Dita bergegas lari ke teras rumahnya dengan membawa sapu sebagai sebuah kamuflase, di lain tempat juga terdapat Lea yang sudah siap sedari tadi memantau target.
"Gimana? Gimana?" Tanya Dita sembari membenarkan posisi earphone yang sudah terhubung via telepon.
Sedangkan Lea sang lawan bicaranya malah melirik Dita dengan tatapan tak mengenakkan, "Lama banget dah, lo udah kehilangan dialog pertama anjir."
"Ya maap! Gue nyari sapu gak ketemu-temu."
Lea tersenyum menyeringai pada Dita. "Jarang bersih-bersih ya gitu. Lagian siapa yang bakalan percaya lo nyapu di depan rumah, orang juga bakalan ngiranya pencitraan kali."
"Lo juga ngapain niyram tanaman di menjelang Maghrib gini?" Balas Dita tak mau kalah.
"Udah diem! Tugas kita bukan kayak gini." Lea menyudahi perdebatannya karena ia pun melakukan kesalahan.
"Jadi gimana perkembangannya?" Dita melirik Lea sesaat sembari berpura-pura menyapu lantai.
"Gue yakin kali ini Radit gak bakalan diizinin nongkrong malam lagi." Gumam Lea dengan seulas senyuman.
Ini lah tugas mereka, menjadi penonton keributan tetangga. Dengan sebuah sapu dan penyiram tanaman, mereka berdua dapat mengetahui segala macam rahasia tetangganya.
Seperti sekarang ini, mereka sedang menyimak keluarga Radit atas kejadian semalam. Semalam Radit membawa seorang wanita untuk diperkenalkan pada orangtuanya, tapi bukannya mendapatkan restu, Radit justru mendapat pelototan mata dari sang ibu.
Bagaimana tidak, perempuan itu memakai pakaian yang tidak sopan dan memiliki beberapa tato dan tindik ditubuhnya.
Bukan maksud Bu Muti merendahkan dari penampilannya saja, tapi setidaknya ia tahu diri. Sudah tahu akan berkunjung ke rumah orangtua pacar seharusnya berpenampilan lah lebih sopan.
"Sekarang udah dikenalin nih pacarnya, terus abis itu mau diapain? Mau langsung nikah gitu?" Tanya Bu Muti dengan penuh penekanan.
Di komplek ini para rumah saling berdekatan, jadi sebuah obrolan biasa saja akan langsung terdengar ke rumah yang lain. Apalagi sekarang pintu rumah Radit terbuka begitu lebar, jadi Lea dan Dita bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.
"Enggak Ma, Radit cuma main-main aja." Jawab Radit dengan suara pelan.
Bahkan Dita dan Lea bisa melihat samar-samar dari kaca rumahnya kalau Radit sedang berlutut dihadap sang Ibu.
"Terus kalau main-main kenapa sampai dibawa ke rumah segala? Kamu gak malu diliatin tetangga, hah?"
Jujur saja Radit sebenarnya bisa melawan ucapan sang Ibu dengan tegas, tetapi karena takut menjadi anak durhaka, Radit hanya menyimpannya rapat-rapat dalam hati.
"Enggak lagi kok Ma, semalam aja langsung udahan." Jawab Radit masih berlutut belum berani menatap wajah sang ibu.
Disela-sela pertunjukan rumah tangga Radit masih berlangsung, ada Abi berdiri disebrang rumah Dita. Ia menatap Dita dengan muka malas.
"Apa?" Tanya Dita tanpa suara hanya dengan gerakan mulut.
Bukannya menjawab, Abi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah kegiatan yang dilakukan Dita dan Lea sekarang adalah perbuatan keji dan menjijikkan.
Tanpa sepatah katapun, Abi membalikkan badannya masuk ke dalam rumah sambil berteriak pada sang Bunda tercinta dengan manja.
"Bun.... Susu!"
Dita menoleh pada Lea dengan alis bertautan, "Jam segini Abi udah minta nenen aja."
"Jangan nenen dong sebutnya, nanti kalau ada yang salah paham gimana? Yang bener nyusu." Koreksi Putri yang tidak ada benarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Komplek
HumorBagaimana jadinya kalau kita terlibat dalam cinta dengan tetangga sendiri? Mungkin terdengar begitu indah seperti lagu pacar Lima langkah dari rumah bukan? Eitts tapi tunggu! Cerita cinta tidak mungkin semulus pantat bayi bukan? Dita yang sedari kec...