✨✨✨
Bangku taman yang sempat aku duduki tadi menjadi saksi perihal kebaikan seorang manusia. Aku masih menatap pria itu—pria yang kini duduk bersama ku.
Aku melihat setiap perlakuannya, tidak ada yang dipaksakan, murni dilakukan sebab hatinya yang memang suci.
Beberapa waktu yang lalu, pria itu berhenti di taman ini, meninggalkan becak dayuhnya yang bisa dikatakan sudah tidak layak pakai lagi. Perlahan ia menghampiri seorang anak laki-laki yang sepertinya adalah seorang pemulung. Anak laki-laki itu meringkuk—memegang perutnya.
Pria tadi memegang anak laki-laki itu. Dia sempat menghindar saat melihat pria tadi mendekatinya, ketakutan sepertinya.
"Hai, dik? Kamu tidak perlu takut sama Bapak. Bapak nggak akan menggangu kamu, kok. Tadi Bapak sempat membeli sebuah roti, mungkin kamu mau memakannya?"tanya pria itu dengan nada suara yang amat lembut.
Perlahan anak laki-laki itu kembali mendekatkan tubuhnya kala melihat sebuah roti digenggaman pria itu. "Bapak serius ini untuk aku?"
"Iya, Nak. Ambil saja untukmu,"tutur pria tadi.
"Terima kasih banyak, ya, Pak. Kebetulan aku dan adikku belum makan dari pagi. Aku akan membagi roti ini padanya nanti."
Hatiku mendadak terasa sakit. Anak itu dan adiknya belum makan sejak pagi, dan kini ia ingin memakan roti harga seribuan tadi dengan adiknya.
Aku merasa bodoh kala mengingat apa yang kulakukan tadi pagi. Aku membuang sarapan yang belum ku makan sedikit pun hanya karena rasanya yang keasinan.
Ku langkahkan kakiku kearah mereka berada."Hai, dik! Kakak denger kamu dan adikmu belum makan dari pagi, ya?"
Dia tampak bingung dengan kehadiranku yang tiba-tiba."Eum, iya, Kak."
Aku mengelus rambutnya pelan,"Kamu mau makan kesitu, nggak?"tanyaku sambil menunjuk sebuah restoran cepat saji yang cukup terkenal.
"Mau banget, Kak! Tapi aku nggak punya uang."
"Nggak masalah, dong. 'Kan kakak yang traktir kamu. Bapak juga ikut, ya."
Pria tadi tampak menolak dan ingin pamit dari hadapan kami. Namun, aku menggengam tangannya,"Tidak apa-apa, Pak. Saya bukan orang jahat."
Akhirnya pria itu setuju, kami berempat—Pria itu, aku, anak laki-laki tadi, dan adiknya—kini menuju restoran cepat saji di depan kami.
Mereka tampak sangat bahagia saat memasuki tempat itu. Aku membelikan sejumlah makanan untuk mereka makan dan mereka bawa pulang.
Aku juga memberikan sedikit rezeki yang aku dapat hari ini pada mereka. Walau sempat menolak, akhirnya mereka menerimanya.
Kini aku tinggal berdua dengan pria tadi—Pak Bagus namanya. Sejak pagi ia belum mendapat sewa, dan roti tadi ia dapat dari temannya sesama pembawa becak, karena ia belum makan dari pagi, sama seperti anak tadi.
Saat aku tanya mengapa ia memilih untuk memberi roti tadi kepada anak laki-laki itu dan bukan malah memakannya. Ia menjawab dengan enteng,"Dia masih kecil, dek. Di umur segitu saya dulu masih dikasih makan sama orang tua saya. Jadi, saat saya melihat dia, saya tidak memikirkan rasa lapar di perut saya lagi. Hanya ada rasa iba, karena anak sekecil dia sudah harus bekerja dan jarang mendapat makan. Di usianya sekarang, seharusnya dia masih bermain dan belajar seperti anak pada umumnya."
Pak Bagus menghela napasnya pelan dan melanjutkan ucapannya,"Ya gitu, lah, dik. Namanya juga kehidupan. Dia nggak salah karena lahir dalam kemiskinan, dia masih punya banyak waktu untuk meraih kesuksesan agar tidak merasakan hal seperti ini lagi, begitu juga dengan kamu, dik. Pergunakan waktu yang kamu punya dengan baik, jika tidak kamu akan menyesal seperti saya. Saya dulu lahir di keluarga berada, hidup senang, foya-foya, bermain, dan tidak peduli tentang sekolah. Karena posisi orang tua saya yang dulu hebat, sekolah saya, ya, lancar-lancar aja. Kalau nilai jelek, tinggal bayar, langsung naik kelas. Begini lah saya akhirnya, hidup susah."
Banyak pelajaran yang aku dapat dari Pak Bagas. Dia yang dulu hidup berada dan senang harus merasakan pedihnya kehidupan di usianya yang sudah terbilang tua.
Memang benar kata Pak Bagas. Aku harus memperjuangkan kehidupanku selagi masih muda, agar nantinya tidak menyesal dikala tua.
—END—
Jumlah kata : 635
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat Untuk Kembali Pulang
General FictionSegala hal baik yang kamu lakukan akan kembali kepadamu. Tidak ada yang salah dari berbuat kebaikan, dan kebaikan itu tidak pernah memandang umur, jenis kelamin, atau apapun itu. Cukup lakukan sesuai hatimu.