Be friend-6

131 21 0
                                    

"Jadi, kita temanan lagi kayak dulu kan? Bisa-bisanya kau lupa denganku" ucap Stiven.

Dalam hati, Stiven harap-harap cemas. Ia merasa ada kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan Alisha.

Dari kecil, ia sudah dibuat kagum dengan gadis ini. Yang perlahan-lahan menjadi rasa suka.

Alisha terkekeh "hehe ya maaf, dari kedua kali kita bertemu aja aku udah anggap kamu teman. Karena kamu baik" jawabnya.

"Masih ingat dulu aku, kamu, sama bang Steff sering main bareng? Terus ada satu hari kamu jatuh dan malah bang Steff yang dijewer telinganya sama mama kamu, pfftt"

Alisha tersenyum tipis, menunduk. Mengingat betapa perhatiannya sang ibu dulu, sebelum mengetahui ada penyakit langka yang bersarang di tubuh Lisha.

"Btw, gimana kabar ortu kamu sekarang?"

Tes..

Alisha terkejut saat ada tangan yang menghapus air matanya.

"Aku salah ngomong ya?" tanya Stiven khawatir.

Lisha dengan cepat menggeleng "nggak, mereka..baik kok. Aku cuma kangen mereka aja"

Jawaban dari gadis itu membuat Stiven bernafas lega.

"Kenapa nggak pulang aja?"

Lisha menggeleng "aku pengen di sini dulu" ujarnya.

Sebenarnya ia pun tidak tahu harus pulang kemana lagi, sejujurnya ia kan sudah di usir. Ia juga sudah putus sekolah, karena penyakitnya. Maka dari itu rambutnya sengaja ia warnai blonde. Mengabulkan keinginan sang nenek yang belum sempat ia lakukan ketika neneknya masih hidup.

Neneknya selalu berandai-andai bagaimana cantiknya cucunya ini memiliki rambut berwarna blonde seperti bule. Lisha tersenyum mengingat masa kecilnya yang bahagia.

Ia mewarnai rambutnya seburu-buru mungkin, takut tidak akan waktu lagi di lain hari.

"Oh ya, gimana kabar abangmu?" tanya Lisha setelah sadar bahwa Stiven masih di sampingnya.

"Baik, udah jadi dokter dia. Haha"

"Dokter ya.."

Stiven mengangguk, menoleh ke arah Lisha dan merapikan rambut gadis itu yang mengganggu pemandangan wajah cantiknya. 

"Bang Steff masih galak?" tanya Lisha berniat mencairkan suasana kembali.

Berhasil, Stiven tertawa mendengar pertanyaannya.

"Udah nggak sih, cuma ya kadang masih cerewet aja."

Gadis itu tak lagi bertanya, hanya beroh ria saja. Mengayunkan kedua kakinya ke depan dan belakang.

Sekarang ia tengah duduk di atas ayunan, bersama Stiven di ayunan sampingnya.

"Sha"

"Hm?"

"Gak jadi"

Lisha menoleh, pandangan lelaki itu fokus ke depan. Menampilkan raut wajah yang tak dapat ia mengerti.

Gue punya perasaan lebih buat lo Sha, tapi gue masih belum bisa ungkapin sekarang. Gue bakal kasih tahu di waktu yang tepat. -pikir Stiven.

Kini saat Lisha menunduk, Stiven menatapnya dalam. Rasa kagumnya pada gadis itu tidak pernah hilang. Sejak dulu, Alisha yang ia kenal sangatlah ceria dan hobi makan.

Ia juga pahlawan bagi Stiven kecil dulu yang sering di ganggu anak-anak lain. Mengingat ketika Alisha maju tanpa takut menjewer telinga anak lain yang mengganggunya. Sangat menggemaskan.

Tapi kadang juga Stiven jadi malu sendiri mengingatnya, saat itu dia sangat cupu. Hanya mengandalkan Lisha dan abangnya, Steff Ovran.

"Besok, hari ulang tahun lo kan?"

Lisha mendongak "iya.."

Stiven tersenyum senang, sepertinya ia sudah tahu kapan harus mengungkap perasaannya.

"Makasih Sha, udah berusaha jaga gue waktu kecil dulu"

Lisha menatap ke depan "haha, bukan apa-apa"

Sekarang, rasanya semua keberanian aku sudah hilang Iven..Lisha yang sekarang hidup dengan ketakutan. Mungkin..Iven gak akan suka lihat Lisha yang begini -batin Lisha.

"Makasih Sha udah mengisi masa kecil aku yang ngaco itu"

Lisha terkekeh, namun sedetik kemudian rasa mual menghampirinya.

Jangan..jangan menunjukkan sisi lemahmu pada Iven. Jangan menambah beban lagi pada orang lain, Iven sudah baik sekali padamu Lisha! -batin Lisha.

Ia mati-matian sedang berjuang menahan muntahannya keluar. Andai saja ia masih bisa merasakan sakit, mungkin perutnya sekarang sedang mengalami kesakitan yang luar biasa hingga membuat gadis itu berteriak kencang. Namun, inilah yang terjadi pada akhirnya. Ia tidak tahu ada yang sakit di dalam tubuhnya, sampai rasa mual datang dan ingin muntah menghampirinya.

Ia bahkan sekali dua kali tidak sengaja menggigit lidahnya hingga terluka saat makan. Namun, itu seakan sudah menjadi hal biasa bagi gadis itu.

Tidak seimbang dalam berjalan terutama ketika ada belokan? Itu juga sudah biasa. Membuat Lisha terkadang sedih, mengingat dirinya tidak sama seperti remaja normal lainnya.

Keringat yang muncul saat makan pun bukan tanpa sebab, itu juga karena penyakitnya.

"Terakhir Sha, makasih udah hadir di hidup aku"

Suara Stiven bagaikan pertolongan yang amat sangat baginya. Ia tidak jadi muntah.

"Mungkin terkesan berlebihan, tapi-"

"Makasih juga Iven udah mau ketemu lagi sama Lisha" potong Lisha.

"Sha? Kau lelah?"

Stiven bertanya bukan tanpa sebab, begitu banyak keringat di dahi gadis tersebut.

Dugaannya benar, Lisha mengangguk dan meminta pulang.

A Heart of Sunflower [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang