The New Guy Named Doni

406 24 3
                                    

"Do you want to sleep with me?"
Agaknya laki-laki mana pun yang menerima kalimat itu sesaat setelah mengangkat telepon dari seorang teman wanitanya akan tertegun untuk sesaat sebelum dapat mengendalikan diri tak peduli sesering apa mereka melakukan hubungan intim dengan lawan jenis, karena itulah yang Brian alami saat ini. Ia sempat memastikan kembali layar ponselnya menampilkan nama kontak yang benar, dan tentu saja seperti orang bodoh ia tampak sedikit bingung melihat nama yang tertera di sana tidak berubah dengan nama lain. Brian kembali menempelkan ponsel ke telinga, menarik napas dalam dan menghembuskannya sebelum ia menjawab,

"If you're drunk, no, I'm not Sahdi, you call the wrong person. Kalau lo sadar, jawabannya tetap sama. Enggak, emangnya gue cowok apaan diajak ngamar langsung mau." Ia tidak tahu apalagi masalah Vanessa kali ini, tapi ia yakin hal itu tak akan jauh-jauh dari Sahdi dan cinta tololnya yang bertepuk sebelah tangan. Memangnya apalagi masalah hidup Vanessa selain hal itu?

"Kenapa? Apa karena gue murah ya?"

"Van, lo abis minum ya? Dimana lo sekarang? Ga sendiri kan?" Vanessa really took a long time to answer that.

"Gue di kos kok. Dan engga, gue ga mabok. You can rest easy. Tapi ga tau nanti."

"Kalau gitu minum di luar bareng gue aja yuk? Gue temenin."

"Tapi nanti Sahdi mau ke sini." Demi mendengar nama laki-laki satu itu, Brian tanpa sadar berdecak kesal. Entah, kadang ia benar-benar dibuat tidak mengerti dengan jalan pikiran Vanessa dan ketidakmampuannya untuk lepas dari Sahdi, seberengsek apa pun pria itu memperlakukan Vanessa.

"Let me guess, ngajak ngewe?" Vanessa terkekeh kecil di seberang sana.

"Emangnya apa lagi yang menarik dari gue selain lubang di antara selangkangan gue?" Ujaran itu terdengar penuh sarkasme, Brian tahu itu. Dan ia tak bisa untuk tidak merasa iba dan kasihan pada sahabatnya.

"Can you just.....reject him?"

"Kalau gue bisa, I surely wouldn't end up like this, Yan. Full of a mess."

"Then try it. Lo ga bisa bilang 'ga bisa' kalau lo sendiri belum pernah nyoba."

"Yan, tapi--"

"I dare you to reject him tonight and go to the club with me. Ayolah, sekali aja lo ga bikin hidup lo lebih menyedihkan dari yang seharusnya, Van. Go out and mingle. Lo cantik, baik, banyak cowok yang ngantri mau sama lo and here you are jadi simpenannya Sahdi. What a waste, Van." Vanessa terdiam di seberang sana.

"Kalau perlu gue kenalin lo sama temen-temen gue yang jomblo. Ga kalah lah sama Sahdi spek-nya. Dan yang pasti ga berengsek." Brian membujuk.

"Lo pikir ini bakal berhasil?" Vanessa bertanya ragu-ragu.

"Kalau ga dicoba mana pernah tahu. Ayolah, pergi bareng gue. Kalau ga ke club pun juga gapapa. Kemana pun lo mau deh. Gue traktir nih." Vanessa sempat memakan waktu untuk berpikir sebelum akhirnya mengiyakan dengan ragu. Barangkali ia bisa mulai langkahnya untuk lepas dari jerat Sahdi berawal dari sini. Semoga saja.

***

Brian benar saat mengajaknya keluar dari kamar berukuran 6x8 miliknya itu bahwa ia akan bersenang-senang. Gadis itu melakukannya. Klub malam yang ia datangi dipenuhi orang dan sesak dengan campuran bau keringat dan alkohol. Berjalan menuju bar butuh usaha ekstra untuk tidak menabrak orang lain. Tapi setidaknya di sini gaduh, cukup gaduh untuk meredam isi kepala Vanessa akan nama dan wajah Sahdi.

Ia sedang menenggak segelas whiskey yang turun tanpa hambatan melalui kerongkongannya saat menyadari sebuah tatapan tertuju ke arahnya, Vanessa menoleh. Di kirinya seorang pria terang-terangan menatapnya sambil tersenyum. Vanessa mengangkat gelas dan mengangguk pada si pria asing sebelum kembali menenggak sisa whiskey-nya.

"Gue Doni."
"Vanessa."
"Pacarnya Brian?" Vanessa mengernyit mendengar pertanyaan itu, menoleh ke kiri sebentar sebelum mengatakan 'bukan'.
"Good." Kata itu dimaksudkan Doni untuk dirinya sendiri tapi sayangnya telinga Vanessa berfungsi sangat baik sekarang dan ia bisa mendengar nada lega pria itu. Agaknya membuatnya sedikit tersenyum karena terhibur. Ia mengerti.

"Kalau pacarnya Brian kenapa?"
"Shame on me for missing out to pick the most beautiful flower in the garden."
"Is that how you flirt?"
"Does it work, tho?" Vanessa terkekeh kecil lalu menggeleng.
"No, not enough to get into my pants." Vanessa mengedikkan bahu, tersenyum miring. Pria di sampingnya memanggil bartender untuk kembali mengisi gelas Vanessa yang kosong sekaligus gelas milik pria tersebut.
"But, is it enough to take you for a coffee?"
"Sekarang?" Si pria tertawa, tawanya renyah menyapa gendang telinga di sela-sela musik klub yang ribut.

"Terlalu malam untuk ngopi ga sih? I mean, we could set up a date for a cup of coffee. Well, kalau lo bersedia terima tawaran tersebut." Vanessa baru akan menjawab saat Brian menyelinap merangkul pundaknya dan menyapa Doni.

"Oh kalian udah kenalan? Ness, ini Doni temen gue. Single and ready to mingle, kayak lo." Doni tersenyum, sedikit canggung. Vanessa harus bilang, senyumnya manis. Dan pria itu terlihat seperti bocah, tak ayal membuatnya tertarik.

"Yup, I can see that he's single. Baru aja ngajak gue ngopi." Vanessa mengerling jahil ke arah Doni, pria itu jadi salah tingkah.

"Bad move, bro. Yang ini doyannya ngeteh, bukan ngopi. But lately, she's been into alcohol to cure a brokenheart." Vanessa menyikut pinggang Brian, tidak begitu senang informasi terakhir dibagikan pada orang baru begitu saja.

"Well, untungnya gue tau tempat ngeteh yang enak. Dan bisa petik daun teh sendiri kalau lo berminat sama hal semacam itu." Vanessa menyisir anak rambut ke belakang telinga dengan jari, berpikir sebentar sebelum menjawab, tapi ia kalah cepat dengan Brian yang sudah lebih dulu menjawab untuknya.

"Dia bisa besok, ya kan Van?" Vanessa menatap Brian tajam tapi lalu Doni kembali berkata,

"Great, besok gue jemput jam 9? Give me your number." Brian lagi-lagi mendahului Vanessa untuk menyambar ponsel Doni dan memasukkan nomor ponsel gadis itu di sana. Doni yang menerima ponselnya kembali tersenyum sumringah menatap nomor tersebut.

"Sayangnya gue ga bisa lama nemenin kalian di sini. Gue udah harus balik." Doni memanggil bartender dan membayar tagihan, termasuk tagihan milik Vanessa sebelum ia akhirnya pergi meninggalkan Vanessa dan Brian di sana.

"Good catch." Brian berujar, menyesap bir dari botol lalu duduk di tempat yang ditinggalkan Doni.

"What was that for?" Vanessa bertanya, nadanya tak suka.

"That's, my friend, is a chance to get out from your toxic fwb thingy with Sahdi. You should thank me, really."

"I don't need it."

"Oh honey, you need it. Believe me. Sekarang ayo kita pulang biar besok pagi lo ga kayak pasien sakit jiwa kabur dari RS pas kencan sama Doni." Brian menggaet lengan Vanessa, menarik gadis itu dari tempatnya dan setengah menyeret sang puan pulang ke kosannya.

***

Vanessa tersenyum, melambaikan tangan pada Brian yang berlalu dengan kendaraannya, menghilang melewati pagar kosannya. Gadis itu mencari kunci di dalam tas tangan yang dibawa dan sebelum sempat ia memasukkannya ke dalam selot, pintu kamarnya sekonyong-konyong terbuka, membuatnya mundur secara refleks karena terkejut. Di hadapannya sosok tubuh yang lebih besar darinya berdiri.

"Darimana?" Suara Sahdi rendah, menuntut jawaban. At that time, Vanessa knows she's screwed.

Friends with BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang