1

36 7 2
                                    

Sang surya mulai menampakkan wujudnya menyilaukan buana yang masih terlelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sang surya mulai menampakkan wujudnya menyilaukan buana yang masih terlelap. Di bawah atap sebuah wisma terdapat seseorang yang masih terlelap dengan tenangnya dibawah selimut.

"Jenar bangun nak, sudah siang," teriak sang ibu menggelar di depan kamar Jenar.

"Cah wedok kok tangine awan uang jajan mu gelem mama potong?" lanjut sang ibu dengan logat Jawanya yang kental.

Dan benar saja Jenar langsung terduduk di kasurnya, "Udah bangun kok mah," jawab Jenar dari dalam, dan dengan tergesa gesa masuk ke kamar mandi.

(anak cewe kok bangunnya siang, uang jajanmu mau mama potong?)

•••••

Saat ini Jenar sedang berjalan di koridor sekolah "untung aja gue kaga telat," batin Jenar lega. Memang bel masuk masih beberapa menit lagi.

"Jen Lo lama banget si, udah gue tungguin dari tadi."

Saat masuk kelas Jenar langsung disambut dengan ucapan sahabatnya itu.

"Maaf elah gue bangun kesiangan gegara semalem nonton mas goblin hehe" jawab Jenar yang diakhiri kekehan.

"Bu Wiwit belom masuk kan" lanjut Jenar. Untuk memastikan saja sebenarnya. Karena kalau sampai Bu Wiwit sudah masuk tamat sudah riwayatnya. Walaupun belum bel biasanya Bu Wiwit sudah terlebih dahulu masuk kelas.

Jika ada murid yang masuk setelah dirinya sudah pasti akan dihukum. Kalau tidak ngepel kamar mandi ya berdiri di lapangan sampai jam pelajaran Bu Wiwit selesai. Sadis kan? memang.

"Lo kan bisa lihat sendiri Jenar" jawab Kinar dengan gemas.

"Oiya ya kaga ada Bu Wiwit" kata Jenar "ya maaf otak gue lagi nge blank hehe" lanjutnya cengengesan.

"Gemes gue pen nyekek" gumam Kinar pelan.

•••••

Ting tong ting tong, bel tanda istirahat pun terdengar

"Oke anak anak kita akhiri pembelajaran matematika hari ini, jangan lupa kerjakan tugasnya halaman 81 sampai 90 terimakasih, selamat istirahat" tutup Bu Wiwit selaku guru mapel Matematika.

"Gila banyak bat bu kurangi lah" sahut Joni sebelum guru itu keluar kelas.

"Gak ono kurang kurang" jawab guru berkacamata itu galak, yang langsung dihadiahi tawa dari para murid ke arah Joni yang terlihat syok.

"Tega kamu mas" tambah joni dengan memperagakan satu tangan di depan dada. Untung Bu Wiwit sudah keluar kalau tidak pasti Joni sudah menjadi sasaran empuk sapu yang ada di sebelah pintu.

(Tidak ada kurang kurang)

"Jen ayo ngantin" ajak Kinar bersemangat, "kuy, gue laper" jawab Jenar.

Mereka pun berjalan di koridor menuju kantin, banyak juga siswa siswi yang sedang berlalu lalang.

Saat sampai di pintu kantin mereka tidak menyangka akan se penuh itu, biasanya kantin hanya terisi kelas 11 saja, karena jam istirahat kelas 12 lima belas menit lebih lambat dari mereka.

Sedangkan kelas sepuluh berada di gedung sebelah, memang gedung kelas 10 dengan kelas 11 dan 12 berbeda, mungkin supaya tidak sesak pikirnya.

"Jen kok saiki ono kakak kelas mbarang to?" tanya Kinar yang hanya dijawab dengan gidikan bahu.

(Jen kok sekarang ada kakak kelas juga sih)

mereka pun melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda akibat lamunan kesesakan antrean kantin.

Mereka memutuskan untuk membeli bakso ngocor dengan sambal lava kesukaan Jenar untuk dibawa ke kelas. Kalau kalian bertanya mengapa bisa, jawabannya bisa karena bakso di kantin ini memakai sterofoam untuk wadah nya jadi memudahkan pembeli apa lagi murid murid yang malas makan di kantin.

"mang bakso lava isi ayamne loro ya" ucap Jenar ke penjual bakso.

"Maaf neng bakso isi ayame entek," jawab sang penjual dengan tidak enak.

"Oh yowes mang seng isi endok wae" ucap Jenar. Sebenarnya isian bakso disini ada beberapa varian tapi varian andalan Jenar adalah isi ayam atau tidak telur.

Setelah mendapat apa yang mereka mau mereka langsung berjalan menuju kelas mereka.

Saat mereka turun menuju kelas tak sengaja iris mata sang Jenar menangkap satu insan yang sedang duduk di pinggir lapangan, sepertinya Jenar tidak pernah melihat orang itu
selama 2 tahun dia bersekolah disitu.

Bukan masalah tampangnya Tapi kalung, kalung yang dipakai orang itu, memang jarak Jenar dan dia cukup dekat sehingga Jenar bisa Melihatnya dengan Jelas. Kalung itu, sepertinya Jenar mengenalinya.

•••

loro : 2
entek : habis
yowes : yaudah
seng : yang
endok : telur
wae : aja

L U N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang