Sudah berkali-kali kubilang, bahwa aku baik-baik saja. Namun, mereka tidak percaya, akhirnya aku dibawa paksa ke sini. Orang tuaku bilang bahwa ada yang salah denganku, mereka mengadu pada wanita itu katanya aku sering berbicara sendiri, kadang juga marah-marah tidak karuan. Wanita yang duduk di kursi kerjanya hanya mendengarkan dengan khidmat, sambil terus menulis semua keluhan dari ayah-ibuku.
Aku mulai bosan berada di sini, tempatnya tidak menarik sama sekali. Hanya dicat putih tanpa dihias apapun, untungnya wanita psikolog itu menaruh lemari cokelat diujung ruangan, jadi tampilannya lumayan tertolong.
"Aku kira dia punya teman khayalan," kata wanita psikolog itu tiba-tiba.
Ibuku langsung menutup mulutnya, sedangkan ayahku tampak serius mendengarkan diagnosis si wanita.
Ayolah! Apa yang salah? Itu hanya teman khayalan. Hampir semua orang pasti punya teman khayalan, itu hal yang normal-normal saja.
"Di usianya yang lebih dari dua puluh tahun, agak aneh jika dia masih punya teman khayalan," sambung si wanita psikolog.
Entah kenapa mendengar hal itu, jantungku seperti tersengat listrik berkilo-kilo watt, sengatan itu kian menjalar hingga membuat dadaku sesak. Pernyataan awalku seolah terbantah, bahwa punya teman khayalan kadang bukan sesuatu yang normal.
Kepalaku mulai pening memikirkan hal itu, serasa di otakku terjadi perang, berebut opini dengan menindih satu pemikiran dengan pemikiran lain. Satu sisi mengatakan bahwa wanita itu salah, punya teman khayalan adalah suatu bentuk kejeniusan, kemampuan luar biasa yang mana seseorang bisa memproyeksikan dirinya sendiri ke wujud yang lain. Namun, satu sisi lainku menolak.
Memang, teman khayalan sering muncul ketika masih anak-anak, mungkin karena daya imajinasi mereka yang masih kuat. Namun, jika muncul pada orang dewasa, apakah bisa dikatakan hal yang wajar? Aku jadi bimbang. Bahkan aku mulai ketakutan membayangkan hal terburuk yang mungkin akan dikatakan si wanita psikolog itu.
Bahwa aku memang "bermasalah".
"Jadi, apa yang kau lakukan jika memang kau terbukti bermasalah?"
Mendengar perkataan itu, darahku seolah terkuras habis. Suhu tubuhku seolah turun beberapa derajat dan aku mulai mengeluarkan keringat dingin. Kenapa dia datang di saat seperti ini? Aku diam saja, jika kupaksakan untuk menjawab, sudah pasti si wanita psikolog itu langsung bilang jika aku mengalami gangguan. Teman khayalan, kurang ajar!
"Kenapa kau diam saja? Biasanya kau selalu cerewet jika aku datang," katanya sambil berjalan mengelilingi ruangan.
Lagi-lagi aku hanya bisa diam, sembari memerhatikannya melangkah ke sana kemari. Dia terus berputar-putar di sekitar meja psikolog, beberapa kali menjulurkan lidah di belakang psikolog, dan meniru gaya berbicara si psikolog saat menerangkan diagnosisnya kepada orang tuaku.
Lambat laun, dia tampak jenuh karena aku tidak memperdulikannya.
Sambil memainkan gaun putih selututnya, dia pun pergi. "Huh! Kau membosankan, Vio! Kuakui kau menang kali ini."
Aku lega dia pergi, tapi ... aku malah penasaran apa yang akan dia lakukan setelah ini. Bisa saja dia akan melakukan sesuatu hal di luar dugaanku. Sial! Kenapa malah jadi kepikiran begini?
Selama konsultasi berlangsung, aku tidak fokus sama sekali dengan apa yang ditanyakan si psikolog berambut pendek itu. Semua pertanyaan yang terlontar seolah mengambang, dengan jawabanku yang ala kadarnya. Dan pemeriksaan berlalu begitu saja. Gara-gara kemunculan-nya, aku jadi was-was akan hal-hal buruk yang kemungkinan bisa terjadi.
Karena konsultasi hari ini tidak memberikan kepuasan, psikolog itu akhirnya menyuruh kami pulang dan berencana mengatur kembali jadwal temu. Dia lalu melihat kalender, sambil menyelipkan rambut pendeknya ke telinga dia pun berkata, "Kita akan adakan konsultasi dua minggu lagi. Dan semoga Vio bisa lebih terbuka."
![](https://img.wattpad.com/cover/284661748-288-k236419.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Stein
Historia CortaPunya teman khayalan bukan anugerah, melainkan bencana besar. Itulah yang Vio rasakan, selalu dihantui oleh kemunculan teman khayalannya yang tiba-tiba. sampai-sampai orang tuanya menganggapnya sebagai orang yang begitu malang. Tidak ingin dikasiha...