"Yaampun, Zi, bisa nggak, kalo punya hubungan tuh yang jelas-jelas aja. Jangan asal ngomong jalanin ajalah, liat bagaimana nantilah. Zi, lo tuh udah semester 5. Sebentar lagi semester 6. Tahun depan skripsi, sidang, wisuda, kelar. Kita lulus. Lo gak pengen apa punya support system yang bisa lo andelin? Hah? Tanya kek, dia tuh bener suka nggak sama lo? Bener serius nggak? Bener mau perjuangin gak? Jangan cuman modal chattingan tiap hari tapi hubungan jelas aja kagak. Dia suka sama lo atau enggak aja, lo nggak ngerti jawabannya, kan? Tanya kek!"
Bener-bener ya. Pagi-pagi Vilda udah ngomel yang membuat Zira malah melongo. Ya gimana enggak melongo, belum ada 5 menit Zira cerita masalah hubungannya dengan laki-laki yang dekat dengannya, Vilda udah main nyerocos ngomel aja.
Zira dengan kekacauan hubungannya yang tidak ia sadari. Laki-laki yang dibahas Vilda adalah Rayyan. Teman dekat Zira alias gebetan tapi nggak tau bagaimana kejelasan hubungannya. Mereka sudah lama dekat bahkan dari SMA. Rayyan adalah kakak kelas Zira. Mereka berkenalan saat kebetulan satu bimbingan belajar waktu SMA. Meskipun beda tingkatan, entah bagaimana mereka bisa bertemu dan seakrab itu. Dari pagi hingga pagi lagi, mereka selalu bertukar pesan. Isinya sih cuman basa-basi doang. Nggak ada hal serius yang mereka bicarakan. Tapi setiap hari selalu ada."Sekarang gue tanya. Lo pernah nggak vidcall-an sama dia?" Tanya Vilda yang tiba-tiba matanya serius memandangi Zira. Seperti detektif yang sedang mengintrogasi pelaku kriminal.
"Enggak," jawab Zira dengan wajah datar, melihat Vilda yang melongo mendengar jawabannya, Zira segera menambahkan, "lagian aku juga nggak suka video call-an gitu."
Vilda menyeringai, "gak mungkin! Masa lo sama sekali nggak pengen?"
Zira diam, "emmm..."
"Gue ngerti, Zi. Se-enggak pengennya lo vidcall-an sama cowok, lo pasti juga pernah pengen kali, ngomong lewat panggilan suara ataupun video," sahut Vilda cepat, melihat Zira yang malah diam dan sudah bisa ditebak.
Zira menunduk, bener juga sih, apa yang di omongin Vilda. Benar bahwa ia beberapa kali sempat ingin melakukan panggilan dengan Rayyan. Entah itu lewat suara ataupun video. Karena sehari-hari mereka hanya berkomunikasi lewat pesan singkat, "sebenernya gue pernah ngajak Rayyan vidcall-an," ucap Zira akhirnya dengan nada putus asa.
"Terus?"
"Katanya lagi capek, udah keburu mancal selimut!"
Vilda melongo, "seriusan!?"
Zira menggangguk.
"Dan lo percaya?" Kali ini nada Vilda mulai dibatas tinggi.
Zira mengangkat bahunya tanda -Entahlah- dan mengganti posisi duduknya menghadap ke depan.
"Cupu banget alasannya!" Seringai Vilda. Vilda yang sadar kini Zira mengahadap ke depan, bukan lagi kearahnya, segera memegang bahu Zira dan kembali menghadapkan tubuh Zira tepat didepannya seraya menatap bola mata cokelat Zira dengan mantap, "Rayyan nggak tertarik sama lo."
Deg! Zira menelan ludah. Kesimpulan Vilda seperti tamparan bagi ia yang berada pada zona aman. Tiba-tiba saja merasa gusar. Zira diam menatap mata Vilda yang masih serius. Vilda yang sadar dengan ekpresi kaget Zira, segera melepaskan tangannya dari bahu Zira. Vilda sedikit mengangkat tubuhnya untuk merapihkan rok yang ia pakai. Kemudian kembali duduk. Zira yang sudah berada pada posisi menghadap depan masih diam. Vilda memandangi Zira, "gimana?"
Zira melotot, "apanya yang gimana, Vil? Mungkin lo bener, kayaknya dia nggak tertarik deh sama gue. Cuman ya udah terlanjur tiap hari chattingan, kan? Ya mau gimana lagi," ucap Zira yang tiba-tiba pasrah seraya memainkan jari tangannya.
Vilda menarik bangkunya untuk lebih dekat ke arah Zira dan segera meraih tangan Zira, "Zi, seenggaknya, lo tanya sama Rayyan. Dia tuh bener suka nggak sama lo? Oke, kalaupun dia gak mau pacaran, seenggaknya tuh hubungan lo jelas," ungkap Vilda yang kali ini dengan nada lebih rendah, mencoba menenangkan Zira. Kalimatnya tadi memang sengaja dikeluarkan sebagai tamparan Zira. Vilda pengen Zira bisa lebih tegas dalam hal berhubungan. Apalagi sama laki-laki yang sebenarnya mereka sudah lama dekat, tapi hubungannya nggak jelas, "lo coba tanya sama Rayyan, ya? Tanya dia, dia beneran suka nggak sama lo? Jarak tuh nggak masalah, Zi. Toh selama ini kalian bisa, kan? Apa bedanya hanya dengan memperjelas hubungan aja? Biar sama-sama enak. Kalaupun kemungkinan terburuk dia hanya anggep lo temen, ya lo cari aja cowok lain. Banyak kok di kampus ini yang lebih baik dari Rayyan. Apalagi yang suka sama lo kan juga banyak. Sekarang lo sia-siain mereka hanya karena Rayyan yang nggak ngasih kejelasan? Kalo akhirnya lo yang ditinggal Rayyan? Gimana? Lo baru mau deket sama cowok lain hanya untuk menyembuhkan luka, gitu?"
Zira mengarahkan pandangannya ke Vilda, kali ini ia membenarkan apa yang dikatakan Vilda. Selama ini ia hanya seperti air yang ikut mengalir dengan Rayyan, tanpa tahu ke tujuan mana nantinya dan tanpa tahu bagaimana nanti akhirnya. Zira menarik napas dalam-dalam, "coba deh, nanti kalau lagi senggang aku tanya ke dia."
Vilda tersenyum, melihat sobatnya yang seperti terjebak dalam romansa yang absurd. Memang selama ini Zira tidak begitu mempermasalahkan hubungannya dengan Rayyan. Tapi tiap kali Vilda mendengar cerita tentang hubungan Zira dan Rayyan semakin gemas saja untuk ikut campur. Pasalnya, hubungan yang seharusnya dijalani berdua dengan kesepakatan, terjadi begitu saja tanpa perjanjian. Vilda yang tidak ikut merasakan pikuknya hubungan itu, ikut campur pikiran. Menurut Vilda, seenggak pedulinya sama status dalam hubungan, kejelasan itu penting. Ibaratnya tuh, jadi pasangan juga ada kode etiknya. Kalau dari awal aja udah nggak ada kesepakatan, bagaimana nanti jika salah satu pergi? Terlepas ia pergi dengan orang lain atau alibi bosan. Terus mau nyalahin siapa? Nyalahin dia yang tiba-tiba aja pergi? Nggak bisa! Memang dari awal tidak ada komitmen apapun. Hanya dekat lalu tiba-tiba tamat. Pada akhirnya hanya menjadikan salah satu pihak sebagai korban yang pada dasarnya ia membuat lukanya sendiri kemudian harus mati-matian mengobati lukanya. Sendiri.
Waktu berlalu cepat, hingga tanpa sadar, mereka sudah setengah hari berada di dalam kelas. Setelah dosen mata kuliah Metodologi Penelitian usai menjelaskan materi dan mengakhiri perkuliahan, Zira dan Vilda sepakat untuk menuju kantin dan makan siang. Tubuh mereka sudah lunglai karena perutnya yang mulai keroncongan. Mau nggak mau ya harus diisi dulu.
"Jadi, kamu mau pulang dulu, Zi?" Tanya Vilda saat baru saja menemukan tempat duduk dan meletakkan semangkok nasi dengan soto yang ia bawa.
Zira yang baru saja duduk langsung mengangguk, dan meletakkan mangkok yang sama dengan Vilda, "Iya, Kakakku mau ke luar kota. Diboyong sama suaminya. Mumpung masih ada waktu ketemu, ya aku pulang dulu," jawab Zira sambil mencicipi kerupuk yang ada di mangkok makanannya tersebut.
Vilda manggut-manggut tanda mengerti. Kemudian mereka bedua menyantap makanan dengan lahap. Persis menggambarkan anak kos yang kelaparan. Terlebih otaknya telah terkuras habis karena mata kuliah hari ini yang lumayan membuat mereka penat. Yang biasanya kuliah hanya mendengarkan penjelasan dari dosen, hari ini harus berpikir dan menyampaikan gagasannya secara gamblang.
Drett drett
Ponsel Zira yang diletakkan di atas bangku bergetar. Secara refleks, ia segera membuka layar kunci dan melihat pesan teks yang masuk. Dari Rayyan.
--Selamat siang, Zi :)--
Tulis Rayyan dalam pesan singkatnya, lengkap dengan emoticon ramah memberikan perhatian. Zira tersenyum simpul.
"Rayyan?" Tanya Vilda sergap melihat Zira yang tersenyum simpul setelah membuka pesan singkat yang masuk.
Zira mengangguk. Mengiyakan apa yang ditanyakan Vilda, kemudian membalas pesan singkat Rayyan dengan kalimat yang sama. Setelah terkirim, ia segera menutup layar ponsel dan kembali dengan makanannya yang hampir habis. Tak lama ponselnya kembali bergetar. Zira menoleh ke arah ponsel, kali ini tidak langsung membuka pesan Rayyan.
"Jangan lupa tanyain ke Rayyan tentang tadi!" Celetuk Vilda bermaksud mengingatkan.
Zira menatap Vilda, "iyaa sobat," jawabnya dengan nada kesal yang bercanda. Zira kembali menatap ponsel yang bergetar lagi, ia segera membuka layar kunci. Dari Rayyan lagi.
--Lagi sibuk nggak?--
Deg!