Pulang
🐑🐑🐑🐑🐑🍃🍃🍃🐑🐑🐑🐑🐑
Di bawah terik matahari yang panas membakar kulit, seorang pemuda berbadan kurus tengah mengayuh sepeda tuanya susah payah. Jarak yang cukup jauh tak membuat semangat luntur. Bahkan titik-titik keringat yang menghiasi kening jatuh membasahi pipi, tak membuat pemuda berseragam SMP itu mengeluh.
Sengatan sang surya yang mengenai lengan karena baju yang hanya sebatas siku membuat kulit itu tampak hitam, pun dengan wajah yang hanya ditutupi sebuah topi. Deru napas yang memburu akibat lamanya ia mengayuh sepeda jengki berwarna biru tua peninggalan sang kakek.
Sesekali kakinya lepas dari pedal akibat rasa lelah yang hinggap. Namun, lagi-lagi itu tak mempengaruhi dirinya untuk berhenti barang sedetik pun. Jantung yang berdegup sedari tadi akibat kabar yang diterima semakin memicu kecepatan, memompa tenaga serta napas yang terdengar semakin ngos-ngosan. Sesekali putaran pedal ia hentikan, tangan kanan dilepas dari stang untuk menyeka keringat yang semakin terasa basah.
Jalanan aspal yang memantulkan panas sebentar lagi akan selesai, di depan sana ia akan berbelok ke desa tempat tinggalnya. Namun, perlawanan dengan sang surya belumlah usai. Jalan yang dulu berhiaskan tanah dan kerikil kini telah berubah. Deretan paving tertata rapi mempermudah orang-orang yang melintas.
Sayangnya, pembangunan jalan turut juga pelebarannya, pohon-pohon yang dulu bisa digunakan untuk berteduh kini tak lagi ada. Semua dipangkas habis rata sama tanah. Ah, rasanya menyiksa kala cahaya matahari langsung menerpa tubuh. Belum lagi pantulan dari tembok pabrik di sebelah kanan, beruntunglah para pemakai motor yang bisa menambah kecepatan hanya dengan menarik saja.
Lalu ... bagaimana nasib para pejalan kaki dan pengayuh sepeda seperti dirinya? Sungguhlah terima nasib.
Jarak rumahnya kurang tiga ratus meter lagi. Ia semakin cepat mengayuh sepeda ontel tua itu, ingin segera sampai dan memberikan kabar membahagiakan tentang dirinya.
Namun, kening mengernyit kala mendapati tempat tinggalnya tampak ramai. Kunca, si pembawa sepeda memelankan laju, turun dan menuntun setang karena merasa tidak enak banyak warga yang duduk di pinggir jalan. Tak sopan saat ada orang yang lebih tua di sana ia masih mengayuh sepeda.
Terus berjalan dengan benak bertanya. Ada apa sebenarnya? sayup-sayup ia mendengar suara tangis. Tangisan yang menyayat. Kunca terus melangkah hingga sampailah ia ke pekarangan rumahnya. Tatapan bola mata hitam itu jatuh pada seseorang yang terbaring di atas dipan yang terbuat dari kayu.
Di sebelahnya, sang ibu dan adiknya menangis saling berangkulan.
Rasa bahagia karena tak sabar ingin memperlihatkan apa yang ia dapat di sekolah hancur sudah, rasa semangat itu lenyap seketika. Senyum yang menghiasi kini luntur, jiwa yang berkobar padam tiba-tiba.
Pandangan Kunca nanar, lurus ke depan pada bangunan lusuh dan lama yang terbuat dari anyaman bambu. "Bapak," panggilnya saat ia dapat melihat wajah yang kini tampak pucat.
"Bapak," panggilnya lagi.
Kali ini, pegangan tangan dari sepeda jengkinya terlepas. Tak peduli besi tua yang selalu menemaninya menimba ilmu itu roboh, badan lelah segera dibawa lari untuk mendekati tubuh kaku tak berdaya di atas dipan.
"Bapak," panggil Kunca kembali ketika ia telah sampai di samping jasad bapaknya.
Mata yang terpejam kembali membuat Kunca memanggil. "Bapak."
Tak ada jawaban. Rasa takut yang sebelumnya masih ia duga kini mulai menguasai diri, rasa sesak yang sebelumnya hanya bercokol di dada kini terasa mengimpit seluruh tubuh. Mata tajam kini tampak sayu, menatap nanar dengan pandangan berkaca.
"Bapak," panggilnya lagi dengan suara lirih. Bening kristal pun mulai jatuh ke pipi.
Tubuh Kunca luruh ke lantai, mendekat ke dipan menggunakan lututnya. Tangan yang penuh keringat terangkat, membelai wajah yang terasa dingin.
"Bapak. Kunca pulang, Pak," ucapnya di sela tangis. Suaranya pun kini mulai serak.
"Bapak. Katanya Bapak mau ngucapin selamat untuk Kunca. Ayo bilang, Pak. Kunca bawa sesuatu untuk Bapak." Laki-laki yang masih memakai seragam itu tak peduli jika semua orang menatapnya kasihan. Tak peduli jika semua yang ada di sana menganggapnya cengeng. Karena itulah yang ia rasakan sekarang.
Dengan gerakan cepat, Kunca melepaskan tas lusuhnya, membuka dengan buru-buru sehingga memutuskan salah satu resletingnya.
Tak peduli. Yang terpenting sekarang adalah isinya.
Sebuah map biru diraih, lalu dibukanya di samping jasad sang ayah. "Bapak coba lihat. Kunca lulus, Pak. Kunca lulus. Sebentar lagi Kunca masuk SMA." Ia menunjuk kata lulus yang tertulis dengan huruf besar di atas kertas putih itu. Memperlihatkan di depan bapaknya meski tahu tak akan mendapat tanggapan.
"Pak, Kunca lulus, Pak," ucapnya lagi. Kali ini disertai tangis yang kian menjadi.
Sebuah pelukan dirasa. "Sudah, Ca. Sudah. Ikhlaskan Bapakmu." Mendengar suara itu, map yang ada di tangannya terlepas begitu saja. Ia langsung memeluk tubuh yang tak lagi berdaya. Mulai menangis, meraung, berteriak sejadi-jadinya.
Hari itu ... siang itu, di panas yang membara oleh teriknya matahari. Rasa bahagia yang melambung tinggi dihempaskan begitu saja, jatuh tak tersisa di jurang terdalam.
Di hari selasa, Kunca, setelah mendapat kelulusan sekolahnya ... ia juga mendapatkan kepergian sang ayah. Sinar mentari yang menyengat, menjadi saksi perpisahan sebuah keluarga dengan sosok suami dan bapak yang selama ini menjadi panutan keluarga.
🐑🐑🐑🐑🐑🍃🍃🍃🐑🐑🐑🐑🐑
Tes
Tes
TesYok tes pasar
Bagaimana menurut kalian prolognya
Mau lanjut?
Lanjutlah, ya.Stay tune with me
di cerita baru bergenre teen fictionSalam ketcup jauh dari Mom
😘😘😘😘
YOU ARE READING
Kunca
Teen FictionApa salahnya dengan keinginan remaja yang ingin bisa lulus SMA? Tidak salah bukan? Begitu juga halnya dengan Kunca. Ia pun sama ingin mengenyam pendidikan di bangku SMA, lulus dengan bangga. Hanya saja, kehidupan yang menempatkan dirinya di bawah ga...