BAB 2 Akhir dari sebuah Pengharapan

4 1 0
                                    

“Ketika hatimu terlalu berharap dengan seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu betapa pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepadanya.” – Imam Syafi’i

***


Mentari mulai menyapa bumi dengan memancarkan sinar ke berbagai penjuru. Kicauan burung pun mulai terdengar riang menyambut hadirnya suasana baru.

Indhira perlahan membuka mata akibat terusik oleh seberkas cahaya yang menerobos tirai dan menusuk kulitnya. Gadis itu menatap jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Beruntung sekarang hari Minggu, sehingga ia bisa menikmati jatah liburnya.

Gadis itu beranjak ke luar dari kamar menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Setelah membasuh wajah, Indhira berjalan menuju dapur dan mendapati Maria tengah memasak sesuatu.

“Masak apa, Bu?” tanya Indhira mendekati Maria.

“Ibu lagi masak sup kesukaan bapak,” jawab Maria menoleh, lalu kembali menatap masakan di depannya.

“Mau Dira bantuin, Bu?” tawar Indhira.

Maria menggeleng. “Nggak usah, ini udah hampir masak. Kamu duduk aja,” tolak Maria halus.

Indhira mengangguk lalu berjalan menuju meja makan untuk duduk manis di sana.

Maria mengaduk panci di depannya, kemudian mengangkat sendok mencicipi kuah sup itu. Dia lalu berbalik menatap putri sulungnya.

“Dira, coba deh, rasanya udah pas belum?” Maria menyodorkan sendok berisi kuah sup itu.

Indhira meraih sendok di tangan Maria lalu mencicipinya, tak lama ia pun mengangguk. “Udah pas, Bu. Mantap lah kayak biasa, hehe,” kekeh Indhira.

Maria tersenyum mendengarnya, kemudian ia melangkah menuju kompor dan mematikannya.

Tak ingin berdiam saja, Indhira berjalan menuju rak mengambil piring dan peralatan makan lainnya.

“Kahfi katanya mau ngelamar seseorang ya, Ra?” tanya Maria tiba-tiba.

Indhira menoleh menatap sang ibu. “Ibu kok bisa tahu?” heran Indhira.

“Kamu lupa kalau Ibu sering ketemu dan ngobrol sama Bilqis,” jawab Maria. Bilqis adalah kakak dari Kahfi dan Nana yang sering mereka kunjungi ke kota ini.

“Oh iya, hehe. Nana sih, bilang gitu juga, Bu,” jawab Nana sembari menata peralatan di meja makan.

Maria berjalan mendekat dan menaruh semangkuk sup di meja. Dia beralih menatap putrinya itu. “Ibu harap gadis yang akan dipinangnya adalah kamu, Nak,” harap Maria mengusap lembut pipi Indhira.

Indhira tersenyum mendapat perlakuan hangat seperti itu dari ibunya. “Makasih, Bu.”

Maria mengangguk. “Panggil bapak sama adik-adikmu gih, kita sarapan bersama,” titah Maria.

“Aye, aye capain!” seru Indhira segera menuruti perintah sang ibu.

Maria menatap punggung putrinya yang perlahan menghilang di balik tembok. Dia menghela napas berat, berharap Indhira kelak bisa mendapatkan pendamping hidup yang bisa membahagiakan putrinya itu.

Indhira adalah gadis yang memiliki pribadi terbuka, berbanding terbalik dengan adik perempuannya yang tertutup. Indhira selalu menceritakan apa yang telah dilewatinya, termasuk perasaannya kepada Kahfi pun ia ceritakan pada Maria. Itulah mengapa Maria berharap pemuda itu datang meminang putrinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja Maria ingin melihat putrinya bahagia bisa bersama seseorang yang dicintainya.

***

Indhira melangkah melewati lorong menuju rumah bercat biru yang tak jauh dari rumahnya. Tiba di depan pintu, Indhira mengetuknya sembari mengucap salam. Terdengar balasan salam dari dalam, tak lama pintu pun terbuka menampilkan seorang gadis berjilbab abu-abu.

“Eh, Dira, nggak kerja?” tanya gadis itu spontan.

“Kan Minggu, Aisyah,” balas Indhira memutar bola mata.

Gadis bernama Aisyah itu menyengir kuda, kemudian mempersilakan Indhira masuk.

Aisyah adalah sepupu sekaligus teman yang menjadi tempat Indhira bercerita. Aisyah saat ini masih menempuh sekolah menengah atas kelas tiga. Aisyah sibuk dengan sekolahnya, sedangkan Indhira dengan urusan pekerjaan. Waktu mereka untuk bertemu semakin menipis, sehingga hanya akan bertemu di waktu-waktu tertentu seperti sekarang ini.

Aisyah mengajak Indhira masuk ke kamarnya. Seperti biasa, mereka akan menghabiskan waktu di kamar bersama sembari membahas hal-hal serampangan.

“Jadi Kahfi udah mau nikah? Kapan?” tanya Aisyah setelah Indhira menceritakan perihal pemuda itu.

Indhira mengangguk dengan wajah yang tampak redup. “Iya. Nana bilang mungkin dua minggu lagi, tapi dia bilang gitu satu bulan lalu, pas dia nginep di rumah waktu itu,” jawab Indhira.

Gadis berjilbab abu-abu di depan Indhira itu terdiam tampak berpikir. “Kamu ada dapat info lagi dari Nana?” tanya Aisyah kemudian.

“Aku nggak berani nanya ke dia,” jawab Indhira.

“Udah nge-stalking akunnya?” tanya Aisyah lagi yang dibalas gelengan Indhira. “Kalau gitu coba cek akun medsos Nana atau Kahfi. Kali aja dia ada ngepost sesuatu gitu,” usul Aisyah.

Indhira merogoh ponsel di kantong, kemudian membuka aplikasi sosial media. Diketiknya nama Kahfi Pradana di kotak pencarian, tak lama muncul sebuah akun dengan profil ilustrasi laki-laki yang berpeci.

Indhira menggulir ke bawah mencari apakah pemuda itu baru-baru ini mengeposkan sesuatu. Benar saja, jemari itu berhenti bergerak saat mendapati sebuah gambar yang menampakkan sosok pemuda tengah merangkul pinggang seorang gadis dengan mesra. Sudah jelas pose itu menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan yang sedang melakukan foto pre-wedding. Terlebih sebuah kata-kata terselip di gambar itu sangat menunjukkan argumen Indhira.

“Setelah sekian berlayar, akhirnya kutemukan pelabuhan yang tepat.  Semoga kelak kita bisa berjalan bersama memasuki jannah-Nya.” – Kahfi & Amalia

Tatapan Indhira tampak memburam setelah melihat itu. Hatinya bagai tersayat sembilu, terasa perih dan sangat menyesakkan. Benarkah pemuda itu telah meminang seorang gadis? Gadis yang ternyata bukan dirinya? Indhira tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan saat ini. Semua seolah hancur lebur tak tersisa.

“Ra?” panggil Aisyah saat melihat wajah gadis di depannya itu berubah mendung. Terlihat jelas air mata menggenang di pelupuk gadis itu.

Indhira tersadar saat namanya dipanggil. Dia menatap Aisyah tanpa menyadari setetes demi setetes air mata sudah membentuk sungai kecil di pipinya.

“Syah,” panggil Indhira balik sembari menunjukkan gambar di ponselnya.

Aisyah tertegun setelah melihat apa yang ditunjukkan oleh Indhira. Dia menatap sepupunya itu dengan sendu, kemudian membawanya ke pelukan. Aisyah mengelus punggung gadis itu mencoba menenangkan.

Indhira menumpahkan segala kepedihan di pelukan Aisyah. Rasanya teramat sakit  saat mengetahui pemuda yang telah menjanjikan harapan untuk kehidupannya kini justru mempersunting gadis lain.

Setelah Indhira cukup tenang, Aisyah melepaskan pelukan. “Coba kamu telepon Nana, tanyain kebenarannya,” usul Aisyah kemudian.

Indhira menangguk lalu membuka aplikasi hijau. Dia mencari kontak bernamakan sahabatnya itu, kemudian menekan ikon berbentuk telepon untuk menghubungi Nana.

Setelah menunggu beberapa menit, telepon akhirnya terhubung.
“Assalamualaikum,” salam Indhira.

“Waalaikumussalam,” jawab Nana setelah terdiam beberapa saat.

“Na, apa kabar? Lama nggak nelepon.” Indhira mencoba untuk terdengar biasa-biasa saja, walaupun saat ini tengah mati-matian menahan sesak.

“Alhamdulillah, baik. Lo sendiri gimana?” tanya Nana balik.

“Sepertinya nggak baik-baik aja, Na,” jawab Indhira tersenyum getir.

Tidak ada balasan dari seberang telepon. Tidak lama terdengar helaan napas berat, disusul suara Nana yang berucap, “Maaf ya, Ra.”

Hanya kata itu yang terdengar dari telepon, seolah sahabatnya itu telah mengetahui penyebab mengapa Indhira menjawab sedang tidak baik-baik saja.

“Benar Kahfi udah ngelamar cewek?” tanya Indhira ke intinya.

Pertanyaan itu percuma, karena dari gambar yang ada di status Kahfi sudah menjelaskan semuanya.

“Maafin gue, Ra. Bang Kahfi udah ngelamar cewek di sini, dan dua bulan lagi mereka bakalan nikah,” lirih Nana dari seberang.

“Ini bukan salah lo. Udah dulu ya, aku mau pergi. Assalamualaikum.” Indhira berdalih.

Tanpa menunggu balasan salam dari seberang, Indhira langsung memutuskan sambungan telepon. Meskipun sudah mengetahui kebenarannya, tetap saja Indhira merasakan persendiannya terasa lemas setelah mendengar jawaban Nana.

Apakah ini balasan untuk Indhira karena telah berharap pada manusia? Apakah ini balasan untuk Indhira karena terlalu berharap pada ciptaan-Nya dibandingkan dengan yang menciptakan? Indhira lupa bahwa Allah adalah satu-satunya sebuah pengharapan, sehingga kini ia harus menelan kepedihan itu sendirian.

-
-
-

Makassar, 9 September 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bunga yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang