Bab 1

3 2 0
                                    


Dan sendu yang lama

Nada dering telepon rumah terdengar dari ponsel Zia. Sebuah panggilan telepon masuk. Wanita itu memang lebih suka menggunakan fasilitas bawaan yang telah disediakan ponsel setiap kali membelinya dan selalu nada itu yang dipakai. Tidak pernah berubah.

Zia melirik sekilas siapa yang meneleponnya kini. Tertulis kata 'Mama' di layar ponselnya itu.

"Masih di mana?"

Wanita yang telah melahirkannya segera bertanya begitu panggilan telepon itu Zia terima.

"Di sekolah, Ma," jawab Zia singkat.

"Jam segini?"

Zia melirik petunjuk waktu yang terletak di posisi kanan bawah layar laptopnya. Setengah enam sore. Dia terlalu asyik memeriksa tugas para siswa yang sedang praktek kerja lapangan di industri melalui tautan alamat situs yang diberikannya pada mereka hingga tidak menyadari jika hari mulai beranjak malam.

"Iya. Dede masih meriksa tugas anak-anak, Ma," jawabnya lagi menjelaskan.

"Terus mau sampai rumah jam berapa? Besok subuh?"

Zia mencoba menahan tawa mendengar sindiran ibunya itu. Mana mungkin perjalanan dari Pondok Indah Kapuk ke Pekayon menghabiskan waktu hingga dua belas jam perjalanan. Paling hanya butuh waktu satu jam jika bukan melaju di jam sibuk atau sekitar dua jam jika intensitas perjalanan sedang padat meski melewati jalanan tol dengan menggunakan mobil. Dengan motor? Tentu akan lebih cepat lagi.

"Ya enggak dong, Ma. Paling jam delapanan juga Dede udah sampai di rumah. Dede salat magrib dulu di sekolah, ya?" izin wanita yang memang terbiasa memanggil dirinya 'Dede' setiap kali berbicara dengan sang ibu.

"Memang di sekolah masih ada orang?"

Zia bangkit dari kursinya dan melirik beberapa rekan sejawatnya yang masih tenggelam dalam kesibukan. Mungkin ada yang sedang sama sepertinya, memeriksa tugas para siswa. Mungkin juga ada yang sedang membuat bahan untuk mengajar esok hari. Atau mungkin ada juga yang sekadar terlalu asyik berselancar di dunia maya bahkan mengunduh beberapa drama Korea favorit menggunakan fasilitas internet yang disediakan sekolah.

Di ruang guru itu, ada tiga orang guru laki-laki yang sudah menikah, dua orang guru laki-laki yang sudah menikah, dua orang guru perempuan yang masih single, termasuk dirinya, dan satu orang guru perempuan yang baru menikah dua pekan yang lalu.

"Masih. Enggak percaya? Mau pindah ke videocall?" tawar Zia.

"Enak saja. Memang kamu pikir Mama ini apa?"

Zia lagi-lagi menahan tawa. Sejak kejadian menyebalkan lima tahun yang lalu, ibunya itu memang sering bersikap overprotective. Padahal tahun ini, wanita itu genap berusia dua puluh sembilan tahun. Kenapa harus diawasi seperti anak kecil dan tidak diberi kebebasan layaknya orang dewasa?

"Mama hanya ingin menjaga kamu. Dulu, saking terlalu sayangnya kepadamu, Mama memberikan banyak kepercayaan dan membebaskanmu akan banyak hal hingga menomorduakan kakak perempuanmu. Ternyata, hal itu malah dibalas dengan kebohongan yang kamu lakukan dengan laki-laki kurang ajar seperti Yudha. Jadi wajar jika kini Mama lebih mengawasimu."

Jawaban ayahnya kala dia berkeluh kesah tentang sikap perhatian sang ibu yang berlebihan itu mau tidak mau harus diakui wanita itu. Andaikan lima tahun lalu dia tidak membuat kesalahan dengan menyimpan banyak rahasia kepada ibunya, mungkin kini dia tetap memiliki kebebasan dan kepercayaan.

Kejadian lima tahun yang lalu itu memang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan Zia.

Enam tahun yang lalu, dia terlibat dengan asmara dengan seorang pria. Seorang CEO sebuah perusahaan startup yang sedang mengembangkan jaringan perusahaannya ke Asia Timur, terutama Jepang.

Pertemuan pertama mereka kala Zia dimintai tolong menggantikan teman kuliahnya yang berhalangan hadir untuk datang ke rapat antara perusahaan Yudha dengan orang Jepang. Meski malas, mau tidak mau wanita itu menyanggupi permintaan temannya karena diancam perihal hutang meski itu hanya gurauan saja.

Tanpa diduga, Yudha tertarik setelah melihat kemampuan luar biasa Zia dalam menyampaikan apa yang diinginkan perusahaannya maupun calon perusahaan rekanan. Hal itu tanpa disadari telah membuat keduanya saling mencintai. Hubungan cinta itu dijalin tanpa diketahui kedua belah pihak keluarga karena Zia enggan membawa Yudha.

Dia tidak mau membawa laki-laki itu ke rumah karena khawatir dengan sikap ibunya yang selalu berharap jika kakaknya terlebih dahulu yang seharusnya menikah. Itu yang membuat Zia menahan diri dan memilih menyembunyikan hubungan mereka.

Setahun berlalu, hubungan itu masih berjalan mulus meski keduanya disibukkan dengan berbagai hal. Namun, semua itu berubah ketika tanpa sengaja ibunya bertemu dengan teman lamanya dan berniat menjodohkan sang kakak dengan anak teman lamanya itu. Siapa sangka, jika laki-laki yang hendak dijodohkan itu adalah Yudha, kekasihnya selama ini.

Zia yang tidak menyetujui hal itu selalu berusaha untuk menghalangi hubungan keduanya tanpa tahu jika ternyata kakaknya telah mengetahui hubungan dia dan Yudha yang sebenarnya. Berkat sang kakak pula, Zia mengetahui niat busuk laki-laki yang dicintainya selama itu. Hal itu membuatnya kecewa setengah mati. Mungkin hal itulah yang membuat Zia makin enggan menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun.

Lima tahun terakhir ini, demi menghapus bayang-bayang laki-laki kurang ajar itu, berulang kali Zia mencoba mengajukan beasiswa Teacher Training Program dari Kedutaan Besar Jepang. Kali pertama, bahkan seleksi berkas pun dia tidak lolos. Kedua kali mencoba, hanya berhasil hingga ujian tulis. Ketiga kalinya, berhasil hanya di ujian wawancara. Setelah tiga kali mencoba, akhirnya dia memilih untuk melanjutkan belajar ke tingkat magister. Sempat cuti satu tahun karena mendapat kesempatan ujian sertifikasi guru, kini sambil membangun kembali semangat dan mood, dia mencoba meneruskan pendidikannya.

Bayangan laki-laki itu hampir menghilang karena selama itu pula dia tidak pernah mencari kabarnya hingga sepekan yang lalu tiba-tiba saja sosoknya mulai menghantui.

Pertemuan itu terjadi tanpa sengaja ketika salah seorang teman kuliah pascasarjananya mengajak Zia mengerjakan sebuah proyek mengajarkan bahasa Jepang ke pegawai perusahaan. Siapa sangka jika perusahaan yang hendak mengirimkan karyawannya ke Jepang melalui lembaga penyalur kerja itu adalah milik Yudha.

Zia tidak bisa memutuskan sepihak hanya karena bertemu mantan kekasihnya itu akibat terlanjur menandatangi surat kontrak kerja selama enam bulan ke depan. Meski seharusnya sebagai pemilik perusahaan, Yudha tidak harus selalu mengawasi pegawainya yang sedang belajar, ternyata laki-laki yang hingga kini masih jomlo itu memutuskan untuk kembali mendekati Zia.

Sekuat apapun Zia menghindar, sosok laki-laki yang telah membuatnya kecewa itu akan selalu muncul. Apalagi penampilan Zia yang berkerudung dan berbeda dengan penampilannya lima tahun yang lalu itu makin mengundang rasa penasaran Yudha. Dengan penuh percaya diri, meski telah membuat wanita yang dicintainya itu terluka, Yudha yakin jika Zia masih mencintainya.

"Ya sudah. Mama tunggu di rumah, ya. Mama baru makan malam kalau kamu pulang. Kita makan bersama. Jangan lupa bawakan sate ayam dan sop kambing untuk teman nasi."

Panggilan telepon itu pun berakhir.

***   

Adu RayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang