"Singkatnya begini... kadang kita terlalu takut akan rasa kita terbalas atau tidak" – Jenaka Shinta Julia
.
.
.
.
"Je tunggu. Buru-buru amat sih lu ah." Gerutu pria yang sedang mengejar perempuan di depannya.
"Mau kemana sih? Ikut dong."
Perempuan itu memperlambat langkahnya dan menoleh ke arah si pria di sampingnya. "Mau ke gerobak Mang Ecep, laper gue anjir kaga sarapan." Kata perempuan itu.
"Mantab kebetulan gue juga lagi pengen batagor." Balas si pria.
"Dih lo mah kalau gue makan juga ikutan kali." Si perempuan terus melanjutkan langkahnya sampai ke depan gerbang. Pria di sampingnya hanya menyengir.
"Mang! batagor dua ya makan sini." Seru si perempuan atau yang akrab dipanggil Jeje.
Si pria atau Arvin datang dengan dua teh botol dingin di kedua tangannya. Ia kemudian duduk di depan Jeje. "Nih punya lo ada lemonnya." Arvin meletakkan the botol rasa lemon di depan Jeje. "Makasih ya cakep."
Menunggu pesanan batagor mereka. Jeje bercerita tentang pagi ini. Di mana ia bangun kesiangan hingga tak ikut sarapan bersama keluarganya sampai ia ketinggalan angkot yang biasa berhenti di depan rumahnya. Bahkan sampai di sekolahpun ia masih belum tenang karena guru fisika tiba-tiba mengadakan kuis dadakan. Arvin hanya memperhatikan dengan seksama. Sesekali ia juga membuat candaan dari cerita Jeje.
"Untungnya ya gue itu jago fisika. Kalau ngga."
"Kalau ga?"
"Kalau ngga bisa kelar gue anjir." Kesal Jeje dengan sedikit mengacak rambutnya.
"Batagor datang, yang satu ga pedes yang satu pedes. Kalau mau tambah sambel, nih."
"Kok tau mang kalau aku ngga suka pedes." Ucap Arvin sambal menuangkan kecap.
"Ya taulah, kan kalian sering banget makan batagor disini. Kamu ngga suka pedes, nah kalau nengnya ini biasanya."
"Sambel kacangnya banyakin/ sambel kacangnya banyakin." Seru Jeje dan Mang Ecep bersamaan di akhir kalimat. Setelah itu Mang Ecep berlalu meninggalkan mereka berdua dan melayani pembeli lainnya.
Setelah makan batagor mereka berdua kembali masuk ke lingkungan sekolah. Berjalan beriringan melewatin lorong kelas. Sesekali beberapa murid menyapa mereka. Lebih tepatnya menayapa Jeje yang memiliki nama karena mengharumkan nama sekolah. Karena berhasil menjadi juara dalam Olimpiade Sains Cabang Lomba Fisika.
"Sok cantik banget lo."
"Emang gue cantik, ngiri lo?"
"Dih." Arvin memandang Jeje dengan mimik seperti meme Shrek yang dijadikan stiker di aplikasi WhastApp. "Eh anjir muka lo ngga enak banget dilihat."
"Ga usah dilihat. Ribet amat lu."
"Tai lo." Arvin tertawa melihat Jeje yang kesal. Ia memainkan rambut gadis itu mencoba menghibur. Setelahnya mereka berpisah karena kelas mereka berbeda.
Bel berbunyi saat Arvin duduk di bangkunya. Disusul segerombolan siswa yang berlomba-lomba masuk ke kelas. Beberapa ada yang berjalan santai.
"Vin." Arvin menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya.
"Lo kan deket sama Jenaka."
"Terus lu mau gue comblangin gitu?"
"Ehe kalau boleh sih. Lu ga pacaran kan sama dia." Orang di belakang Arvin memajukan tubuhnya. "Kaga, cuma temen doang." Jawab Arvin sembari mengeluarkan buku LKS matematika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly
Teen Fiction"See. Ngga ada kecantikan yang abadi." - Laksana Andhitya Semesta "Tapi setidaknya ia pernah memperelok jagad meski sementara." - Arvina Alvaro Goenaoean Rasanya seperti ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam perutku saat dia tersenyum. Aku tidak ta...