Chapter II : Senja dan Fajar

39 3 6
                                    

-Dingin Fajar yang Ku Rasakan-

Perihal bercerita tentang senja dan fajar mungkin menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi sebagian besar orang. Mereka adalah dua keindahan yang dihadirkan Tuhan sebagai pertanda bahwa pagi akan berganti dan malam juga tak terus ada. Meski hadirnya sekejap, keduanya dinanti jutaan manusia. Dari petani yang menunggu pagi untuk memulai bercocok tanam, hingga nelayan yang menjadikan pagi sebagai waktu untuk pulang. Dari mulai pekerja yang menunggu waktu malam untuk pulang, hingga dia yang sendiri di kamar menjadikan malam sebagai teman menyembunyikan tangisan. Tak ada habisnya menceritakan senja dan fajar.

Yang paling penting, mereka adalah bentuk baiknya Sang Pencipta, cara Dia berdialog dengan kita bahwa hari esok akan tetap ada.

***

Tepat pukul dua, waktunya untuk bercerita. Kali ini akan ku ceritakan mereka dengan versi yang berbeda, cerita tentang senja dan fajar yang ku temukan sekaligus pada diri satu manusia.

Bukan senja dan fajar penanda pergantian waktu,

Senja dan fajar yang ku maksudkan adalah simbol karakter menakjubkan dari diri seseorang.

"Dir!" teriak Sukma (menghampiriku yang jatuh telungkup dan menjadi pusat perhatian orang di lapangan sepak bola di sekolahku)

"Aduh." keluhku (memegang lutut)

"Anak orang itu bro!"

Terdengar seperti suara kak Aldi menegur seseorang.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Sukma khawatir (memeriksa keadaanku)

"Tidak apa-apa." Jawabku singkat

"Dia bilang tidak apa-apa." Ucap laki-laki berkulit sawo matang dengan postur atletis itu kepada kak Aldi (pergi menjauh)

"Dasar gila!" hujat Sukma

"Dik, dia seangkatan denganku. Ku harap kalian tetap sopan. Atas nama dia, aku minta maaf." Jelas kak Aldi mencairkan suasana

"Siapa dia kak? Ingin ku susul dan memarahinya." Tanya Sukma (kesal)

"Namanya Arham. Dia salah satu atlet yang cukup sering mengharumkan nama sekolah kita." Kata kak Aldi

"Mengharumkan apanya, tidak punya sopan santun." Celetuk Sukma

"Sukma sudah, aku baik-baik saja." Jawabku (menenangkan Sukma)

"Kak Aldi, terima kasih. Saya dan Sukma pamit pergi dulu." Pamitku pada kak Aldi

"Tidak ke UKS?" Tanyanya

"Tidak kak, nanti saja saat pulang." Jawabku mengakhiri obrolan kita

Arham.

Bagaimana bisa ada manusia yang jelas-jelas melakukan kesalahan dan dilihat banyak mata, malah bersikap biasa saja? Apakah tidak ada sedikit pun di benaknya untuk melindungi reputasinya sebagai siswa kebanggaan sekolah?

Padahal hanya dengan mengucap satu kata, maaf. Apa itu berat?

***

Di Kantin

"Sedang memikirkan kak Aldi?" tanya Sukma (menyuguhkan teh hangat)

"Arham." Jawabku (meneruskan lamunanku)

"Arham? Sakit kamu?" Teriak Sukma (memegang dahiku)

"Ssssttttt... jangan keras-keras!" Ucapku (menepis lengannya)

"Kalau saja bukan kakak kelas, habis sudah dia." Omel Sukma

"Dia beda, Sukma." Jawabku (menatap Sukma)

MembumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang