--Hawai sudah sore.
Hari ini adalah hari terakhir Maria berada di Hawai kalau menurut jadwal yang sudah ia susun sebelumnya, setelah menghabiskan tiga hari untuk memanjakan ketenangan jiwa dengan keindahan alam, hari ini Maria menggunakan waktu yang tersisa untuk menjelajahi jalanan serta pernak-pernik khas Hawaian.
Meski ini bukan pertama kalinya Maria kemari dan sudah pernah membawa pulang sekarung oleh-oleh khas, namun namanya wanita, pasti ada saja, entah itu cuma lihat-lihat atau memang benar punya niat membeli souvenir untuk buah tangan, yang namanya berkeliliing toko itu wajib.
Maria sendiri masuk dalam golongan wanita kebanyakan, menyukai perbelanjaan, maka meski tidak butuh dan meski orang rumah tidak mengharapkan oleh-oleh apapun ia masih mau berkeliling untuk mencari goods yang indah untuk dibawa pulang.
Tiga kantong besar sudah ada ditangan kanan gadis yang menggunakan dress hitam selutut tanpa lengan itu, sementara tangan kirinya memegang satu cone ice cream rasa vanilla yang sudah dimakan dan tinggal separuh badan.
Menyusuri jalan sebelum kemudian melewati sebuah gerai tattoo yang tidak terlalu ramai. Maria menghentikan langkah, menjilat lagi ice cream ditangannya sembari menilik kedalam gerai tattoo itu.
Tattoo?
Satu pikiran muncul tiba-tiba. Menyerukan kembali apa yang pernah ia inginkan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Maria ingin punya tattoo. Tidak terlalu ingin sebenarnya, sudah tidak terlalu ingin, namun sekarang keinginan itu muncul kembali kepermukaan. Secara tiba-tiba, entah apa sebabnya.
Maria memasuki gerai yang berukuran tak terlalu besar itu, di dinding dan juga kaca-kaca sana penuh dengan berbagai design dan juga foto-foto tattoo manusia di berbagai bagian tubuh, Maria menginjakan kaki berbalut sandal rotan yang ia beli kemarin sore di lantai berkeramik itu, sementara matanya masih asyik menyusuri apa yang bisa dilihat.
Terus melihat-lihat, sembari sesekali menyesap ice cream di tangan yang tau-tau sudah menjalar turun hingga ke punggung tangan. Maria cepat-cepat menyesapnya, mencegah agar dessert manis yang lengket itu tidak lebih melebar.
"Mau tattoo?"
Waktu itu Maria tidak bisa tidak terlonjak.
Ia memekik bahkan ketika bibirnya masih menempel pada tangannya sendiri. Memutar mata kepada arah suara, meksi tanpa melakukan itu sekalipun Maria bisa tau siapa orang yang mengatakannya.
Menatap dengan mata yang bulat pria berkulit putih yang dua hari ini tidak pernah absen dari pandangan matanya. Maria menjilat kembali ice cream ditangannya yang kiranya berpotensi meleleh.
"Lo ada dimana-mana," katanya sembari menjilat bibir.
Edgar menaikan satu alisnya.
Ia tau. Wanita agresif ini hanya melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang lain, memakan ice cream, membersihkan sisa jejak manisnya dengan menjilat bibir, lumrah, dan Maria juga melakukannya barusan, membasahi bibir yang lengket dengan saliva, menyesap minuman dingin itu dengan cara yag biasa.
Tidak ada maksud menggoda sama sekali.
Dan Edgar juga tau ia tidak seharusnya berdebar hanya karena melihat Maria melakukan itu. Ia tidak seharusnya terdiam dan tidak menjawab apa yang gadis itu katakana padanya dan malah terpaku pada wajah ayu sang dara.
Apa yang ia pikirkan sebenarnya.
Edgar mengambil napas sembari menunduk, matanya mengedip sebelum kembali mendongak. Tersenyum kecil. Membalas komentar Maria tentang keberadaan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Modern Fairytale ✅
Romance"Ayo, nikah!" ajak Edgar, suara lelaki itu tak ada nada main-main sama sekali. Ia tidak pernah seserius ini sebelumnya. Maria menoleh cepat. "Hah? Nikah? Sama siapa? Elu?!" tanyanya dengan alis menukik tinggi. Menolak tanpa belas kasihan. "Ogah! Sam...