Bumiku Masih Sama

406 46 6
                                    

"Aduh!" mengaduh keras, tangan Banyu refleks mengusap dahi, mengangkat wajah lalu menatap sebal punggung tegap di hadapannya. "Apaan sih Bum? Berhenti nggak pake aba-aba."

Yang ditanya langsung berbalik, "Lo kira baris-berbaris, pakai aba-aba? Lagian Lo juga, jalan kok nunduk mulu? Lagi cari uang receh apa gimana?" seperti biasa, menyahut dengan gas paling pol.

Banyu menggeleng, "Gue ngantuk banget, lumayan bisa nyicil tidur."

Bumi melongo, "Jadi dari tadi Lo sleep walking?" menatap penuh heran pada abangnya, "Bisa-bisanya ini bocah! Untung aja nggak mati nabrak tiang listrik, Lo!"

Berekspresi tenang, tangan Banyu terangkat untuk meremas bibir Bumi, "Mulutnya perlu diedukasi dulu." dan setelah itu berjalan mendahului Bumi sebelum akhirnya kembali berhenti saat Bumi memanggilnya.

"Kenapa, Bum?"

Bumi menggaruk tengkuknya, sementara matanya menerawang ke atas seakan-akan sedang berpikir keras untuk mengingat sesuatu, "Tadi Bunda bilang, yang dua kilo itu tepung atau telurnya ya? Terus royconya yang sapi atau ayam? Sama beli tempe juga nggak sih? Eh, apa tahu ya?" benar-benar terlihat sangat bingung dan kesulitan untuk mengingat. "Aaarrgghh! Harusnya tadi gue minta catatan aja sama Bunda biar nggak lupa." sampai kesal dengan dirinya sendiri.

Banyu tersenyum menenangkan, "Bum-"

"Kita balik lagi aja yok! Gue bener-bener lupa ini. Mana nggak bawa hp juga jadi nggak bisa telepon Bunda buat tanya. Lo tunggu di sini deh, biar gue yang lari ke rumah!"

Bumi baru akan mengambil langkah seribu ketika tiba-tiba Banyu berjalan menghampiri kemudian merangkulnya, "Lo tenang aja, gue ingat semua belanjaan Bunda."

Menoleh, Banyu menatap tak percaya pada abangnya, "Masa? Kan Lo tadi lagi serius ngerjain soal latihan olim, memang Lo dengar?"

Mengangguk mantap, Banyu menjawab, "Tepung segitiga biru dua bungkus, telur satu kilo tapi isinya milih yang besar-besar aja kata Bunda biar kalau digoreng mata sapinya jadi besar, royco ayam tiga renteng biar gratis sendok, tahunya tiga bungkus. Sama kalau ada sisa, kata Bunda boleh buat beli ikan asinnya Wati. Itu kan?"

Bumi malah menggeleng-gelengkan kepala, penuh takjub. "Lo hebat banget sih Bang? Joinan otaknya bisa nggak sih Bang? Biar hidup gue ada gunanya dikit gitu!"

Mendengar kalimat itu, Banyu justru bingung harus berekspresi seperti apa. Merasa takut pada tiap garis ekspresi yang dibuatnya. Takut melukai perasaan Bumi.

Buminya masih sama. Masih sama seperti dulu ketika kecil. Ketika Bunda memintanya pergi ke warung untuk membeli gula dan yang dibawanya pulang justru garam. Bumi kecil sampai menangis keras di sudut dapur kala itu, merasa sangat bersalah karena hal semacam itu bukan kali pertama. Sebelum-sebelumnya Bumi sudah sering seperti itu, bahkan seluruh ruangan rumah pun pernah banjir ketika ditinggal pergi ke rumah nenek karena Bumi yang mengatakan bahwa keran air di kamar mandi sudah dimatikan, padahal kenyataannya belum.

Ketika sd, yang Banyu tau adiknya itu sering mendapatkan hukuman untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan tiang bendera karena selalu saja lupa membawa buku cetak pelajaran dan parahnya lagi Bumi tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Padahal malamnya Banyu sudah bertanya berulang kali, apakah Bumi punya tugas rumah atau tidak. Tapi jawabannya selalu sama, Bumi bilang tidak ada jadi dia bisa bebas bermain lego setelah selesai belajar dengan Bunda,  sedangkan kakaknya masih berkutat dengan buku dan pena.

Dan sejak saat itu, Banyu menyadari  apa yang menjadi tugasnya sebagai kakak dari seorang Bumi Batara. Setiap pulang sekolah, Banyu akan menghampiri teman sekelas Bumi untuk menanyakan perihal tugas yang diberikan guru. Lalu pada malam harinya setiap selesai sholat magrib berjamaah, Banyu akan menuntun Bumi untuk pergi ke kamar dan membantunya menyusun buku ke dalam tas sesuai jadwal pelajaran. Dengan sigap Banyu juga menawarkan diri pada Bunda untuk membeli bahan-bahan makanan ke warung, lantas digandengnya tangan Bumi untuk ikut pergi ke warung supaya tidak merasa kecil hati.

***

"Ada sisa buat beli ikan asinnya Wati nggak, Bang?" tanya Bumi, sedikit berbisik ke Banyu yang sedang menghitung cepat total belanjaan.

Mulut Banyu berhenti bergumam, hasil perhitungan telah ia dapatkan. "Nggak ada Bum. Kurang lima ratus malah."

Bumi sok panik, "Waduh, ngutang dong kita? Kasian banget juga Wati nggak jadi sarapan." lalu seperti biasa, Bumi akan memasang ekspresi belaga berpikir keras. "Gue ada ide!"

"Ide apaan?"

"Udah Lo tenang aja!" menepuk pundak Banyu penuh meyakinkan, Bumi kemudian berjalan cepat menghampiri mba Endang yang sedang dangdutan sambil menghitung dan memasukan belanjaan milik Bumi dan Banyu ke dalam plastik.

"Ekhmm!! Ekhmm!!" berdehem, Bumi mulai beraksi. "Mba Endang...." sengaja mengalun-alunkan suaranya.

Janda muda bergincu merah muda itu pun menoleh dengan gerakan kemayu, "Eh iya, kenapa Say?"

"Sayang apa sayton nih?" sahut Bumi, meladeni.

Lata, tangan mba Endang memukul keras lengan Bumi sambil tertawa, "Masa berondong ganteng gini dipanggil sayton? Ya sayang dong, siapa tau nanti jadi sayang beneran terus jadi bapaknya anak-anak."

Bumi mengucap 'amit-amit' berulang kali dalam hati, sedangkan Banyu malah tertawa puas yang jelas saja langsung dihadiahi satu lemparan terong oleh Bumi.

"Mba Endang kok pagi ini cantik banget sih?" goda Bumi.

Mba Endang malah menoleh cepat dan melotot, "Jadi selama ini nggak cantik gitu? Cuma pagi ini aja yang cantik?"

Ah Bumi lupa, kalau selain gampang digoda, mba Endang juga gampang naik darah. Menggeleng cepat, Bumi memperjelas maksudnya, "Bukan gitu mba Endang. Maksud aku tuh, kecantikan mba Endang naik level pagi ini. Berseri-seri gitu loh mba..."

"Masa sih Say?" dan mba Endang pun masuk perangkap buaya. Bahagia sekali dengan dusta yang diciptakan Bumi.

"Iyaa, apalagi ya mba kalau mba Endang kasih diskon ke kita!" sahut Bumi dengan cepat.

"Serius bisa tambah cantik?"

Bumi mengangguk cepat. "Insyaallah, kalau Allah menghendaki, minggu depan mba Endang naik status. Nggak jadi janda lagi!"

"Wiih tokcer juga! Kalau gitu kamu mau diskon apa, Say?"

Bumi tersenyum senang, menang. "Itu aja deh mba, tepung segitiga birunya dua bungkus dihitung sepuluh ribu aja. Jadi sisanya dibeliin ikan asin semua."

"Waduh. Nggak bisa Say. Jauh banget."

"Ahh masa? Tempat bang Ucok aja boleh kok!"

"Sejak kapan bang Ucok jualan tepung?" tanya mba Endang, bingung.

"Lah kan dari dulu memang jualan sembako!" seperti biasa, Bumi masih ngotot. "Iya 'kan Bang?"

Banyu pun tersenyum tertahan dan menggeleng pelan, nampak tak enak untuk mengakui kesalahan Bumi, "Bang Ucok buka tambal ban, bukan buka warung sembako. Kalau bang Toha baru jual sembako, Bum."

Sepersekian detik Bumi nampak mencerna ucapan Banyu sebelum akhirnya tawanya pecah, "Ahahahaha gue lupa, gue suka pikun tingkat akut!!" yang entah mengapa tawa itu justru terdengar pilu bagi Banyu. Bahwa tawa itu sama sekali bukan bentuk bahagia dari Bumi, tak selayaknya tawa pada kebanyakan orang.

***

Bersambung...

Bumi Lampung





Assalamualaikum...
Halo semuanya👋❤️
Aku datang bawa cerita baru, masih dengan genre keluarga dan brothership

Aku masih kesulitan buat mantapin alur cerita Hold Me Tight, jadi aku putusin untuk nulis cerita baru aja dulu.
Nggak mau kasih janji apapun, pun dengan jadwal up😀

Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu semangat gaiss🌻




RemoveWhere stories live. Discover now