"Anjing! Kamu pikir aku ini apa?"
Kalimat itu dan sederetan kata-kata umpatan lain yang dikirim beruntun melalui pesan di aplikasi hijau masih terus membayangi pikiranku. Setiap huruf yang Birendra tulis di sana kini berjejalan memenuhi memori otakku, juga bersarang di relung hatiku bersama luka.
Di luar sana, langit malam begitu gelap, pohon-pohon nampak ikut berjalan mengikuti laju mobil travel yang membawaku menuju kampung halaman. Sesekali mobil kami harus berjalan pelan saat berada di belakang truk, lalu sopir akan menambah kecepatan saat menyalip truk-truk bermuatan berat di depan kami. Kemudian akan berjalan dengan cepat dan mulus ketika jalanan benar-benar lengang. Enam penumpang travel lain memilih untuk tidur hingga sampai ke tujuan masing-masing, sementara aku tenggelam dalam lamunan tentang Birendra, calon suamiku itu.
"Sebenarnya, hewan apa aku ini di matamu, Mas?" ucapku berulang-ulang dalam hati.
Mataku menghangat, lantas kuseka berulang kali cairan bening yang lolos dari sana. Aku tak ingin penumpang lain atau sopir tahu jika aku sedang 'tidak baik-baik saja'. Kantuk menyerang saat mata dan hatiku sudah begitu lelah memikirkan Birendra. Aku terlelap hingga hawa dingin fajar membangunkanku, aku hampir sampai ke tujuan.
Udara pagi masih terasa begitu bersih saat memasuki Kota Vanili, sangat berbeda dengan udara pagi di Kota Bunga, tempat perantauanku. Mungkin karena Kota Vanili ini berada di kaki gunung, jadi kesejukan udaranya terjaga. Sejauh mata memandang akan tampak perbukitan yang berjajar rapi seolah mengelilingi kota ini. Sawah dan ladang bergantian menghiasi tepi jalan raya yang harus kulewati untuk sampai ke rumah. Lalu senyumku akan mengembang saat kudapati rumah Kepala Desa sudah tampak di hadapan, pertanda lima belas menit lagi aku akan sampai ke gubuk orang tuaku.
Bangunan rumah itu berdiri kokoh di tepi jalan raya, desain klasik khas rumah priayi zaman dulu masih begitu kental meski di kanan dan kirinya telah berdiri bangunan rumah yang tampak lebih modern. Dinding rumah yang mempertahankan warna putih sebagai catnya, sementara dinding bagian bawah yang berupa batu kali yang ditata, berwarna hitam. Sungguh rumah mewah pada zamannya, karena hingga sekarang pun rumah itu masih nampak istimewa.
Berbeda dengan rumahku yang lebih layak disebut gubuk dengan dinding rumah yang mulai lapuk di sana-sini. Sementara seluruh atapnya ditutup oleh seng hasil bantuan pemerintah yang akan sangat berisik saat hujan turun, tanpa langit-langit, apalagi peredam suara. Lantai rumahku berupa tegel yang terdiri dari warna hitam, abu, dan putih. Bukan berniat mengikuti tren; hanya saja terpaksa karena kata Emak anggaran saat itu sangat terbatas, sehingga harus membeli tegel dengan cara mencicil. Sekat antar ruangan pun hanya berupa tripleks tipis dengan penataan ruang yang sekadarnya.
Musala kecil di seberang rumah menjadi saksi bahwa rumah di ujung jalan desa itu kaca jendelanya sering dipenuhi dengan sticker 'penerima bantuan pemerintah' karena pemiliknya selalu masuk dalam golongan orang miskin. Mungkin yang menjadikan rumah itu tetap istimewa adalah pemandangannya, di mana Gunung Sugeng menjulang gagah di depan mata, dan tetangga dekat yang seperti saudara; juga pemiliknya yang tulus menyayangi dan mau menerimaku dengan tulus: Emak.
***
"Galuh, Emak manut saja kamu mau pernikahan yang seperti apa," ucap Emak saat kami melepas rindu sambil membongkar oleh-oleh yang kubawa dari Kota Bunga.
"Aku ikut gimana maunya Mas Rendra aja, Mak." Aku melemparkan senyum kepada pemilik surgaku itu, walau getir terasa saat bibir mengucapkannya.
Aku pun tak tahu apakah pernikahanku ini akan tetap terlaksana atau akan dibatalkan begitu saja, mengingat setelah pertengkaran kami kemarin Birendra belum juga menghubungiku lagi, bahkan pesan yang kukirim hanya dibaca tanpa kunjung dibalas. Sedangkan tanggal pernikahan yang telah ditentukan, hanya tinggal beberapa hari lagi.
Aku pikir Emak tak perlu tahu tentang pertengkaranku dengan Birendra. Aku khawatir jika urusanku dan calon mantunya ini hanya akan menjadi beban pikirannya, merusak suasana hatinya yang tengah berbahagia karena hendak berbesan dengan keluarga almarhum Kepala Desa. Tidak menutup kemungkinan, di luar sana kabar pernikahanku ini pasti telah tersebar di seantero penjuru desa.
Sebagai orang miskin dengan pendidikan rendah, Emak pasti begitu bangga karena akan memiliki mantu dari kalangan menengah ke atas, priyayi. Jadi di satu sisi aku sangat paham rasa suka cita Emak itu dan bagaimana beliau mengekspreksikannya. Namun, di sisi lain aku terpukul; karena sikap Emak yang seperti itulah yang membuat Birendra naik pitam.
"Jangan mengandalkan aku, karena aku tidak suka diandalkan. Jangan terlalu memuji-mujiku, karena aku hanya akan muak mendengarnya. Bilang sama Emakmu itu!" hardik Birendra kemarin melalui telepon. Aku yang mendengarnya hanya bisa terisak sambil mengiyakan permintaan Birendra itu, tanpa tahu bagaimana harus melarang Emak; membatasi kebahagiaannya.
"Mak, habis istirahat nanti, mungkin aku mau ke rumah Fatimah," kataku bermaksud memohon izin, menyebutkan salah satu nama teman dekatku.
"Ya, tapi istirahat dulu."
Aku segera menggangguk sambil tersenyum setelah Emak memberi izin. Tetapi di dalam hati aku memohon maaf, karena sebenarnya yang akan kutemui adalah Birendra. Aku sudah tidak sanggup lagi bertahan menunggu kemarahannya reda; menunggu kabarnya.
***
Langit yang mendung sejak tadi aku berangkat, akhirnya menangis juga; tepat saat aku turun dari angkutan umum di depan rumah Birendra. Aku sedikit berlari untuk mencapai teras rumah di sampingnya sebelum seluruh bajuku basah kuyup. Aku menghela napas, lalu terdiam menikmati tangisan langit; benar-benar langit seolah sedang menangis untukku.
Sekitar enam meter ke arah kiri dari tempatku berdiri adalah rumah Birendra. Namun, aku hanya berdiri di sini menatapnya dengan hati berdebar. Sebuah mobil sedan berwarna merah hati terparkir tepat di halaman rumah Birendra, itulah kenapa aku mengurungkan niat untuk langsung mengetuk pintu rumahnya. Mungkin di dalam sana, dia sedang menerima tamu; atau mungkin saudaranya yang datang berkunjung. Lalu apa jadinya jika aku tiba-tiba muncul di sana? Di hadapan tamu atau mungkin saudaranya itu?
Aku menyalakan ponsel di dalam tas selempang dan seketika dadaku berdenyut ngilu saat tidak kudapati satu pesan pun dari Birendra. Dia benar-benar marah. Angin yang berhembus bersama hujan terasa semakin membekukan hatiku.
Detik yang berganti menit telah sempurna membilang dua jam. Hujan deras pun kini telah berganti gerimis kecil. Aku masih berdiri di sini dengan kekalutan yang tak bertepi. Setelah menimbang berbagai hal, aku memutuskan untuk pulang; pelan kulangkahkan kaki menyusuri bahu jalan. Hari sudah berganti malam, tidak ada lagi angkutan umum yang melintas di desa ini, sementara jarak pangkalan ojek masih sekitar tiga puluh menit jika kutempuh dengan jalan kaki. Tapi ini adalah jalan satu-satunya untuk bisa sampai ke rumah, karena tidak mungkin aku meminta tolong pada Birendra jika dia masih marah padaku.
Aku bingung, pernikahan kami tinggal beberapa hari lagi, tapi aku malah putus komunikasi dengan calon suamiku. Berbagai pikiran buruk melintas tanpa bisa dibendung lagi, aku bahkan tak bisa menemukan alasan yang tepat untuk sikap Birendra kali ini. Apa yang harus kukatakan kepada keluargaku dan semua orang jika pernikahan ini batal?
***
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Juta Tahun Cahaya
RomanceDahulu aku tak pernah membayangkan, jika mencintainya akan semenyiksa ini: semakin aku berusaha memeluknya dengan erat, semakin dalam duri itu menusuk ke relung hatiku. Aku hancur, tetapi berulangkali harus menguatkan diriku sendiri demi pernikahan...