Aku mengerang kencang, merasakan sakit kepala hebat yang mendera. Belum bisa membuka mata sambil merasakan tubuhku yang lemas. Perutku mulas dan mual. Sambil mengumpulkan tenaga dan kesadaranku yang terpecah berkeping aku mencoba bangkit untuk minum. Mulutku asam dan pahit seperti habis makan petasan.
Ruangan gelap gulita dan untuk sesaat aku tidak tahu dimana aku berada. Bukan kamarku. Bukan kamar seseorang yang kukenal. Gawat.
Pikiranku terbagi ketika sentakan menyebalkan datang dari lambungku, memaksa untuk mengeluarkan isi perutku. Menutup mulutku dengan sebelah tangan menahan muntah, aku tergesa-gesa turun dari ranjang. Meraba pinggiran nakas untuk menyalakan lampu agar bisa menuju kamar mandi tanpa tersandung.
Kukerjapkan mataku beberapa kali sambil berjalan menuju pintu kamar mandi yang terbuka, menuju kloset dan memuntahkan semua hal menjijikkan dari tubuhku. Aku terbatuk-batuk pusing. Cairannya mengalir melalui hidungku dan terasa menyakitkan. Astaga seberapa banyak aku minum semalam.
Aku bangkit dan memandang ngeri pantulan diriku dicermin washtafel. Rambut berantakan, makeup yang masih sebagian menempel, muntahan disekitar mulut dan hidungku, dan aku telanjang. Demi tuhan. Telanjang.
Ini tidak benar. Aku berusaha mengingat-ingat sambil mencuci wajah mengerikanku. Mengabaikan kepalaku yang pening dan perutku yang masih terasa seperti diaduk-aduk.
Semalam aku pasti mabuk berat. Acara karaoke setelah memenangkan tender besar yang berakhir di bar dengan teman-teman kantor. Oke, sampai situ tidak ada yang salah. Ini biasa terjadi pada jumat malam, kami selalu keluar minum. Tapi one night stand? Jelas bukan gayaku.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya sambil menghitung dalam hati. Aku harus tenang. Jika sudah terjadi, yasudah. Yang perlu kulakukan hanya bersikap cool seperti biasa. Lagipula itu hanya seks yang bahkan aku tak ingat prosesnya.
Setelah meyakinkan diri sendiri dan memeriksa wajahku yang sudah bersih, aku menarik handuk dan melilitkannya pada tubuhku. Berniat pulang diam-diam tidak tertarik dengan identitas pasangan satu malamku.
Ruangannya remang karena satu-satunya cahaya hanya berasal dari lampu meja yang tadi kunyalakan. Kulihat seorang pria tidur tengkurap dengan sedikit sekali selimut yang menutupi tubuhnya. Bokongnya menyembul keluar dan otot-ototnya membuatku sulit memalingkan wajah. Aku menelan ludah dan berusaha menemukan barang-barangku. Memunguti pakaian yang bercecer dilantai dan tersentak kaget karena suara bising ponsel yang berdering nyaring seperti nada alarm. Sialan. Dia bisa bangun.
Kutemukan celana panjangnya dan menarik keluar ponsel lalu mematikan alarmnya. Tapi terlambat, ketika kudengar dia bergumam pelan sambil bangun dari ranjang. Oh celaka.
Dia menyalakan lampu nakas dari sisi ranjangnya. Menekan berkali-kali semua tombol disitu sampai semua lampu diruangan menyala terang. Aku masih dilantai, merunduk dengan kedua lututku menggenggam ponselnya mematung.
"Jessica?"
Apa? Sialan!
"Jess, is that you?" Ulangnya dengan suara serak bangun tidur.
Tentu saja itu namaku. Dan aku merinding ngeri mengenali suara yang tidak asing itu. Tidak mau memandang wajahnya.
Dia terhuyung mendekatiku, menyentuh bahuku memaksaku menatap keatas dan, oh, aku menatap wajahnya tepat di matanya berusaha sekuat tenaga tidak melihat 'miliknya' yang menggantung.
Wajahnya pucat pasi seketika. Begitupun wajahku ketika kurasakan darah keluar menghilang dari sana.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara tercekat.