Awal Pertemanan

108 65 275
                                    

Hai readers, apa kabar semuanya? Semoga baik-baik aja ya.
Pengen tau nih, readers biasanya baca wp jam berapa sih? Yuk comment :D - Marshchellow
---

"Bry, is that him?" Claire berbisik ke telinga Bryan  di pemakaman Ayah Abra, Harry Wicaksono.

"Yeah, he is Abra Wicaksono. Anak Om Harry. A talented model. Sekarang dia gabung di agency ku." Bryan menjawab Claire dengan detail.

Proses kremasi Harry Wicaksono berlangsung khidmat. Semua kolega yang datang bersalaman dengan Abra untuk menyampaikan ucapan duka citanya.

"Kami turut berduka cita ya, Abra." "Yang kuat ya, yang sabar." "Ke depannya jadi gimana? Tetap jadi model atau nerusin usaha papamu?" Ucap salah satu pelayat dengan nada agak menyindir. Abra hanya mencoba tersenyum dan tidak membalas pertanyaan pelayat tersebut. Abra juga mendengar beberapa cicitan pelayat lain yang memojokkannya.

"Sayang banget kan bisnis Pak Harry ngga mau diterusin sama anaknya. Anak tunggal lho. Ya mirip mamanya ya, tertariknya sama dunia entertain. Mana ngerti dia bisnis."

"Kasihan banget ya Pak Harry. Punya anak tapi kok ngga mau bantu bisnis bapaknya, padahal bisnis Pak Harry itu udah maju banget. Sama banget kan tuh anaknya sama mamanya."

Abra menahan emosinya mendengar bisik-bisik gosip dari pelayat yang datang. Ia sadar mereka tidak tahu kondisi keluarganya dan hanya melihat dan mengomentari apa yang menjadi buah bibir orang-orang di kalangan bisnis. Mereka benar, Abra memang tidak pernah mau ikut campur dengan bisnis ayahnya, selain karena tidak berminat dengan dunia bisnis, Abra juga ingin menunjukkan bahwa pencapaiannya selama ini di dunia entertain adalah bukan campur tangan dari tangan dingin ayahnya. Abra juga tidak ingin hidup seterusnya pada bayang-bayang ayahnya. Baginya, kolega bisnis akan terus membanding-bandingkan kesuksesannya dan kesuksesan ayahnya apabila dia ikut terjun dalam bisnis yang sama. Sebagai pengusaha di bidang properti, Harry Wicaksono tentunya memang merupakan nama yang disegani, tidak hanya di Pulau Bali, namun juga di ibukota.

"Kasihan sekali ya, Bry. It's not his mistake. Dia ngga mau ngelanjutin bisnis ayahnya karena memang mau berkembang sendiri sesuai dengan passion nya kan?" Claire ikut sebal dengan celetukan-celetukan dari pelayat di kiri kanannya.

"Well, Clay, people just say what the wanna say. Aku juga ngga setuju dengan jalan pikir mereka. Biarin ajalah." Bryan mencoba memaklumi keadaan itu karena memang itulah harapan semua orang tua pebisnis untuk anaknya bisa terjun melanjutkan kerajaan bisnis mereka.

Di samping kanan Abra, Zaki berdiri dan terus mengamati Abra, ia takut sahabatnya tidak bisa menahan emosi dan mempermalukan diri sendiri. Zaki sangat tahu Abra ingin marah dan menghajar para pelayat yang tidak tahu apapun tentang kehidupan ayahnya dan Abra.
"Bro, wanna have your final speech?" Zaki memberikan kode kepada Abra untuk memberikan final speech kepada pelayat yang sudah datang ke krematorium.

"Sure." Abra maju ke depan untuk menyampaikan final speech nya sebagai tanda penghormatan terakhir kepada ayahnya dan sebagai ucapan terima kasih kepada para pelayat.

"Bapak, Ibu, dan Teman-Teman terkasih. Perkenalkan saya Abra Wicaksono, putra tunggal dari Harry Wicaksono. Saya sangat berterima kasih atas kedatangan semua disini. Kedatangan kalian kesini tentu menjadi salah satu tanda kehormatan untuk ayah saya, Harry Wicaksono. Disini saya juga mewakili beliau mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama hidup ada salah kata dan perlakuan baik disengaja dan tidak disengaja.

Kalau boleh saya sharing sedikit, Ayah saya merupakan salah satu panutan saya, selain ibu saya. Semasa hidupnya tidak pernah sekalipun saya ingin jalan berseberangan dengan beliau. Beliau adalah sosok yang sangat saya hormati, seperti kalian juga menghormati beliau.

Beliau adalah sosok yang tegas dan tentunya pebisnis yang handal di bidangnya. Satu hal yang Ayah saya selalu tekankan pada saya adalah "Pekerjaan yang paling mahal adalah pekerjaan yang kita lakukan karena kita memang sangat mencintai pekerjaan tersebut." Itulah prinsip yang saya pegang hingga saat ini. Saya tahu kerajaan bisnis yang sudah Ayah saya rintis tentu saja memang harus diteruskan. Ya, saya akan meneruskan bisnis beliau, tetapi saya akan meneruskan bisnis beliau dengan cara saya, menambah bisnis di bidang lain yang juga merupakan passion saya.

Akhir kata, saya sebagai putra tunggal Ayah saya, Harry Wicaksono, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pelayat yang sudah ikut mengantarkan Ayah saya ke peristirahatan terakhirnya. Saya juga mengucapkan terima kasih karena kalian semasa hidupnya sudah menjadi kolega yang baik dan sportif. Seperti kata pepatah "tiada gading yang tak retak", begitu juga dengan speech saya siang hari ini. Apabila ada salah kata baik disengaja maupun tidak, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekali lagi terima kasih." Abra mengakhiri final speech-nya yang diikuti tepuk tangan para pelayat yang tidak menyangka seorang Abra Wicaksono dapat berbicara di depan umum dengan sangat percaya diri dan dilakukan tanpa teks. Abra memandang puas ke arah para pelayat yang tadi berbisik menjelek-jelekkan dia.

"Good job, bro. Well done. Keren banget lo membungkam mereka. Nice game, man! Ini dia cara membungkam orang dengan mewah. Gokil!" Zaki memukul pundak Abra sebagai tanda pujian.

"Gue ngelakuin itu biar bokap ngga sakit hati juga, Man, dengerin anaknya digosipin sama koleganya." Abra menjawab dengan nada masih berduka.

"Turut berduka cita ya, Abra." Ucap Bryan mendatangi Abra dan bersalaman dengannya. "Kamu salah satu model di agency-ku, tapi mungkin kita belum pernah ketemu. Ayah kamu adalah rekan bisnis yang hebat. Gue pribadi yakin lo juga punya visi sehebat beliau." Abra melanjutkan perkenalannya karena dia melihat raut wajah bingung dari Abra.

"Thanks Pak." Abra membalas ucapan Bryan.

"Next time kalo ketemu, don't mind to say hi ya, we are friends afterall." Tambah Bryan yang diikuti anggukan Abra.

"Hi, I am Claire, Brandon's daughter. Send my deepest condolence for your dad. My dad cannot come and ask me to send his too" Claire mendatangi Abra dan berjabat tangan untuk menyampaikan belasungkawanya. "Actually, we have met before. Do you still remember me?" Claire mencoba membuka percakapan dengan Abra.

Abra masih mengingat dengan jelas sosok yang menolongnya saat ia ribut dengan ayahnya yang sedang mabuk.

"Iya inget. By the way, sorry waktu itu aku emosi, maklum lagi ada masalah sedikit sama bokap. Thanks juga waktu itu sudah nolongin aku."

"Dont worry. Next time, if you need our help, just let me or Bryan know ya. Aku yakin kita bisa jadi teman yang baik" Claire dengan ramah membalas ucapan Abra.

"Sure, thank you ya Claire, Bry." "Oh iya, lusa ada kerjaan? Gue sama Zaki mau ngadain doa bersama di rumah. Ya acara kecil-kecilan sih, doa buat Papa." Abra mencoba bersikap ramah dengan Claire dan Bryan. Abra bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi entah mengapa Claire dan Bryan bisa langsung klik dengannya. Zaki juga sedikit heran dengan sikap Bryan kepada mereka berdua. Namun, Zaki menganggap ini adalah kemajuan karena Zaki tahu setelah ini dia akan lebih banyak mengurusi bisnis ayah Abra dan tentunya mengembangkan production house yang sudah dipersiapkan ayah Abra untuk putra semata wayangnya.

---

Gimana readers part ini? Kalo ada typo tolong di-comment juga ya hehehe...

Sudah siap dengan konflik dan klimaks cerita ini?

Menurut kalian bakalan gimana nih persahabatan mereka bertiga?
Yuk comment disini. - Marshchellow

NYAMAN: Tempat Hati Berlabuh dan Langkah TerhentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang