Chapter I : Langit Biru

120 9 15
                                    

Langit adalah salah satu ciptaan Tuhan yang membuatku merasa beruntung terlahir di dunia ini. Setiap melihat ke atas, menatapnya, aku seperti diberi senyuman paling indah dari atas sana, senyum untuk setiap hati yang penuh harap di bawahnya. Tidak ada alasan yang bisa ku jelaskan, yang ku tahu berkat dia, aku selalu punya harapan baru tentang segala hal yang ku hadapi saat itu. Ia memang tak selalu biru, kadang berubah jingga, kelabu, bahkan gelap pekat diiringi suara petir beradu atau gelap malam yang sangat cantik dengan ribuan cahaya bintang dan bulan saling memadu. Tapi apapun perubahan warna yang ia hasilkan, tak ada satu pun alasan untukku berhenti menyukainya, berhenti percaya menitipkan kisahku padanya. Karena sejak kecil aku sering mendengar, kata orang, di balik langit, jauh di atas sana ada Dia, Sang Maha Segalanya.

***

"Nak, sudah selesai olahraga?" tanya Ayah

"Eh ayah, sudah yah. Ayah mau duduk disini?" jawabku (menawarkan pada ayah untuk ikut duduk di sampingku, di lantai teras rumahku)

"Boleh, sebentar saja ya... jawab beliau (duduk di sampingku)

... tempat ini masih menjadi favoritmu?" tanya Ayah membuka obrolan

"Tidak juga. Mengapa ayah bertanya seperti itu? tanyaku

"Ayah masih ingat, sejak kamu kecil tempat ini mungkin sudah hafal bagaimana kamu menahan tangis ketika dimarahi oleh ibu, tertawa bersama semua mainanmu, dan semua yang kamu lakukan disini sampai sedewasa ini." jelas Ayah (tersenyum padaku)

"Tidak ayah. Semua tempat adalah favoritku ketika ada ayah, ibu, adik, dan aku." Jawabku (memeluk ayah)

"Begitu kah?

Ya sudah ayah berangkat ke kantor, kamu siap-siap ke sekolah. Ibu dan adik menunggumu di dalam." Ucap Ayah (mengusap kepalaku dan mengulurkan tangannya untuk ku cium)

"Ayah..." panggilku saat menatap punggung ayah yang beranjak pergi

"Ada apa?" jawab Ayah (menoleh ke arahku sambil merogoh sakunya untuk memeriksa apakah kunci mobil tertinggal seperti kebiasaan beliau)

"Ayah percaya aku bisa jadi dokter kan?" tanyaku (tersenyum kepada ayah)

"Pasti sayang, semangat ya!" jawab Ayah (melempar senyum kembali kepadaku dan melanjutkan langkahnya menuju mobil)

"Ayah..." panggilku sekali lagi

"Apa lagi, Dir?" jawab Ayah (tertawa dan menutup kembali pintu mobil yang sudah dibukanya)

"Ayah juga semangat ya, hati-hati di jalan!" Ucapku (tersenyum)

"Ya nak." Ujar ayah (mamasuki mobilnya)

"Ayah jangan lupa makan, kita tunggu ayah pulang. Dah ayah." Teriakku saat ayah menghidupkan mesin mobilnya

"Cepat masuk! Nanti terlambat.

Ayah pamit ya. Assalamu'alaikum." Ucap Ayah (melambaikan tangannya)

"Waalaikumsalam, hati-hati ayah!" Ujarku

Namaku Nadira Raviva Hisyam, putri sulung ayah Hisyam. Ayah Hisyam adalah seorang pengusaha, beliau selalu bekerja keras bahkan sering tidak pulang ke rumah. Meski begitu ayah Hisyam sangat sayang kepadaku, juga kepada ibu dan adik laki-lakiku Fahreyza Hisyam.

Pagi ini aku akan memulai kisah dimana kakiku pertama kalinya menyentuh bumi pendidikan menengah atas. Menjadi seorang dokter adalah salah satu pesan yang sering ku serukan ke langit. Entah berapa kali hujan dan musim kemarau berlalu, berapa kali lagi bunga mekar dan daun yang harus gugur menemani harapanku, aku hanya yakin bahwa setiap yang diterbangkan akan tetap kembali kepada pengirimnya. Harapan bisa menjadi kenyataan pada waktu, tempat, bahkan jalan yang dianggap tak masuk akal oleh logika manusia.

MembumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang