Why is it so easy for you to break me?

1.1K 39 2
                                    

Aku bisa mendengar bunyi ranjang yang berkeriut pelan dan juga gerakan seseorang turun dari ranjang. Tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang bangun sepagi buta ini dan turun dari ranjangku selain aku. Sudah pasti Sahdi. Mataku masih terpejam dan aku takut untuk sekedar menggerakkan kepala, melihat apa yang dilakukannya. Aku takut kalau dia menyadari aku sudah bangun.

Aku bisa mendengar bunyi pintu kamar mandiku dibuka, lalu bunyi rintik air yang ribut menghantam lantai kamar mandi. Aku akhirnya membuka mata dan diam dalam posisiku saat ini. Kamarku masih gelap, mungkin Sahdi sengaja tak menghidupkan lampu agar aku tak terjaga. Tapi ternyata itu tak membantu. Aku tetap saja terjaga.

Bunyi keran air dimatikan menyadarkanku dari lamunan, aku buru-buru memejamkan mata kembali. Telingaku awas mendengarkan. Tak ada yang asing. Hanya ada bunyi pintu kamar mandi ditutup. Bunyi Sahdi yang mengusak rambutnya dengan handuk. Lalu, bunyi kain yang menyentuh kulitnya. Ia sedang berpakaian sekarang, memasangi kancing demi kancing kemejanya. Aku tak tahan untuk tidak mengintip, jadi aku membalikkan tubuh dan pura-pura menyipitkan mata seperti orang yang baru saja terjaga. Dia tak perlu tahu kalau aku sudah bangun sedari tadi sejak ia turun dari ranjangku.

"Jam berapa?" Suaraku terdengar serak bahkan di telingaku sendiri, suara khas bangun tidurku. Sahdi masih sibuk berpakaian, tak merasa perlu repot-repot untuk berhenti sebentar dan menatapku sambil menjawab dengan angka yang tidak begitu persis sama dengan yang tertera di jam. Pukul setengah 6, masih pagi sekali. Aku mengerutkan kening. Ini Hari Minggu, ia tak ada kuliah, jadi Sahdi seharusnya tak perlu bangun sepagi ini.

"Ini Minggu." Aku mengucapkannya seakan mengingatkan. Aku rasa Sahdi tak mungkin lupa kalau ia bisa tidur beberapa jam lagi di tempatku sebelum pulang ke kosannya. Ia biasanya melakukan itu.

"Aku ga bisa tinggal. Ada kencan dengan Brielle." Aku bisa merasakan tenggorokanku tercekat dan rasanya susah menelan liurku sendiri. Susah payah aku mempertahankan ekspresi di wajahku agar tak terlihat cemburu atau memperlihatkan ekspresi apa pun yang bisa membuat Sahdi curiga. Konyol, ia bahkan tak menatapku.

"Kamu mau menunggu sebentar? Aku bisa bikinkan sarapan." Aku meraih night gown-ku yang teronggok di lantai, mengenakannya sekedar untuk menutupi tubuh telanjangku. Kakiku menyentuh lantai marmer yang dingin, bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku benci menyentuh lantai dingin di pagi hari.

Aku mencoba berjalan menuju dapur tapi lalu kemudian ngilu di pusat tubuhku membuatku mengumpat pelan dan jalanku jadi aneh.

"You okay?" Sahdi yang sudah selesai berpakaian menoleh padaku, dahinya mengernyit. Aku mencoba mengulas senyum walau rasa ngilu itu menetap.

"Yeah, I'm good. Sisa semalam."

"Sorry." Ia meminta maaf singkat, aku bahkan tak yakin kalau ia benar-benar memaksudkannya.

"Kamu ga perlu repot bikin sarapan. Aku kayaknya sarapan di tempat Brielle aja." Mendengarnya berujar begitu, aku kembali duduk di ranjangku, menarik kakiku menekuk agar tak perlu berlama-lama menjejak lantai marmer dingin yang entah mengapa dinginnya jadi lebih menusuk. Aku memandangi Sahdi yang kini tampak sibuk menyemprotkan parfumnya di kerah leher dan juga lengannya. Pria ini tampan, aku mengagumi sosoknya. Sungguh. Sayangnya, Sahdi bukan punyaku.

"Sahdi, aku mau tanya." Aku sedikit menyesali kata-kata itu keluar dari bibirku. Aku tak mau bertanya, atau mungkin lebih tepatnya aku tak mau mendengarkan jawaban dari pertanyaanku. Sahdi sudah menoleh lagi padaku, menungguku mengutarakan pertanyaannku. Sementara aku yang ditatapnya dengan serius jadi gelisah, seketika menyesali telah mengatakan kalimat itu sebelumnya.

"Ya, Van?"

"When will we stop this?" Hening seketika. Ini topik yang kami berdua coba hindari selama ini. Aku tak berani menatap Sahdi, terutama ketika ia tak langsung memberiku jawaban begini. Aku takut melihat ekspresi apa yang terpasang di wajahnya sekarang. Keheningan itu terasa lama untukku sebelum Sahdi akhirnya membuka suara dan membuatku bisa sedikit bernapas. Tapi justru apa yang keluar dari mulutnya kembali membuatku tercekik.

