Ice Vianne Black

3.6K 147 8
                                    

GADIS itu menatap kejauhan, tanpa suara dan tak bergerak, tetapi udara musim dingin menerpanya. Dieratkannya mantel yang memeluk tubuhnya perlahan, sementara matanya masih belum lepas dari punggung seorang pria yang berjalan menjauh.

Rumahnya ada di belakangnya, tetapi pria itu berjalan ke arah lain tanpa dapat dicegahnya. Semakin menjauh dan akhirnya lenyap ditelan jarak.

Gadis itu menoleh ke sebelah kirinya dan menemukan seorang wanita, ibunya, tersenyum hangat ke arahnya. Seorang anak laki-laki berada dalam gendongannya, tertidur. Gadis itu tahu perasaan ibunya, wanita tua itu terluka. Luka yang disembunyikannya dengan senyum palsu di wajahnya.

Tangan ibunya yang bebas dengan lembut merangkul gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah, jauh dari hawa dingin yang menerpa dan semakin membuatnya gila.

Namanya Ice, tapi dingin masih mengganggunya.

RUMAHNYA bukanlah sesuatu yang istimewa. Hanya sebuah bangunan kecil di pinggiran Kota Blue. Danau Sea hanya beberapa meter jaraknya dari kawasan perumahan tempatnya berada, dia masih dapat melihatnya dari jendela rumahnya.

Danau Sea di sore hari biasanya tampak hangat dan menyambut, tapi hari ini hanya terlihat dingin dan mengancam. Musim dingin telah membekukannya menjadi danau es yang keras.

Dia sudah pernah melalui dua perang sepanjang hidupnya, dan ini pertama kalinya perang terjadi di musim dingin. Tidak ada bedanya. Dia tidak ikut perang, dan tidak akan pernah bisa.

Matanya menatap kaki kirinya. Memang tidak tampak, tapi di dalamnya, tulangnya membengkok. Tidak banyak yang bisa dilakukannya dengan keadaan kaki seperti itu.

Ibunya tiba-tiba menerobos masuk lewat pintu depan rumahnya, mendadak, mengejutkannya. Ice menatap sang ibu kebingungan. "Ada apa, bu?"

Ibunya tidak langsung menjawab. Wanita itu sibuk membereskan barang-barang mereka dan menyimpannya dalam suatu tas. "Cepat, nak, kota ini akan menjadi medan perang lagi dalam waktu dekat."

Ice langsung paham. Gadis itu buru-buru membereskan barang-barang miliknya dan memasukkannya dalam tas lain,  sementara ibunya membangunkan adiknya yang sedang tertidur. Tidak perlu waktu lama sampai mereka siap. Ibunya membuka pintu rumah dan angin dingin memasuki seisi rumah, membuat Ice mengigil. "Ke mana kita pergi?" tanya gadis itu seraya berjalan keluar rumah.

"Hutan Forewood, tentu saja," sahut ibunya sambil menutup rumah dan menguncinya. Ice tidak mengerti kenapa wanita itu melakukannya. Perang jelas akan merusakkan semua rumah di dekat sini, tidak ada gunanya mengunci rumah.

Mereka berjalan bersama para tetangga yang membawa banyak barang. Beberapa yang cukup ramah menyapa mereka, sisanya hanya sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Tidak perlu berjalan jauh untuk tiba di hutan, berhubung mereka tinggal di pinggiran kota.

Semua orang sudah tahu kemana mereka harus pergi. Sejak perang lalu, mereka selalu diungsikan ke sana. Memang hanya ada beberapa gubuk pemburu kecil dalam hutan, tapi saat perang, tidak ada yang benar-benar punya pilihan.

Sisa penduduk lainnya diungsikan ke dalam kemah-kemah darurat yang didirikan di sekitar gubuk pemburu. Bukan tempat ternyaman yang bisa didapatkan, tapi sekali lagi, tidak ada pilihan dalam perang.

Ice dapat merasakan suasana di sekitarnya. Sudah kesekian kali perang terjadi, tapi semua orang masih sama paniknya. Masih sama takutnya, masih sama bingungnya.

Ice menghela napas. Di depannya berjalan ibunya, dengan adiknya dalam gendongan. Di tangannya sendiri tergantung tas-tas kulit berisi barang-barang terpenting mereka.

Kadang Ice bertanya-tanya, apakah mereka akan selamanya seperti ini? Hanya ada mereka bertiga, berusaha bertahan hidup.

Keluarga mereka tidak pernah lengkap.

Forewood Kingdom: Ice's Blood [5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang