The Village (2)

7 4 0
                                    

[Semua yang terjadi dicerita ini terinspirasi dari mimpi sang penulis.]

Disana ia tergeletak kaku, tepat dibawah pohon manga didepan rumah tempatku tinggal. Aku juga melihat beberapa warga yang kutemui dijalan tadi siang hanya menatap kosong kearah tubuh yang kaku itu.

Aku segera menutup gordyn, dan mengatur nafasku yang terengah - engah. Kakak ku menarikku untuk masuk kekamar, kami berdua duduk ditepi kasur dan diam selama 5 menit. Pikiranku kacau, tanganku bergetar, masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kenapa ? Kenapa warga itu hanya diam saja ? Seakan - akan itu adalah hal lazim untuk mereka tonton.

Kakak ku menguncang tubuhku, "Dek, katakan apa yang kulihat barusan adalah sungguhan !".

Aku mendengus, "Tentu saja ! Jika tak sungguhan, tanganku tak akan gemetaran seperti ini !". Aku pun mengambil ponselku, dan membuka kamera, "Aku akan merekam kejadian tadi, sebagai bukti.".

Kakak ku melarangku, karena ia takut aku akan ketahuan, tapi aku bersikeras untuk tetap merekam kejadian tadi, karena hal ini sudah bukan masalah kecil lagi, desa ini harus disidak !. Ada sesuatu yang aneh dengan desa ini.

Aku pun bersiap merekam didepan jendela, kubuka gordyn dengan celah kecil. Terpampanglah jelas kucing – kucing tersebut. Aku mengarahkan kamera kemana para warga disana menonton dengan pandangan kosong, namun tiba – tiba ada anak kecil yang menoleh dan menunjuk kearahku. Aku terkejut, dan menarik ponselku lalu berlari menuju kamar. Kakak ku bertanya apa yang terjadi, namun aku diam saja dan mulai bersiap untuk tidur, berusaha untuk melupakan semua hal yang terjadi hari ini.

Paginya aku dan kakak ku bangun dengan wajah yang pucat karena kurang tidur. Yah, apa yang bisa diharapkan setelah kejadian seperti semalam. Setelah membersihkan diri, aku berdiri didepan pintu masuk, dan memperhatikan tempat kejadian tadi malam. Tempat itu bersih seakan akan tidak pernah terjadi apa - apa sebelumnya.

Kami makan dengan makanan yang diberikan oleh Uwak dan warga sekitar. Katanya makanan ini diberikan untuk menyambut kedatangan kami. Saat Uwak dan Ibuku menata makanan dilantai, beberapa kali aku melihat Uwak melirik kearahku, namun aku hanya diam.

Selesai makan, aku memutuskan untuk duduk diteras rumah, sambil berpura – pura memainkan ponselku. Sebenarnya aku merasakan, ada banyak mata yang memperhatikanku, aku berusaha untuk tetap tenang. Aku mendongak dan memperhatikan sekeliling, tidak ada bendera kuning atau semacamnya, ritual penghormatan pun tidak ada. Seakan mereka tidak pernah kehilangan salah satu dari warga mereka.

Ayahku muncul dan duduk disampingku, Ayahku menanyakan bagaimana pendapatku tentang desa ini, dan kujawab seadanya. Lalu dengan nada rendah Ayahku bicara, "Dek, tadi malam saat Ayah tidur, Ayah merasa seperti ada bulu kucing yang menyentuh kaki Ayah.".

Aku tersentak, dadaku berdegup kencang, "Ada kucing ? Lalu bagaimana ?".

Ayah menggeleng, "Tidak ada kucing."

"Lalu tau darimana kalau itu kucing ?"tanyaku gugup.

"Ayah mendengar meong-an kucing, tapi anehnya suaranya bukan hanya satu."

Pernyataan Ayah semakin membuatku ingin menceritakan kejadian tadi malam, tapi aku menahannya, karena takut membuat Ayahku panik,"Ah, mungkin Ayah sedang mimpi. Kadang kan seperti itu, ada mimpi yang terasa sangat nyata."ucapku mengalihkan perhatian Ayah.

Ayahku pun hanya menganggukan kepala. Huh, sial, sebenarnya ada apa dengan desa ini. Liburan menyenangkan apanya kalau begini.

Menjelang siang, Ibuku mengajak kami untuk berjalan – jalan menelusuri desa. Cuaca yang sejuk dan pemandangan didesa ini adalah satu – satu nya hal yang bagus dari tempat ini. Ibuku membeli beberapa ubi , talas dan aksesoris yang dijual dipinggir jalan. Sedangkan Ayah memborong beberapa pisang, hal yang biasa karena Ayahku adalah penggemar pisang garis keras.

The VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang