Cerpen

22 0 0
                                    


Aku memandangi jendela 'rumah' ku dan menghadap ke dunia luar. Disana terdapat banyak 'seseorang' dan aku terus memandangi yang salah satu, tahun berganti tahun dia tak pernah memandangiku kembali.

Lalu aku mencoba menghempaskan pandanganku barangkali ada seseorang yang ku pandang mau memandangku kembali.

Hanya itu yang bisa kulakukan sebagai wanita.

Aku terkejut mendapati sepasang mata di salah satu sudut jendelaku, ia terlihat telah menempelkan penglihatannya sedari tadi -entah kapan- padaku.

Aku segera menutup tirai jendelaku separuh sehingga ia tak bisa lagi memandangiku.

"Aku tidak suka dipandangi seperti itu!" Ketusku di dalam hati.

Entah mengapa, sejak saat itu aku begitu membencinya.

Aku melihat lagi ke dunia luar, melalui jendela rumahku yang tertutup tirai separuhnya, dan mendapati 'seseorang' yang lain. Lagi, ribuan petang dan hari tidak membuat 'seseorang' tersebut barang menolehkan matanya sejenak, tidak sama sekali.

Ya, orang lain diluar sana bisa dengan mudah membukakan pintunya, menyapa 'seseorang' baginya atau bahkan mengajaknya masuk kedalam rumahnya. Aku tahu bahwa hanya dengan memandang tidak akan bisa membawa 'seseorang'-ku masuk kedalam rumahku. Tidak mungkin, kan?

Aku menutup tirai jendelaku seluruhnya dan melangkahkan kakiku menuju kamarku dengan perasaan penuh kecewa.

"Aku lelah, aku tidak tahu memandangi seseorang bisa membuat ku lelah" gumamku didalam kamarku.

Tok tok tok

Aku bingung dan merasa tidak mungkin ada seseorang mengetuk pintuku. Aku mengintip sedikit melalui celah kunci pintuku dan mendapati pemandangan yang tidak pernah kuinginkan.

Mengapa dia mengetuk pintuku? Aku bahkan saat itu menutup tiraiku karenanya. Aku tidak akan pernah membuka pintuku untuknya.

Aku kembali ke kamarku dan menghiraukan nya.

Tak peduli.

Tok. Tok

"Hai kamu? Boleh aku bertemu denganmu?"

Sial. Kali ini dia berani berbicara padaku?

Aku tak akan peduli. Mengapa kau tidak pergi saja sih?!

Tunggu, tidak.

Apa sebetulnya yang membuat aku begitu membencinya? Dia bahkan belum melakukan apapun.

Lagipula aku tidak boleh seperti itu padanya.

Baik, aku akan menjawab dan memberi tahu nya sesuatu.

"Ah iya, halo adik? Ada apa dik? Maaf ya, kakak sedang sibuk. Kamu boleh pulang saja"

Aku kembali ke kamar ku dan lega telah mengatakan nya. MisiMisi telah selesai. Pikirku.

Tok. tok.

"Hai kakak. Aku hanya ingin ngobrol dengan kakak"

Apa apaan sih dia ini?!

Kalau bukan karena kau saudaraku, aku tidak akan melakukan ini.

Baiklah. Mengobrol tidak harus membuka pintuku, kan?

.

.

.

Cukup.

Aku harus menyelesaikan ini.

"Kita sudah mengobrol, kau boleh pulang kalau tidak ada apa-apa lagi"

"Sebenarnya aku ingin akrab denganmu. Salahkah?"

"Pulanglah, aku sibuk"

Aku kembali ke kamarku dan menyesali mengapa aku menerimanya untuk mengobrol.

Tok. Tok.

"Hai kau, saudaraku"

"Kau mau apa lagi? Kita sudah akrab. Pulanglah, aku sibuk" aku menjawabnya, langsung, meski dari kamar.

"Kau tahu? Aku menyukaimu"

Aku protes dari dalam hatiku. Kakiku melangkah menuju ke dekat jendelaku. Aku ingin memarahinya.

"Aku.. aku juga sayang kau"

Apa? Dia pasti sudah gila.

Sekarang apa? Aku harus apa? Yang pasti aku tidak mau melukai saudara sepupuku sendiri.

"Maaf, aku menyukai 'seseorang' yang lain"

Aku mengatakannya.

Kemudian aku memikirkannya.

Apakah dia jujur?

.

Mengapa ia mengatakannya?

.

Bagaimana dia sekarang?

.

Apakah dia.. sungguh-sungguh?

Oh tidak. Sebenarnya sudah sejak kapan aku memikirkannya?

Tok. Tok

"Hai, aku rindu kau"

Ya Tuhan.

"Lalu apa?"

Apa apaan aku ini? Mengapa aku bertanya demikian? Aku tidak mengharapkan apapun kan?

"Tidak ada. Aku hanya suka kau dan aku sayang kau"

Sungguh! Aku tidak tersenyum. Aku hanya.. aku hanya ingin marah karena dia telah menggangguku.

"Kalau begitu pulanglah"

Mengapa terdengar seperti nada kecewa?

"Hmm.. aku.. aku ingin menjemputmu suatu saat"

Sejak kapan kata 'jemput' bisa membuat jantung berdebar-debar? Tidak. Aku pasti salah makan tadi.

"Dasar playboy"

Sungguh. Aku bermaksud untuk menghinanya. Bukan menyuruhnya untuk mengatakan hal yang lebih gila lagi.

"Aku akan mengumpulkan sinamotmu, iban"

.

.

.

Aku diam dan Aku tidak mendengar apapun lagi dibalik pintuku. Aku pun memberanikan diri untuk membuka tiraiku. Sepi.

Mungkin dia dibalik pintu.

Aku mencari kunci rumahku dengan susah payah, entah sejak kapan sejak terakhir aku membuang kunci itu dengan sembarang.

Ckrek.

Bunyi yang menandakan pintu telah dapat dibuka.

Aku membuka pintuku. Tidak. Aku sudah lama tidak keluar, rambutku terlihat agak kusut.

Aku harus terlihat setidaknya agak rapih.

Aku membuka pintuku dengan perlahan.

Sepi.

Banyak orang, namun sepi, dia tidak ada.

.

Aku terdiam. Aku menutup pintuku lagi, menguncinya dan membuang lagi kunci pintuku dengan sembarang. Aku berlari ke kamar. Kamarku terlihat usang, aku tak sadar selama ini hanya diam di dekat pintu.

.

"Kau kemana?"

"Mengapa kau pergi? Disaat aku mulai membuka pintuku?"

"Mengapa kau tidak ada di depan pintuku, saat aku bukakan pintuku?"

"Kau lelah ya?"

"Maafkan aku"

"Aku.. menyesal"

" Maafkan aku.. terlalu lama membuka pintuku"

Tentang Kau, Pintu, dan JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang