"Pagi, Bu Jessica." Sapa Sherly cerah seperti biasa di senin pagi. Aura positifnya menular membuatku balas tersenyum.
"Pagi. How's your weekend, Sher?"
"Tidak sepusing weekendmu, Jess." Katanya sambil mengedipkan mata. "Ayo keluar cari kopi."
"Tentu." Jawabku bangkit dengan senang. Sherly seusiaku dan meskipun dia bawahanku sikapnya santai dan seperti teman.
"Bukankah kau ada meeting jam 10 nanti?" Tanya Sherly sejurus kemudian saat kami memutuskan untuk duduk disitu sebentar setelah mendapatkan kopi kami.
"Oh, sial." Gumamku pucat.
"Dengan team operasional, eh?"
"Hmm." Dengan Ray.
"Tolong bahas mengenai prosedur pengajuan sekalian, Jess. Aku bisa gila dengan team mereka yang bebal itu."
"Okay."
"Kau baik-baik saja? Kopinya tidak enak?" Sherly melirikku cemas.
"Aku baik. Aku hanya malas memikirkan meeting sialan itu. Hasilnya akan selalu sama setiap bulannya."
"Ya, diskusi alot yang menyebalkan." Sherly menatapku sependapat. Kami mengadakan meeting rutin setiap awal bulan untuk mereview dan membahas beberapa masalah, dan Ray adalah masalah. "Cobalah untuk tidak terlalu emosi kali ini."
Aku menghembuskan nafas malas. "Ayo naik. Aku harus menyiapkan beberapa hal."
Senin pagi plus meeting menyebalkan menjadi lebih sial saat aku bertemu dengan Ray didalam lift. Sherly mengangguk enggan menyapanya dengan senyum dipaksakan. Begitupun beberapa staff Ray yang menatapku sebal.
"Selamat pagi, Bu Jessica." Kata Ray pelan dengan nada angkuhnya. Aku mengangguk menatap matanya bengis.
Dilantai selanjutnya lift semakin penuh sesak membuatku terdesak kebelakang, memisahkan aku dan Sherly dan mendekatkanku dengan Ray.
Aku tersentak kaget ketika kurasakan tangan-tangan menggerayangi tubuhku, dari pinggang ke paha dengan gerakan naik turun. Kudapati Ray dengan poker face nya balas melirikku tajam ketika aku menoleh kebelakang. Jarak kami begitu dekat sehingga aku dapat merasakan nafas Ray yang teratur berbeda dengan detak jantungku yang berlompatan.
Kutepis tangannya dari tubuhku sebisa mungkin tanpa menarik perhatian orang lain, kucubit dan kucakar tanpa suara. Tapi nyatanya tangannya semakin erat mencengkram pinggangku, menarikku rapat dengan tubuhnya.
Tangan kurang ajarnya merambat masuk kedalam rok kerjaku, mengelusnya pelan-pelan dan naik dari belakang. Jari-jarinya menelusup masuk kedalam celana dalamku, meremas-remas bokongku.
Oh, ini pelecehan! Aku bisa saja berteriak, tapi terlalu memalukan jika orang sekantor tahu dan aku tidak mau jadi bahan gosip semua bawahanku.
Lift berdenting dilantai tujuanku, dan dengan sekali gerakan cepat dan tepat kudorong bokongku keras kearah juniornya yang membuatnya melepas tangannya dari bokongku. Aku masih bisa mendengar tarikan nafasnya yang kencang ketika aku menginjak ujung sepatunya dengan heels sepatuku, lalu buru-buru keluar lift meninggalkannya tanpa menoleh kebelakang.
"Ada apa?" Tanya Sherly melihatku mengulum senyum.
"Aku dengan tidak sengaja menginjak sepatu Ray." Kataku kalem.
"Dengan sepatu itu?" Sherly menunjuk stilettoku dengan tatapan ngeri.
"Yep. Dengan sepatu ini."
***
Meeting dimulai dan berjalan seperti biasanya. Aku tidak banyak bicara sambil berusaha tidak bertemu pandang dengan Ray yang duduk tepat didepanku.