BAB 1

5 1 0
                                    

Lebatnya hujan yang mengguyur disertai embusan angin membuat seorang gadis mengeratkan sweter yang dikenakannya. Dengan memanfaatkan waktu yang paling mustajab, tangan gadis itu terangkat sembari menengadah untuk berdoa memohon keberkahan dari Sang Pencipta.

Malam semakin larut, tetapi secangkir susu yang tersisa setengah di hadapan tak cukup membuat kantuk menyerang gadis itu. Diangkatnya cangkir itu, kemudian menyeruput susu tersebut hingga tandas. Tangannya kembali bertumpu pada jendela dengan yang lain bertopang di dagu. Sesekali gadis itu tersenyum membuat lesung pipi di sebelah kirinya jelas tercetak. Pikirannya tengah menerawang jauh memutar memori pertemuannya dengan sesosok pemuda yang selama ini diidamkannya.

Pemuda saleh nan tampan, siapa yang tak jatuh dalam pesonanya? Tentu saja gadis bernama lengkap Indhira Mengantari itu tak bisa menolak pesonanya. Indhira semakin merasa memiliki setitik harapan saat tahu pemuda itu adalah kakak dari sahabatnya, ditambah lagi kedua orang tua mereka berteman.

Suara ketukan pintu membuat lamunan Indhira seketika buyar. Bergegas gadis itu melangkah mendekati pintu lalu membukanya. Tampak di sana wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda. Wanita biasa, tetapi bertelapak kaki surga.

Indhira melirik ke jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul dua pagi, kemudian kembali menatap wanita di hadapan sembari cengengesan.

“Belum tidur kamu jam segini?” tanya wanita itu yang tak lain adalah Maria, ibu Indhira.

“Ini mau tidur kok, Bu,” jawab Indhira berdalih
.
Maria menatap putri sulungnya sejenak lalu mengangguk. “Ya sudah, sana masuk. Besok kamu harus kerja, harus banyakin istirahat, bukan malah begadang nggak jelas,” nasehatnya.

Setelah mengatakan itu, Maria berlalu dari kamar putrinya dan kembali ke kamar sendiri.

Indhira kembali menutup pintu, kemudian melangkah ke tempatnya tadi bersemayam. Hujan perlahan mereda, menyisakan gerimis dan gelapnya langit tanpa taburan bintang. Indhira segera menutup jendela, kemudian mengambil cangkir kotor di meja dan membawanya ke wastafel dapur.

Indhira kembali ke kamar setelah gosok gigi dan cuci muka. Dia beranjak mematikan lampu, setelah itu merebahkan tubuh di samping adik perempuannya yang sudah terlelap.

***

Langit yang tampak cerah di pagi hari membuat sebagian orang merasa lega. Di musim hujan seperti sekarang ini tak asing lagi jika hujan datang di pagi hari, menghambat gerakan mereka yang hendak mencari nafkah, padahal hujan adalah salah satu rahmat Allah yang patut untuk disyukuri.

Seperti pekerja lain, Indhira pun segera mengeluarkan sepeda motor miliknya. Setelah berpamitan pada sang ibu, Indhira lekas meninggalkan rumah.
Terlahir dari keluarga apa adanya membuat Indhira tak berani memiliki impian untuk berpendidikan tinggi.

Ketika lulus sekolah menengah atas setengah tahun ini, Indhira mulai mencari pekerjaan dan akhirnya kini bekerja sebagai kasir di sebuah toko pakaian. Menjadi anak sulung mendorongnya ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga, serta membayar cicilan motor yang dikendarainya itu.

Tiba di toko, Indhira langsung memarkirkan motor dan bergegas masuk. Di dalam sudah ada si bos berkepala botak yang sedang berkacak pinggang. Indhira meringis mengetahui keterlambatannya dan segera meminta maaf.

Saat tengah serius memandang komputer di depannya, tiba-tiba suara dering ponsel menyerak konsentrasi Indhira. Mengetahui telepon masuk dari sang sahabat, dia segera mengangkatnya.

“Assalamualaikum, halo,” salam Indhira memulai percakapan.

“Waalaikumussalam, Ra. Aah, gue kangen!” pekik pemilik suara dari seberang telepon.

Bunga yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang