Part 1

5 1 0
                                    

Pukul 06.47 pagi

"baju nya jangan di linting dek"

"jalannya di perlebar bisa gak?"

"itu tali sepatu masukin dulu gak disiplin banget sih"

"langsung baris yang rapi bukan bengong hey adik-adik"

"hey putra jangan cengengesan kamu ya! Ada yang lucu? Ngetawain apa kamu?"

Celotehan-celotehan itu ramai saling bersahutan di telinga para siswa dan siswi baru SMA Negeri 127. Ya, benar. Hari ini adalah hari pertama MPLS atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, orang-orang sih biasa menyebutnya dengan sebutan ospek.

Para siswa dan siswi baru ini langsung di sambut dengan kalimat-kalimat penuh penekanan mulai dari gerbang sekolah hingga lapangan, tentu saja pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah kakak tingkat OSIS. Para siswa-siswi itu langsung diarahkan untuk berbaris di lapangan dengan rapi, tak lupa dengan bumbu-bumbu pedas dari mulut kakak-kakak tingkat seakan sedang membalaskan dendam.

"heh itu cowok yang pakai topi, kamu egois ya pakai topi sendirian, lihat teman-teman kamu ada gak yang pakai topi?" seorang kakak tingkat perempuan yang membawa papan dada di tangannya berbicara dengan lantang.

Anak laki-laki yang memakai topi itu celingukan kebingungan. Ia bingung antara harus membuka topinya atau tidak. Ia tahu, jika ia membuka topinya maka akan dijadikan bahan bercandaan kakak tingkatnya itu dan mengatakan bahwa dia tidak bisa memberikan argumen sedangkan jika ia tetap memakai topinya maka dia akan dianggap tidak setia kawan kepada teman-teman seangkatannya.

"kok diem aja? Gak bisa ngomong? Biksu kamu?" tanya seorang kakak tingkat yang lainnya.

"maaf kak, bukan biksu tapi bisu. Kalo biksu itu rohaniawan agama buddha kak" jawab anak yang memakai topi itu dengan sedikit cengengesan.

Tentu saja hal itu membuat para siswa-siswi baru di sekitar menahan tawa.

"ngapain kalian ketawa? Ada yang lucu? Apa yang diketawain?" tanya kakak tingkat yang tadi membawa papan dada.

"kamu lagi, ditanya kenapa pakai topi gak bisa jawab, giliran kaya gitu bisa jawab. Serius gak ikut MPLS ini?" sambungnya.

Lagi-lagi siswa laki-laki itu memilih untuk bungkam, hingga pada akhirnya...

"turun kamu! Push-up 20 kali cepat!" ujar kakak tingkat laki-laki yang memakai kacamata.

Akhirnya si siswa bertopi ini mengambil posisi untuk push-up sesuai dengan instruksi dari kakak tingkatnya, dan tak lama kemudian...

"ini temennya di hukum kok pada diem aja?"

"kebersamaanya mana dek? Kalian satu angkatan loh masa pada diem aja?"

"ini temennya gak ada yang mau pembelaan apa? Atau seneng lihat temennya dihukum sendirian?"

Ohhhh shitttttt here we go again, kembali memasuki drama yang skenarionya itu-itu saja. Entah kenapa, mengapa hampir di setiap sekolah kegiatan MPLS seringkali dijadikan ajang untuk balas dendam? Dan kenapa drama-drama seperti itu harus selalu ada?

"kalian semua satu angkatan turun! Ambil posisi push-up! Tanpa terkecuali! Cepat!" kali ini yang berbicara datang dari belakang barisan para siswa baru.

Dengan sigap para siswa baru ini segera mengambil posisi push-up sesuai keinginan kakak tingkatnya. Namun, ada yang janggal. Saat satu angkatan semuanya kompak mengambil posisi, ada satu orang siswi yang tetap berdiri tegak dan menatap lurus ke depan.

"heh itu putri, lagi ngapain masih berdiri gitu? Cosplay jadi patung?" kakak tingkat laki-laki yang memakai kacamata itu pun mendekat ke depan siswi perempuan itu.

He LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang