Bagian 4: Sapu Tangan Akandra

25 6 0
                                    

Aku ingin bertemu dengan hujan, menangis tanpa terdengar. Aku ingin bertemu dengan gulita, berlari tanpa terlihat. Aku ingin bertemu dengan sosok pujangga, berpuisi dengan makna"

--Selepas Juni Usai--

Sisi Kirana

Waktu berlalu begitu saja.

Agaknya Akandra memang memiliki tujuan untuk berkenalan. Aku merasa lega, karena dia bukan orang jahat yang akan menyerangku sewaktu-waktu. Predator, nah mungkin seperti itu ketakutanku.

Perpustakaan.

Aku mengajak Citra duduk di kursi perpustakaan di bagian tengah dekat meja peminjaman. Sinyal internet begitu lancar di sini, banyak wewangian dan juga kesukaanku "puisi".

Hari ini sepertinya terik matahari tengah benar-benar ganas menyulut kulit-kulit kami. AC yang dipasang di berbagai sudut ruangan tak lantas membuat gerah dari luar berkurang dengan cepat. Untuk ukuran kampusku yang besar, perpustakaan ini tampak sepi.

Aku menulis sebuah puisi.

Samudera luas di luar sana

Bagai bilik yang tak terjamah raga

Keheningan dan debur ombak mempesona

Tak bisa dilihat sang buta dunia

Citra menembus ruang batinku dengan bisik di telinga yang lirih tapi sangat berisik. Menghancurkan lamunanku.

"Gimana kalau nanti kita pergi ke kafe deket rumahmu? Di sana kan sepi, ambil ruang private yang biasanya," tepat di setiap kalimat yang terluap ada dengus nafas yang menggelikan.

Aku kegelian.

Sambil mengedipkan mata serta mengangguk tipis aku berusaha menjawab ajakan Citra tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kafe dekat rumah itu milik tetanggaku. Dia memang menyediakan ruang private untuk beberapa pengunjung yang sengaja ingin bersantai dalam keheningan.

Kami berangkat.

"Eh, Ran. Lu pikir Akandra sama si Babi Laxan tuh emang sengaja mau deketin kamu apa gimana ya?" tanya Citra mengejutkan lamunanku saat kami berjalan menuju halte bus trans.

"Lu gila kali! Elu paling yang mau dideketin. Gua mah siapa, ketemu orang aja takut," jawabk ringkas sambil melenggangkan tangan ke tangan Citra yang begitu nyaman. Satu-satunya tangan nyaman di luar rumah.

"Lah Gua mah kagak mungkin kali, Ran. Lu pikir mereka pada suka sama badas kaya Gua? Kagak lah ya," jawabnya diikuti cekikikan.

Wajahku yang tiba-tiba memerah terkena panas matahari tak berasa karena ikut tertawa bersama candaan Citra. Terkadang aku tak enak hati dengannya. Bagaimana bisa dia yang rendah hati dan mudah bergaul tidak memiliki teman lain selain aku? Seperti hal yang mustahil

Rasanya sangat mudah bagi Citra untuk mencapai puncak kejayaannya sebagai manusia populer. Sejak SMA dia selalu begitu, tidak tertarik dan tidak pernah menyombong dengan kecerdasan, kecerdikan, juga wajah rupawannya yang dapat menyihir buaya bahkan sekelas kupu-kupu manapun. Ah, laki-laki baik-baik juga bisa tersihir dengannya.

"Cit," panggilku padanya.

"Kalau Lu Cuma mau tanya kenapa Gua gak cari teman lain, stop it! Bosen Gua," sergahnya sebelum aku sempat bertanya kembali.

Aku tertawa, sedikit terbahak.

"Lu tahu jawaban Gua tetep sama kan Ran? Ngapain terus-terusan nanya, bosen kali Gua ishh," tambahnya sambil sok ngambek melepas gandengan tanganku.

Selepas Juni UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang