Prolog

13 4 2
                                    


Aku menunduk,
agar kau bisa mencium keningku.
Aku diam, agar kau memelukku.
Aku letakkan hatiku di hadapmu,
agar bisa kau miliki.

Tapi begitu anggun kau menginjaknya
menjadikannya kepingan penuh luka.

Terima kasih.

Sungguh itu membuatku semakin menunduk,
memunguti serpihan-serpihannya.
Kadang merasa gila saat mengobati luka yang membekas di tiap helainya.

Kelak jika kepingan hati ini kembali utuh
tak 'kan kubiarkan siapa pun menyentuhnya.

Terlebih, melukainya lagi.

(Kota Bunga, 16062016)

***

"Mohon maaf, jika selama bekerja di sini saya banyak salah," ucapku dengan kedua tangan tertangkup di depan dada.

Mataku terasa memanas saat memandangi teman-teman di bagian administrasi pabrik cokelat ini. Sedetik kemudian pandanganku kabur, berganti dengan kaca-kaca yang berangsur menghangat dalam lelehan sedih dan haru.

Empat tahun bekerja bersama teman-teman di sini, akhirnya harus berakhir juga hari ini. Pekerjaan yang harus diselesaikan bersama; berbagi bekal lauk saat makan siang; berbagi cerita tentang keluarga di tanah kelahiran sana; hingga menggunjingkan Bos bersama, akan menjadi kenangan indah.

"Jangan sedih, Galuh." Mbak Dian beringsut maju dan memelukku. "Kamu kan mau menikah, bukan keluar karena kasus apa gitu."

"Iya, toh, kamu masuk ke sini baik-baik; keluar pun baik-baik juga. Jangan dibikin sedih, masa calon pengantin malah sedih-sedihan." Mbak Wati menambahkan kata-kata penghiburan sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku mengusap air mata, lalu memandangi mereka yang selama ini selalu ada untukku, saudaraku di tanah rantau. Aku berusaha tersenyum, agar mereka tak mengkhawatirkanku dan perpisahan ini tidak diwarnai dengan kesedihan.

"Sudah, kamu harus bahagia karena akhirnya nikah juga, ada yang menafkahi," seloroh Mbak Dian mencoba mencairkan suasana.

Aku tertawa kecil mendengarnya, begitu juga Mbak Wati. Benar juga, keresahanku tentang jodoh akhirnya selesai dengan pinangan laki-laki yang sempat membuatku galau. Setidaknya, firasatku bahwa pria itu menaruh hati padaku kini terbukti benar dengan ajakannya untuk membangun rumah tangga.

Sekali lagi aku menatap kedua sahabat di tempat kerjaku ini dengan senyum tersungging. Bagiku, mereka tidak perlu tahu seperti apa sebenarnya sosok calon suamiku ini. Karena aku pun masih shock dengan pertengkaran kami tepat setelah tiket pulang kudapatkan.

Tapi kupikir, aku hanya harus pulang untuk bertemu langsung dengannya. Mungkin jarak ratusan kilometer ini yang membuat kami harus sering bertengkar. Jadi, bagaimanapun aku harus kembali untuk menemui Birendra.

***

chachaprima

Satu Juta Tahun CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang