"Aku akan turun duluan, tunggu 5 menit baru kau keluar." Kataku pada Ray dibasement parkir pagi ini.
Ray memutar matanya terlihat sebal. "Demi Tuhan, Jess! Kita hanya semobil bukan melakukan perbuatan tercela!"
"Tidak!" Potongku cepat. "Jangan dulu, aku- aku belum siap."
"Baiklah," Kata Ray menyerah. " Aku akan mengantar mobilmu kebengkel dulu sebelum naik. Kunci?"
Aku menyerakan kunci mobilku dari dalam tas kepada Ray, memandangnya sejenak lalu mengecup bibirnya sekilas. "Thanks"
Ketika aku akan keluar mobil, Ray meraih lenganku. "Jangan menggodaku, nona manis." Bisiknya lalu menarik tubuhku mendekat.
Kami berciuman lama, saling memagut dan mencari kepuasan. Beberapa kali Ray mundur membiarkanku bernafas lalu kembali melumat bibirku, menghisapnya dengan rakus.
"Kita harus berhenti jika kau tidak mau kutelanjangi disini sekarang, Jess." Bisiknya parau, sedikit terengah sambil mengelap bibirnya yang basah.
Aku tersenyum geli lalu keluar sebelum Ray benar-benar menelanjangiku dimobilnya. "Sampai nanti." Kataku lalu menyelinap keluar, bergerak diantara mobil-mobil yang menutupi tubuhku untuk antisipasi jika berpapasan dengan seorang yang kukenal.
Beberapa jam selanjutnya aku sudah ditenggelamkan oleh tumpukan laporan dan pekerjaan sampai bunyi interkom dari Ray kembali menyadarkanku.
"Jessica."
"Hei, babe. It's Ray. Wanna lunch together?"
"Ray?! Apa- maksudku, tidak. Aku sibuk, Ray."
"Ayolah, Jess. Kita kan tidak hanya sekali ini makan siang bersama."
"Dengan yang lain?"
"Err.. Tidak. Aku belum bilang yang lain akan makan keluar."
Aku menghembuskan nafas panjang. "Ray, apa yang akan mereka pikirkan jika melihat kita tiba-tiba makan bersama berdua? Dengan keadaan seperti ini?"
"Lalu kenapa? Siapa peduli pikiran orang lain?!"
"Aku peduli, Ray."
"Kau malu, huh?" Dengusnya kesal. Nada suaranya berubah menjadi Ray si brengsek.
"Tidak. Kumohon, aku tidak ingin berdebat."
Ray membanting sambungannya kencang, dengan bunyi yang membuatku menjauhkan gagang telepon dari telingaku. Aku mendesah lalu mengumpat dalam hati.
"Itu tadi Pak Ray?" Tanya Sherly mengagetkanku dari depan pintu.
Aku tersenyum gugup. "Ada apa, Sher?"
"Tidak, Bu." Sherly menekuk wajahnya lalu masuk dan duduk didepanku dengan beberapa kertas yang penuh coretan. "Kebetulan sekali jika itu Ray. Ini masalah asset yang dia beli minggu lalu. Tolong lihat laporannya. Dan ini proposalnya."
Aku meraih dokumen darinya dan membacanya sambil mengernyitkan dahi. "Aku tahu akan ada masalah mengenai tender minggu lalu." Gumamku kesal.
"Ya. Assetnya tidak sesuai dengan yang ada dikontrak. Dan proposal ini, dari Pak David. Aku rasa ada yang tidak beres disini. Dia hanya meng-copy-paste. Come on!"
"Kau sudah periksa sebelumnya?" Tanyaku pada Sherly yang mulai emosi.
"Tentu!" Serunya. "Ini akan berpengaruh besar pada penagihan, Bu. Tolong bicara pada mereka. Ini bukan untuk pertama kalinya!"
"Baiklah, Sherly." Jawabku lelah. "Aku akan menghubungi Ray dan David. Kau bisa keluar."
"Thanks, Jess." Kata Sherly puas. "Aku akan keluar makan, kau ikut?"