Hari kompetisi pun tiba.
Seorang gadis menjadi pusat perhatian kala jemarinya bergerak lincah diantara diantara tuts piano. Lampu sorot yang mengarah pada gadis itu membuat penampilannya memberikan kesan khusus sehingga fokus penonton terus tertuju padanya.
Gadis itu tampak menutup kelopak matanya.
Menikmati tiap alunan nada yang tercipta. Disaat inilah dia merasa menemukan bahagianya yang nyata.Dan seperti yang sudah-sudah, permainan piano gadis itu selalu memukau juri dan penonton. Setelah nada terakhir riuh tepuk tangan penonton menyambutnya,
Khannaya Zarendra, gadis itu kemudian berdiri dan membungkuk memberi penghormatan pada aundiens.Di backstage sudah Emely yang menunggu. Lain halnya dengan penonton ataupun juri yang terpukau dengan penampilannya, di wajah Emely justru tampak kekesalan. "Ada nada yang miss tadi, dan tadi bukan hal bagus, kamu paham Anna?"
Lagi, Bundanya itu mengomentarinya bahkan lebih pedas dari juri. Emely mengelus lembut pipi anaknya. "Bunda nggak pengen kamu gagal karena kesalahan. Sekecil apapun itu Anna." Anna hanya mengangguk lalu tersenyum.
"Iya Bunda, Anna akan perbaiki untuk tahap selanjutnya. Anna bakal latihan lebih giat."
Emely menggeleng. "Nggak akan cukup. Janji nggak akan cukup!" Tiba-tiba wanita paruh baya itu berteriak histeris. Tampak linglung, emosinya tidak terkontrol bahkan sampai menarik rambutnya sendiri.
Anna menyadari kalau Bundanya kambuh dengan segera memeluk Bundanya. Mencoba sebisanya untuk menenangkan Emely. "Bunda, tenang ya. Kita bakal baik-baik aja. Anna ada sama Bunda di sini."
Emely pun melepas pelukan anaknya. Tangannya mencengkram bahu Anna dengan kuat. "Anna jangan tinggalin Bunda ya sayang. Anna nggak boleh janji apapun. Cukup selalu ada di samping Bunda nggak boleh kemana-mana."
🎹🎹🎹
Akibat dari kambuhnya Emely, Anna harus berakhir terkunci di ruangan serba putih tanpa istirahat sejak kepulangannya mereka dari kompetisi. Tidak furniture selain piano berwarna senada.
Anna terus memainkan pianonya. Berkali-kali dia merasakan kepalanya berdenyut karena jambakan dari Sang Bunda.
Trauma Emely membuatnya seringkali hilang kendali seperti ini dan tentu saja Anna yang akan menerima risikonya. Anak malang itu tidak bisa melawan kehendak Bundanya. Dia hanya berharap Emely segera memintanya untuk berhenti barulah dia akan berhenti.
Emely yang tadinya berdiri di depan jendela, pun berbalik menghampiri Anna yang tampak kelelahan. Mengelus surai anaknya, "sayang, sudah pagi. Kamu harus sekolah, kan? Ingat bagaimana pun kamu juga harus menjadi nomor satu. Akademik ataupun sebagai seorang pianis."
Anna tidak menjawab apapun selain mengangguk kemudian beranjak pergi dari ruangan itu.
Kembali ke kamarnya Anna menatap cermin besar di hadapannya. Kantung matanya yang mengitam dan kulit putihnya pucat. Perlahan kedua sudut bibirnya tertarik menampilkan seulas senyum. "Anna bahagia. Anna terbaik. Anna baik-baik aja," ucapnya seakan merapalkan sebuah mantra.
🎹🎹🎹
Koridor sekolah masih sepi ketika Anna sampai. Wajar saja ini masih pukul 6 pagi. Hanya beberapa anak-anak tergolong rajin yang sudah datang. Dan Anna salah satunya.
"Hai An," sapa Arel menepuk bahu Anna dari arah belakang. Arel memang selalu datang pagi karena dia adalah ketua kedisiplinan.
Anna membalas tersenyum, "hai Rel, ehm, Amanda mana? Nggak barengan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Girl Syndrome
Teen FictionKhannaya Zarendra atau biasa dipanggil Anna. gadis berusia 17 tahun yang terkenal akan senyumnya yang manis sikapnya yang ramah pada semua orang tanpa terkecuali. Anna tidak pernah menunjukan emosi negatifnya. kemarahan atau kesedihan, tidak sama se...