"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya, kan?" He sounds so firm. Seolah pertanyaan balik darinya itu adalah jawaban yang ia harapkan akan membuatku berhenti membahas ini lebih lanjut. Dengan sumber penerangan dari remang-remang cahaya dari sela kisi-kisi di atas pintu kamarku, aku bisa menangkap raut wajahnya yang serius dengan kening berkerut. Aku meneguk ludah yang terasa seperti gumpalan berat untuk ditelan.

"Aku......kamu udah punya Brielle." Dan aku sama saja, menghindari menjawab pertanyaannya dan memberikan pernyataan lain. Aku merasa seperti pengacara yang membela terdakwa di persidangan sekarang, mengemukakan pembelaan-pembelaanku dan berharap hakim berpihak padaku.

Aku menghalau rasa takutku dan balik menatapnya dengan nyalang. Aku tak bisa membaca ekspresi yang dibuat Sahdi sekarang. Apakah itu marah? Atau kesal? Atau dia berpikir aku ini konyol?

"Lalu?"

"Kita nggak seharusnya ngelakuin ini." Suaraku semakin pelan terdengar menuju akhir kalimat. Dan aku bisa mendengar Sahdi mendengus sarkas. Aku mengernyit tak suka. Apa maksudnya itu?

"Ga usah munafik, Vanessa. Kamu juga suka ngelakuin ini bareng aku, kan?" Sial, ucapannya benar. Dan ini sungguh menyengat ego dan harga diriku.

"Tapi ini ga benar, Sahdi. It's not a casual sex anymore, it's simply cheating. Kita udah sepakat bakal berhenti setelah salah satu dari kita punya pasangan, kan? And look at you, breaking the oath that we made." Aku mencoba menahan amarahku, tapi bahkan aku sendiri bisa mendengar nada penuh api di dalam suaraku sendiri, tak mampu menyembunyikannya dengan baik.

"So what? Ga ada yang dirugikan, kan? Brielle juga ga tau. Apa yang ga dia tahu ga bakal nyakitin dia." Sinting. Sahdi ini sinting. Sungguh, aku sudah mengenalnya lama dan aku tau dia sinting. Oh percayalah, kadang-kadang aku menyukai sisi sintingnya yang tak terduga itu. Tapi tidak di saat sekarang. Kesintingannya ini benar-benar tak termaafkan.

"Kalau gitu..." Aku menghela napas sebelum melanjutkan, "....putusin Brielle." Suaraku kubuat tegas dan dingin. Dan aku bisa melihat keterkejutan di mata Sahdi. Bukan tanpa sebab aku mengatakan hal itu. Aku tau Sahdi, aku kenal pria ini cukup lama untuk tahu dia tak akan menuruti kemauanku. Dan kalau dia dihadapkan akan dua pilihan antara aku atau Brielle, aku yakin dia akan memilih Brielle. Sangat yakin.

"Nggak bakal!" Dia setengah membentakku kala mengatakannya. Dan aku tersenyum kecut. Aku tahu jawabannya dan masih saja terluka mendengarnya. Bodoh.

"Then fuck her! Don't come to me to get laid! Kamu udah punya dia, apa itu ga cukup?!" Suaraku ikut meninggi. Hatiku rasanya sakit, dan aku kesal pada Sahdi. Kesal karena dia mengurungku dalam sangkar tak kasat mata. Dia tidak tahu kalau aku mencintainya. Dia tidak tahu kalau aku sakit tiap kali melihat dia bersama Brielle. Dan yang paling menyedihkan dari semua ini, aku tak bisa menolaknya tiap kali dia mengetuk pintu rumahku untuk sekedar melampiaskan nafsunya. Aku harusnya menolaknya, tapi aku sendiri lemah oleh perlakuan Sahdi padaku.

"Aku ga bisa, Van. I can't touch her in that way. She's too pure. Aku ga mau ngerusak dia." Tuhan, Sahdi benar-benar berengsek. Aku mencoba menahan tangisku. Menahan diriku agar tidak menamparnya sekarang dan menahan suaraku agar tak bergetar. Bisa-bisanya aku cinta mati pada pria berengsek seperti Sahdi.

Aku berdiri kemudian, berhadap-hadapan dengan Sahdi dan dengan ketegaran yang kukumpulkan, aku mengatakan kalimat penutup untuk hubunganku dengan Sahdi, "Aku ga mau ketemu kamu lagi, Sahdi. Mulai sekarang, kita balik jadi orang asing."

Aku bisa merasakan Sahdi menatapku dengan tatapan terluka. Lucu sekali, padahal di sini aku yang paling menderita. Aku yang harusnya memberikan tatapan seperti itu, bukan dia.

"Van....kamu kenapa sih? Kenapa tiba-tiba--" Aku tak mau mendengarkan apa pun lagi dari mulut Sahdi, jadi aku mendorongnya keluar dari kamarku dan membanting pintu di depan wajahnya sebelum jatuh terduduk di lantai marmer dingin kamarku sembari menggigit bibir menahan isakan tangisku sendiri.

'You can't even have a thought about breaking her, but it's easy for you to break me, Sahdi.'

Friends with BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang