~Terimakasih tuhan, kau telah titipkan sepasang malaikat tak bersayap untuk menjagaku. Malaikat yang tak kenal lelah merawatku. Menimangku dengan penuh cinta kasihnya. Kepadamu aku mohonkan, jagalah mereka selalu, disetiap langkah mereka~
♥♥♥♥♥♥
Hari ini aku masih menatap langit yang sama, langit kota kita yang menjadi saksi perjuanganmu. Disini, aku melihat bulan yang sedang tersenyum padaku, dan aku dapat melihat mu disana. Apa sekarang ayah bahagia bersama-Nya?
****
2 bulan yang lalu...
Aku duduk termangu di teras rumahku. Lagilagi sebuah teguran dari sekolah, teguran untuk melunasi biaya pendidikan. Kenapa orang-orang itu seenaknya sendiri? Tidakkah mereka memikirkan kehidupan anak-anak sepertiku?
“Kok nggak masuk rumah, Ar?” Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Dia Paramitha, ibuku. Aku langsung bangkit dari posisiku semula dan mencium telapak tangan ibuku.
“Iya, bu. Ini juga mau masuk. Gimana keadaannya Dino, bu?” Dino adalah adikku, ia sedang sakit keras saat ini. Terjadi penyumbatan pada pembuluh jantungnya. Karena keterbatasan ekonomi, Dino terlambat mendapatkan pertolongan dokter. Akibatnya, Dino terbaring koma di rumah sakit.
“Belum sadar juga, Ar.” Kata ibu pasrah, “Kata dokter harus cepat di operasi. Ibu sama ayah bingung harus berbuat apalagi. Kamu tahu sendiri, ibumu ini hanya buruh lepas sedangkan ayah seorang tukang ojek. Lagi pula, hutang kita juga sudah menggunung.” Ibu menundukkan kepalanya, lesu. Banyak beban yang harus ditanggungnya, ibu butuh tempat berbagi. Seandainya aku bisa mengurangi beban itu.
“Kita berdo’a saja, bu. Semoga Tuhan memberi yang terbaik.” Hanya itu yang bisa aku katakan untuk menenangkannya.
Di sore berikutnya...
“Bu, ada surat dari sekolah.” Ya. Itu surat tagihan. Ingin rasanya aku membuang surat itu, ingin hati tak menyerahkan surat terkutuk itu. Namun, apalah daya?
“Itu apa, bu?” suara seseorang sontak membuat kami menoleh ke arahnya. Itu Suwardi, ayahku yang baik hati. Seantoro kampung juga tahu betapa mulia hati ayahku ini. Beliau baru saja pulang kerja, peluh keringat masih membasahi wajah teduhnya.
“Ini, Ariani dapat surat peringatan dari sekolah, yah. Katanya, kalau kita tidak segera melunasi biaya pendidikan, Ar tidak boleh ikut ujian nasional.” Ayah membaca surat itu dengan seksama. Kalian tahu? Ayahku ini tak pernah mengeluh, apapun kebutuhan kami ayah pasti bekerja keras untuk memenuhinya. Ayah juga tak pernah marah, senyuman hangat selalu merekah di bibirnya. Ayah sumber semangat kami. Apa aku harus berhenti sekolah? Tidak, ayah pasti akan kecewa. Tapi, bagaimana mungkin aku menambah beban ayah dengan biaya sekolah itu?
“Jangan mikir macam-macam, Ar! Yang terpenting kamu belajar. Urusan ini jadi urusan ayah.” Sudah kuduga. Ayahku ini memang mirip cenayang. Bagaimana tidak? Apa yang ada di hati dan pikiranku ayah bisa tahu tanpa aku mengatakannya.
Ayah ingin aku mengenyam bangku pendidikan.’ Sekolah setinggi-tingginya agar sukses dimasa depan’ itu moto ayah untuk kami, anak-anaknya. Tak sekecap pun ayah mengenyam bangku pendidikan dan ayah tak mau hal serupa terjadi pada anaknya.Satu minggu setelah perbincangan itu...
Semakin hari keadaan Dino semakin parah. Dino sempat sadarakan diri beberapa menit tapi, kondisinya kembali anfal dan dia kembali koma. Keadaan ini makin runyam, saat bu Ike si lintah darat menagih hutangnya pada ibu, belum lagi SPP ku. Aku mulai mengkhawatirkan ayah yang bekerja tanpa henti. Berangkat jam lima subuh dan baru pulang jam dua dini hari. Sikap ayah juga berubah, beliau tidak lagi tersenyum. Mungkin ini karena beban berat yang di tanggungnya.
****
Peristiwa itu terjadi. Mungkin karena ayah menemui jalan buntu, hanya ada gelap di segala arah yang membutakan mata hati ayahku. Ayahku yang baik itu terjerumus dalam lingkaran hitam kriminalitas, kejahatan yang akhir-akhir ini sering terjadi.
****
“Bu, lagi lihat berita?” Aku duduk disamping ibu. Hanya tinggal kami berdua di rumah ini, karena akhir-akhir ini ayah jarang pulang. Tiba-tiba ponsel butut milik ibu berdering. Setelah menerima panggilan itu air muka ibu berubah, seolah hal buruk telah terjadi. Ibu kembali terduduk disebelahku, terpaku pada layar kaca yang menampilkan berita tentang kawanan begal yang dihakimi masa.
Tiba-tiba ibu bangkit dari posisinya, “ibu pergi dulu, Ar.”“Ibu mau kemana?” Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan berlalu begitu saja. Perasaanku tiba-tiba gelisah tak menentu, wajah ayah selalu terngiang-ngiang. Ya Tuhan ku, lindungilah orang tuaku. Aku terus berdo’a dalam diam.
Keesokan harinya...
Semalam ibu tak pulang, aku begitu cemas. Dan pagi ini, aku melihat wajah sendu dan badan kurusnya sedang berjalan terhuyung-huyung ke arahku. “Ada apa, bu?” Tanyaku, khawatir.
“Ibu baik-baik saja, Ar. Ar... dengarkan ibu baik-baik nak! Ariani harapan ibu dan ayah, kamu harus belajar yang rajin, sekolah yang benar agar kelak kamu bisa menjadi orang sukses dan membuat ayahmu bangga. Apapun yang terjadi, ayah melakukan semua ini untuk kita, semua karena ayah menyayangi kita. Wujudkan mimpi ayahmu! Janji?”
“Iya bu, Ar janji. Memang ayah kemana bu?”
“Ayah pergi ke tempat yang jauh disana, ayah harus menjalankan tugas. Ayah dapat pekerjaan baru.”
****
Setelah perbincangan pagi itu, ibu tak mengijinkanku ke rumah sakit untuk menjenuk Dino. Bahkan ibu tak mengijinkanku kemanapun selain ke sekolah. Sampai hari itu tiba, hari dimana ibu melakukan wawancara live disebuah stasiun televisi. Dan sebuah fakta menyakitkan yang akhirnya aku tahu. Ayahku seorang pembegal, dan naasnya ayah adalah satu dari empat pembegal yang dihajar masa pada malam itu. Ayah sempat kritis, dan dirawat di rumah sakit. Mungkin, itu alasan ibu tak mengijinkan aku ke rumah sakit, ibu takut pikiranku kacau karena memikirkan ayah. Saat itu aku hanya bisa menangis, merutuki kebodohanku yang tak peka terhadap keadaan. Kenapa hidup tak adil bagiku? Kenapa harus ayahku? Kenapa Tuhan mengambil ayahku?
‘Mungkin tuhan sangat mencintai ayah. Ar belajar yang rajin ya, suatu saat nanti kita pasti bertemu. Maafkan ayah yang sudah membuat Ar kecewa.’ Begitulah kata ayah melalui sebuah mimpi. Ayahku meninggal dalam tragedi itu. Untuk yang pertama dan terakhir kalinya ayak melakukan kejahatan dalam hidupnya. Malam itu, malam yang sangat pedih bagiku. Malam tersulit, malam terpanjang yang pernah aku lalui.“Aku disini ayah, aku Ariani putrimu. Aku berjanji akan mewujudkan semua impian ayah. Aku menyayangimu ayahku, menyayangimu dengan segenap jiwaku.”
~ Wahai Tuhan...
Jagalah dia di sisimu
Terangilah setiap jalannya dengan cahayamu
Hangatkan hatinya dengan hangat cintamu
Ku titipkan cinta dan rinduku untunya pada-Mu
Untuk ayahku, sampaikan rindu ini
Meski mata ini tak dapat melihatnya
Meski dimensi telah pisahkan raga
Cintaku untuknya akan ada selamanya~Dari putri ayah : Ariani Suwardi
Teringat masa kecilku
Saat kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Membuatku melambung disisimu terngiang
Hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmuKau ingin ku menjadi
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhi godaan yang mungkin ku lakukan
Dalam waktu ku beranjak dewasa
Kau tak ingin sesuatu
Membuatku jatuh dan terinjakTuhan tolonglah sampaikan berjuta sayangku untuknya
Ku kan berjanji takkan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku dapat penuhi maumu
(Gita Gutawa ft. Ada Band-Terbaik Bagimu)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sayang Ayah
Historia CortaAku hanya memanggilmu ayah disaat ku kehilangan arah Aku hanya memanggilkan ayah disaat kau tlah jauh dari ku.