A Succulent Named Mio

7 1 6
                                    

"Boleh pinjam catatanmu sebentar?" Perempuan di belakang mencolek bahuku, kepalanya kini sejajar dengan bahuku. "Aku ketinggalan beberapa menit di awal kuliah tadi."

Aku memberikan catatanku tanpa menoleh. "Cepat, lima menit."

"Got it. I'll be fast. Thanks."

Saat itu mata kuliah Statika Modern. Perempuan ini terlambat setidaknya sepuluh-lima belas menit. Kedatangannya cukup jadi perhatian seluruh mahasiswa di ruang kelas saat itu. "Next week no more late, young lady!" Profesor kami menurunkan kacamatanya ke hidung, menatap mahasiswinya itu dengan sinis.

"I'm sorry. Yes, Sir!"

Teori mata kuliah ini sederhana dengan aplikasi soal yang cukup njelimet. Kupikir begitu. Belum pernah ada mahasiswa yang terlambat di mata kuliah ini. Setidaknya itu yang dikatakan para senior kami yang lulus (dan tentu saja yang mengulang tahun depan hingga tahun berikutnya lagi). Jangankan terlambat, kami semua harus memakai pakaian rapi (baca: kemeja atau kaus berkerah, sepatu—bukan sepatu sandal, dan tidak menggunakan warna pakaian yang menyolok). Saat itu kupikir siapa yang akan menggunakan warna – warna terang saat kuliah... hingga aku bertemu dengannya.

Rambutnya dicepol ke atas dengan anak – anak rambut yang berlarian di dahi dan tengkuknya. Sepatu olahraga berwarna putih kusam, jaket yang dilingkarkan di pinggang, dan tas bahu yang dipeluk di depan dadanya. Masih kuingat bagaimana dia masuk ke kelas dengan seluruh pasang mata melihatnya terengah – engah, mencari kursi kosong. Cantik ya... Separuh buaya di kelas kami berbisik dengan cukup keras satu sama lain. Kaus berkancing yang modis—dengan belahan sedikit lebih rendah, berwarna oranye terang. Ya, oranye yang teramat terang sampai kau bisa menemukannya di gundukan jeruk. Entah dia tidak mendengarkan nasehat senior kami, atau memang belum tahu.

Dengan cepat ia menarik kursi, duduk di belakangku. Aku bisa mendengar suara napasnya yang memburu. Berlari ke lantai tiga memang tidak mudah, apalagi jika kau terlambat masuk kelas. Dia duduk tepat di belakangku. Belum berkenalan dan ia sudah meminjam catatanku. Disini kami bertemu tujuh tahun yang lalu, kelas Statika Modern—Fakultas Teknik Mesin.

***

"Shion, mau jadi pacarku?"

Entah sudah berapa gelengan kepala yang didapat dari mahasiswa di jurusanku, senior yang entah kenapa belum lulus, mahasiswa jurusan bisnis di universitas sebelah, bahkan asisten dosen yang nyaris menjomblo seumur hidupnya. Belum ada yang berhasil mendekati Shion. Sejumlah mahasiswi tertangkap bergosip tentang Shion yang (katanya) menjadi simpanan dosen, simpanan pengusaha kota, simpanan anggota parlemen—pokoknya simpanan laki – laki hidung belang.

Nilainya selalu bagus. Kalian ingat rumor itu? Lihat tasnya yang mahal... benar kan yang kubilang, dia istri simpanan anggota partai oposisi. Tak ada yang benar. Seolah meyakinkan Shion yang pintar, yang menarik perhatian, yang tak bisa didekati laki – laki biasa—gosip itu menyebar di kampus seperti virus.

"Seokjin... Aku kesulitan memahami bab ini. Boleh pinjam lagi catatanmu—yang ada latihan soalnya, kalo boleh." Sore itu Shion mengirim pesan. Entah darimana ia dapat nomorku. Aku nyaris tidak berkomunikasi dengan teman – teman jurusanku, apalagi dia yang berbeda jurusan meskipun kami mengambil beberapa mata kuliah yang sama.

"Ya. Kutunggu di depan warung fotokopi gedung belakang." Aku tidak ambil pusing.

Hampir semua mahasiswa di jurusan meminjam catatanku yang mana saja. Difotokopi semua orang hingga petugas fotokopi tinggal bertanya pada mereka: Seokjin – Statika Struktur, Seokjin – Dasar Pembuatan Bahan, atau Seokjin – Penulisan Karya Ilmiah Internasional. Ada namaku di setiap bundelnya.

 Ada namaku di setiap bundelnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SHIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang