The Best Friend

2 2 1
                                    


Seorang wanita setengah baya duduk termenung menatap selembar kertas di tangan. Matanya mulai tergenangi cairan bening.

"Kenapa, Ma?" tanya gadis berseragam SMU yang duduk di dekatnya.

Segera wanita itu menyeka air mata, menatap anak gadisnya sendu. "Maafin Mama, Mama nggak bisa bahagiain kamu, Nak." Wajahnya kembali menunduk, tak sanggup menatap sang anak.

Gadis yang biasa disapa Din, atau lebih tepatnya Radinka ini menatap sang mama, bingung. "Maksud Mama apa?" selidiknya.

"Mama nggak tau kapan bisa bayar uang semester kamu." Wanita ini masih dalam posisi semula. "Mama belum ada uang. Kalo bulan ini belum dibayar, kamu nggak bisa ikut ujian akhir dan terancam tidak lulus," katanya dengan rasa tak tega.

Kaget, tentu saja ekspresi itu yang terlihat saat mendengar penuturan wanita layu berkalung syal hitam di hadapannya tersebut. Air wajah Radinka sendu, tetapi dia sangat paham bagaimana kondisi ekonomi keluarganya. Semenjak papanya meninggal, seluruh tabungan amblas untuk berobat mamanya yang sakit-sakitan. Belum lagi biaya hidup sehari-hari dan sekolah yang tidak bisa ditunda.

"Aku gak pa-pa, kok, kalo harus putus sekolah, Ma. Aku akan kerja, bantu Mama biar Mama istirahat di rumah," kata gadis ini. Dia terlihat sangat tegar.

Sepeninggal sang papa, dia berusaha berdiri sendiri. Bukan apa-apa, sang mama yang memang menderita sakit paru-paru itu tak bisa dia andalkan—mengurus rumah, memasak, mencuci, dan bahkan bekerja. Radinka sering menggantikan Mira di laundry.

"Enggak, Sayang. Kamu harus lulus, kamu harus mengejar cita-cita kamu. Mama ingin melihat kamu sukses. Kamu pegen jadi dokter biar bisa nyembuhin Mama, 'kan?" jemarinya menggapai wajah Radinka, membelainya lembut.

Semangat berkobar dalam dada gadis itu. Melihat mamanya pucat pasi, dia selalu bertekad untuk tetap berjuang menggapai cita-cita. Dia menanamkan dalam dirinya sendiri, bahwa harus bisa sukses dan menjadi dokter. Apa pun akan dia lakukan.

"Sekarang, kamu ganti baju. Mama udah siapin makan siang buat kamu."

Hidup dalam kesederhanaan, terkadang sering membuat Radinka mudah menyerah. Bukan karena harta yang membuatnya lemah, tetapi kesehatan sang Mama-lah yang sering menggerogoti keteguhan hatinya.

*

Jam istirahat, kelas kembali kosong. Hanya ada beberapa siswa yang belum keluar kelas, termasuk Radinka. Gadis berkulit sawo matang itu masih memikirkan nasibnya di sekolah ini. Putus atau lanjut? Begitu pikirnya. Melihat kondisi sang mama, semua hal seolah-olah mustahil. Namun, semangat Mira sangat kuat dalam mendukung Radinka. Itu juga yang membuat gadis ini bertahan. Meskipun demikian, Radinka sering tak tega melihat mamanya bekerja dalam kondisi tak sehat demi membiayai sekolahnya.

Puk!

Sebuah kertas yang diremas-remas dan berbentuk seperti bola pingpong itu mengenai kepala gadis ini. Ia langsung menatap tajam pada sosok yang bersandar di ambang pintu. Senyum puas tersungging di wajah pemuda itu.

Namun, hal itu justru membuat tatapan sinis tersorot dari manik hazel Radinka. Dia kaget tadi.

"Lo rese banget, sih? Bisa nggak kalo lo itu nggak ganggu gue?" dengkus Radinka.

"Buseet, galak amat, Buk?" ledek pemuda ini. Dia mendekat.

"Gue lagi pusing nih, jangan nambahin, deh! Atau lo mau gue makan?" Radinka menatap tajam ke arah sahabat satu-satunya itu.

"Hiii, atuut!!" pemuda ini bergidik. Alay!

Hening.

Pemuda tampan yang kini duduk di sebelah Radinka itu membuka pembicaraan. "Ada masalah apa, sih? Kali aja gue bisa bantu lo. Paling enggak, gue jadi pendengar keluh kesah lo."

Gavin. Pemuda yang selalu mengaku tampan—memang asli tampan—ini tahu betul jika temannya sedari setahun lalu ini sedang dirudung masalah. Meski hanya melihat dari sorot mata. Gavin sendiri tahu, Radinka telah kehilangan sosok ayah.

"Gue terancam berhenti sekolah, Vin." Gadis ini menunduk, sedih.

Gavin menautkan alis. "Kenapa gitu?"

"Gue belum bayar uang semester. SPP juga nunggak."

Mendengar itu, Gavin tampak prihatin.

"Vin, pinjemin gue uang bisa nggak? Pasti gue bayar, kok. Gue janji. Lo kan tau rumah gue, lo juga kenal nyokap gue, 'kan? Gue janji, gue gak bakal lari, Vin. Gue pasti bayar utang gue. Kalo enggak, lo boleh bunuh gue, deh."

Gavin malah cengo mendengar ocehan Radinka yang tak ada titiknya itu.

"Ck, kok lo bengong, sih? Lo gak mau minjemin gue, ya? Lo takut gue kabur? Lo takut uang lo ilang? Lo—"

Gavin segera menyumpal mulut Radinka dengan kertas yang dia lemparkan tadi. "Lo bisa gak kalo ngomong dikasih titik? Paling enggak kasih koma, kek. Etdah."

"Abisnya lo malah bengong," keluh Radinka.

"Din, gue pengen banget bantu lo. Tapi, gue gak punya tabungan. Bokap juga belum transfer uang bulanan gue. Sorry banget, Din."

Meski ada raut kecewa di wajah gadis itu, tetapi dia mengerti. Gavin memang anak orang kaya. Namun, semua itu bukan miliknya, melainkan milik orang tuanya. Mengambil sepeser pun harus dalam sepengetahuan orang tuanya.

"Gue ngerti kok, Vin. Thanks, karena udah dengerin curhatan gue. Lo gak bosen, 'kan?" Nada bicara Radinka terdengar mellow.

"Hei, Nona! Tak perlu mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku tidak berbuat apa-apa untukmu." Gavin bergaya ala Mario Teguh.

"Sialan, bisa nggak sehari aja lo nggak ngelawak? Gue lagi sedih, Vin." Radinka kesal.

Tawa Gavin berderai. "Justru karena lo sedih, gue berusaha menghibur lo, Nona."

"Serah lo deh," ujar Radinka sambil  beranjak dari tempatnya semula.

Karena merasa ditinggal, Gavin berteriak, "Dipsy, kok lo ninggalin gue, sih?"

Detik berikutnya, Gavin sudah berada di samping Radinka. Dia bertindak konyol agar sang sahabat tersenyum kembali. Berhasil, Radinka terpingkal melihat aksi Gavin yang konyol itu. Entah apa jadinya Radinka tanpa Gavin. Pemuda itu selalu ada untuknya, dalam suka dan duka. Bahkan, ketika ayah Radinka meninggal pun, Gavin berdiri di samping Radinka, menguatkan gadis itu.

Persahabatan mereka terjalin sejak kelas satu SMA hingga detik ini. Radinka berharap, Gavin tetap sudi berteman dengannya yang penuh kekurangan itu.


RADINKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang