan barang-barangku nanti. Aku berencana untuk mengambil beberapa foto setelah ini, sekedar informasi, aku ini orang nya sangat up to date, aku harus selalu memposting sesuatu di social mediaku. Heh, aku tau, menggelikan bukan.

Aku keluar untuk mengambil beberapa foto kucing yang sedang tiduran didepan rumah tempatku tinggal. Aku mengelusnya beberapa kali, dan menggaruk dagunya, kucing itu anehnya tidak menggeliat kesenangan seperti kucing pada umumnya saat digaruk dagunya. Namun tiba-tiba ada seorang ibu-ibu datang dan menampar tanganku, lalu mengambil kucing tersebut dan pergi.

Aku terkejut, dan memperhatikan ibu itu pergi dengan diam. Aku mengutuk dalam hati, dan mengomel akan betapa tak sopannya ibu tersebut. Aku memutuskan untuk masuk kedalam rumah karena mood untuk foto-foto lenyap seketika karena kejadian tadi.

Aku menceritakan kejadian tersebut pada kakak ku, dan kakak ku juga memikirkan hal itu aneh. Aku sengaja tidak mengatakannya pada Ibu atau Ayahku, karena mereka pasti akan membesar-besarkan hal itu, karena mereka berdua memiliki emosi yang tidak stabil.

Malam tiba, hari ini aku tidak terlalu melakukan banyak hal, aku dan kakak ku hanya berdiam diri dikamar, sedangkan Ibu dan Ayahku mengunjungi rumah Uwak dan mengobrol dengan warga desa sini.

Aku dan kakak ku masih belum tidur, kakak ku sedang bertelponan dengan pacarnya, sedangkan aku, menceritakan apa yang terjadi tadi siang di Insta Storyku. Beberapa temanku membalas dan mengatakan Ibu itu hanyalah orang gila atau Tidak sopan telah menampar tanganku seperti itu. Aku mengiyakan dan mengolok-olok Ibu-ibu itu bersama temanku.

Aku dan kakak ku terkejut saat mendengar suara kucing mengeong. Aku tidak akan terkejut bila hanya satu atau dua kucing yang mengeong, suara yang kudengar ini mungkin lebih dari sepuluh kucing !. Aku tidak melebih-lebihkan karena memang itu adanya.

Aku dan kakak ku saling bertatapan, mulai takut dengan suara-suara kucing tersebut. Aku mengajak kakak ku untuk mengintip melalui jendela yang ada diruang tamu, tadinya kakak ku enggan, karena ia takut jika yang akan dilihatnya adalah hal yang menyeramkan. Namun aku bersikeras memaksanya untuk menemaniku.

Aku dan kakak ku pun mengintip melalui gordyndengan celah yang sangat kecil. Dan betapa terkejutnya kami saat melihat Ibu -ibu yang tadi sore menampar tanganku, tengah dikerumuni oleh kucing - kucing yangsaat ini tengah memakan tubuhnya.

The VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang