"Hidup dalam gundah yang begitu lama, terbalut dalam gelisah, terkubur berbagai rapalan doa yang indah. Kita hanya manusia, yang terkadang lupa segalanya."
--Selepas Juli Usai--
Sisi Kirana
"Nduk, wong ayu sarapan dulu itu rotinya sudah siap di meja," kata si mbok pagi-pagi.
Anak manja yang biasa ku panggil sebagai "aku" duduk di depan meja rias yang penuh dengan –ah bukan make up atau skin care, buku dan kumpulan sajak yang indah tertempel. Menjadi anak dari keluarga kaya tak lantas membuatku bahagia. Kubangan duka dan derita berkumpul dalam satu masa kelam yang tak lepas dari pelupuk mata.
Aku menghabiskan suapan terakhir kemudian pergi, "si mbok aku berangkat," teriakku menuju halte Bus trans. Tak ada yang istimewa pagi itu. Hanya sapa lembut si mbok –nenek dengan satu cucu yang merawatku, bahkan sebelum cucunya lahir sebagai asisten rumah tangga, satu-satunya orang yang tersisa sejak kejadian hari itu.
"Loh nduk, ini ndak dibawa bukunya," teriaknya.
"Lah, yaudah ketinggalan, biarin aja lah," gumamku sendirian.
Tiba saat bus nomor tiga datang dari arah atas menuju sekolah baru, ah bukan sekolah bodoh, kampus maksudku. Pengemudi bus trans memang berbeda, mereka lebih berhati-hati meskipun penumpang bejibun mereka kawal tuntas sampai halte berikutnya dengan hati-hati, lebih tepatnya tuntutan keselamatan.
"Lah, kenapa lu naik ini juga sih si anying," ucap perempuan rambut pirang yang duduk tepat di sebelahku.
"Nah, lu kenapa ngikut gua sih bodoh," jawabku sedikit sambil menganga.
"Alika Kirana Shabira, bego," sedikit berteriak dan mengundang banyak mata menatapnya.
"Lah malah manggil nama gua, kenapa lu Cit?," jawabku dengan santai.
Aku tertegun pasca panggilan Citra yang sungguh tidak ku sangka perjuampaannya. Bagaimana bisa aku dan sahabatku ini bertemu di dalam bus yang sama dengan jarak rumah kami yang tidak begitu dekat juga ponsel kami yang sama-sama tidak menyimpan kontak masing-masing.
Lucu bukan? ketika aku dan citra sama-sama mengimani diri kita masing-masing sebagai sahabat tapi kami tak saling menyimpan nomor ponsel. Begitulah ikrar kami untuk saling menjaga satu sama lain.
"Lah Cit, btw kita sekampus emangnya?," tanyaku dengan tenang.
"Lah kan gue udah bilang waktu pertama kali lolos anjir, ah payah lu kan ke rumah gua waktu itu!," jawabnya lagi-lagi dengan Nada sinis.
Jadi ingat waktu itu sejak Citra duduk di bangku paling depan sendirian, aku yang terlambat datang ke sekolah membuatku tak lagi punya kesempatan untuk memilih tempat mana yang bisa ku duduki saat di sekolah.
Citra datang menghampiriku di depan pintu dan berkata, "murid baru ya, duduk sama aku aja gak apa-apa, kamu pasti belum punya teman," . Sialan! Gumamku dalam hati membenarkan ucapnya ketika pertama kali tangannya menggenggam tanganku.
Aku memang tidak pernah punya teman, itu sebabnya aku selalu meletakkan buku dalam tasku. Kata orang buku itu ilmu, kataku buku itu healing dan teman yang tidak akan ingkar kepadaku.
Kisah pertemuan kami bagai romansa cinta yang tak berujung. Dia seringkali tiba-tiba datang di saat orang lain tidak peduli padaku. Bahkan es teh tumpah ke bajuku saja dia tidak rela. Bukankah itu romantis? Aw, menjijikkan sekali mengingat hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Juni Usai
RomanceSerupa mawar yang berduri tapi mempesona, kau hadir untuk ku peluk meski harus menggenggam luka. --Akandra Laksana bulan yang tertutup gelap malam yang membisu, aku selalu hadir meski ragaku tak menyentuh hangatnya dirimu. --Kirana