Bab 3 : Hadiah

4 0 0
                                    

"Mbok Darmi, tolong buatin kopi?" Zahra berdiri di mulut pintu dapur.

Ibu-ibu yang sedang sibuk meracik bumbu untuk persiapan acara syukuran serempak menoleh ke arah gadis berhijab putih.

Mbok Darmi langsung berdiri saat namanya dipanggil. Bergegas menghampiri Zahra.

"Ada tamu yah, Den?"

Zahra menganggukkan kepalanya sambil menarik lengan Mbok Darmi, "Ada Mas Akmal, lagi benerin komputer."

"Oh." Mulut si Mbok langsung bulat."

"Cepetan, ya, Mbok!" Zahra sempat melempar senyum ke arah ibu-ibu yang sedang duduk lesehan, kemudian meninggalkan dapur.

Sedangkan ibu-ibu yang sedang lesehan kembali bisik-bisik. Salah satu dikerumunan itu ada Aminah.

"Ayunya, yah Mbak Zahra itu. Udah cantik, pinter, dan saleha," ucap seorang ibu sambil mengupas bawang.

"Dengar-dengar Zahra mau dijodohkan dengan keluarga terpandang dari Semarang," timpal seorang ibu.

"Hus! Kamu kata siapa, Rahmi?" tanya Mbok Darmi sambil menuangkan air panas ke dalam gelas berisi kopi dan gula.

"Aku ndak sengaja waktu itu mendengar obrolan Pak Haji dan Bu Haji, Mbak Darmi."

"Ya, pastilah Pak Haji ndak sembarang nyari jodoh buat anak wedok satu-satunya." Disusul seorang ibu lain menyahut.

"Namanya juga nyari mantu. Bibit, bebet, dan bobot penting," kata Bu Rahmi.

"Gayamu Rahmi, kayak orang menak saja, udah jangan banyak ngobrol, lanjutkan ngeraciknya!" semprot Mbok Darmi sambil membawa nampan berisi secangkir kopi dan camilan.

Mbok Darmi tahu benar bagaimana anak majikannya sudah punya pilihan sendiri.

Ibu-ibu rewang seketika itu menertawakan Bu Rahmi yang terkenal selalu kepo dengan urusan orang lain.

"Orang seperti kita, jangan berharap tinggi dapat mantu kayak Mbak Zahra."

"Jodoh itu yang ngatur gusti Allah, ndak apa toh berharap suatu saat dapat mantu kayak Mbak Zahra."

Begitulah celoteh para ibu rewang di kediaman Haji Gufron.

Aminah yang dari tadi menyimak obrolan teman-temannya mesem saja, terus menyibukkan mengulek bumbu. Walau dalam hatinya ada rasa harap dan cemas bersatu. Ia memikirkan anak laki satu-satunya, Akmal. Aminah tidak ingin Akmal berharap tinggi yang nantinya akan membuat terluka hati anaknya.

Aminah melemparkan pandangannya ke arah teras belakang, pintu belakang dapur terbuka lebar hingga pikirannya jauh melalang buana ke tahun belasan yang lalu, di mana Akmal dan Zahra selalu bermain di halaman belakang.

Mereka tumbuh bersama, sekolah di tempat yang sama. Hanya setelah lulus SMA, Akmal melanjutkan kuliah ke Tanggerang, ia mendapatkan beasiswa D3. Sebenarnya keinginan anaknya melanjutkan ke salah satu perguruan Tinggi di Jogjakarta. Namun, apa daya karena terbentur dana, Aminah tidak sanggup membiayai. Aminah mengakui kecerdasan anaknya. Suaminya yang hanya buruh pabrik di perusahan Haji Gufron, hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka dengan ikut rewang lumayan bisa menabung sedikit untuk sekolah Akmal. Lulus sampai SMA saja sudah beruntung untuk Akmal. Aminah tidak pernah menyangka kalau Akmal akan dapat beasiswa kuliah D3.

Sekarang Akmal bisa bekerja di perusahaan Haji Gufron saja sudah lebih dari cukup, bagi Aminah.

***

Jam istirahat kantor, Akmal menyempatkan mampir sebentar. Padahal janjinya sore, tetapi sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan Zahra.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 01, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ka'bah Di Pelupuk Mata (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now