12.

1.3K 98 1
                                    

Luluh

Happy reading!
=====

Zhafira mengedarkan pandangannya, mengitari ruangan serba putih itu. Duduk berdua di satu ruangan yang sama dengan Zayn, membuat Zhafira mati kutu.

Mungkin ceritanya akan berbeda seandainya mereka dalam keadaan yang baik, dalam artian Zayn tidak pernah mengucapkan kalimat yang berhasil menohok Zhafira.

"Sorry," rapal Zayn, selesai menempelkan plaster luka di tangan Zhafira yang terluka.

Zhafira mengembalikan fokusnya pada Zayn. Suaranya tertahan. Zhafira tidak yakin barusan Zayn mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan diucapkan cowok itu.

"Sorry. Kemarin gue lepas kontrol. Gue nggak maksud ngomong kayak gitu," ujar Zayn pelan.

Zhafira menunduk, menyembunyikan gurat kesalnya. Ekspresi datar yang di tunjukkan Zayn, tidak sesuai dengan apa yang coba dia utarakan.

Tapi, meski demikian. Zhafira merasa cukup lega, karena Zayn berinisiatif meminta maafnya. Bukan menunggu hatinya selesai dengan rasa sakitnya.

"Gue minta maaf Zhafira."

"Hm."

"Apa?"

"Iya."

Zayn mendengus. "Iya apa?" Tanyanya.

"Iya Zayn. Gue maafin," tukas Zhafira.

Zayn mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya. Dia meletakkan sisa plaster luka di tangannya ke tangan Zhafira.

"Gitu doang?" Tanya Zhafira begitu Zayn berjalan menuju pintu uks.

Zayn benar-benar tidak punya sisi romantis sedikitpun. Zhafira ikut beranjak, menyusul cowok itu yang sudah membuka pintu uks, dan sedang menunggu dirinya keluar lebih dulu.

"Lo kayak air tawar, nggak ada manis-manisnya," dengus Zhafira hampir tak terdengar.

"Lo ngomong sesuatu?"

"Ah enggak," kilah Zhafira.

Setelah itu Zayn diam, begitupun dengan Zhafira. Suasananya sungguh canggung.

"Kayaknya gue belum dapat maaf lo."

"Hah?" Tanya Zhafira tidak paham.

"Lo belum maafin gue?"

"Udah kok," jawab Zhafira lebih tenang dari biasanya.

"Terus ekspresi lo kenapa kayak gitu?"

Zhafira meraba wajahnya sendiri. Dia berpikir sejenak, kira-kira bagian mana dari wajahnya yang membuat Zayn berpikir demikian. Zhafira menggeleng untuk kesekian kalinya, rasanya tidak ada.

"Lo kayak orang tertekan. Beda waktu lo jalan sama Ares tadi."

Bibir Zhafira berkedut, menahan senyumnya yang ingin mengembang. Mungkinkah? Zhafira menarik nafanya panjang, masih terlalu dini untuk geer.

"Lo cemburu?" Ujar Zhafira malu-malu.

"Apa?" Tanya Zayn memastikan.

"Lo cemburu kan?"

Zayn menunjuk dirinya sendiri, lalu menggeleng berulang kali. Zhafira salah paham.

"Maksud gue bukan gitu," sangkal Zayn.

Zhafira menempelkan telunjuknya di bibir Zayn, menghentikan cowok itu mendebat ucapannya.

"Lo nggak usah malu buat ngaku."

Critical Point (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang