Bab 6

53 2 0
                                    

KALAU bukan karena wajah cantik yang murung menahan kesedihan, Suto Sinting masih tetap ingin pergi temui si Jahanam Tua sendirian. Tapi rasa iba melihat wajah cantik melenturkan kekecewaan yang tampak mendalam, akhirnya Pendekar Mabuk terpaksa izinkan si cantik Karina Larasita ikut pergi pada keesokan harinya.

"Kau boleh ikut, tapi tak boleh bikin masalah

apa-apa!". ujar Suto Sinting bagai mengadakan perjanjian sebelumnya.

"Aku dapat mengatasi masalahku sendiri," balas si cantik Karina.

"Kau pun harus menurut dengan perintahku, jangan membandel, nanti bikin repot aku saja"

"Apakah kau suka jika aku menjadi gadis penurut?!"

"Kau akan semakin cantik jiką menjadi gadis

penurut."

"Baik. Aku akan menuruti apa katamu!" jawab Karina dengan tegas.

"Sekali kau tidak menurut apa kataku, aku akan meninggalkanmu di tengah hutan!"

"Aku sudah biasa hidup di hutan. Kurasa aku tak keberatan dengan peraturanmu!!" ujar Karina dengan nada ketus karena hatinya merasa jengkel terhadap aturan-aturan dari pemuda yang dianggapnya cerewet itu.

"Setahuku mulut perempuan tidak secerewet mulutmu," gerutunya pelan, membuat Suto Sinting berpaling menatapnya sambil sunggingkan senyum

geli, tapi Karina berlagak tidak mengetahui pandangan mata Suto Sinting.

Arah mereka tetap ke negeri Bardanesya, karena Pendekar Mabuk yakin si Jahanam Tua tetap Ingin temui Raja Gundalana untuk menanyakan kebenaran keterangan Dewi Ranjang tentang si penakluk Hantu Urat Iblis itu. Mulanya Karina mengusulkan untuk langsung mendatangi tempat tinggal si

Jahanam Tua dl Pulau Wingit, tapi Suto tidak setuju dengan gagasan itu.

"Hanya buang-buang waktu saja," ujarnya sambil teruskan langkah menuju ke wilayah negeri Bardanesya.

"Suto, berhenti sebentar!" seru Karina yang

sempat tertinggal tiga langkah di belakang Pendekar Mabuk. Seruan gadis itu terasa menegangkan,

sehingga Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget

dan buru-buru berpaling menatapnya dengan pandangan mata cukup tajam.

"Ada apa, Karina?!"

"Pandanglah ke arah sana, di belakang batu

besar berlumut itu!" sambil Karina menuding arah yang dimaksud. Pendekar Mabuk pun segera lemparkan pandangan matanya ke arah batu besar berlumut.

Di bawah batu itu tampak sepasang kaki terbujur kaku. Badan si pemilik sepasang kaki itu tertutup batu besar itu. Melihat warna pucat pada telapak kaki bercelana hitam itu, Suto dan Karina

pendapat bahwa kaki itu adalah kaki orang yang telah tewas. Maka mereka pun bergegas dekati batu besar berlumut itu untuk melihat siapa orang yang

tewas di balik batu itu.

"Oooh...?!" Suto Sinting setengah terpekik begitu melihat sosok mayat yang tergeletak di balik batu besar berlumut itu. Karina hanya tersentak tanpa suara, napasnya bagaikan terhenti di kerongkongan. Tapi gadis itu segera berkerut dahi pertanda merasa asing dengan mayat tersebut. Sedangkan Suto Sinting justru berwajah tegang dan pandangi seluruh tubuh mayat itu, agaknya ia mengenali

siapa orang yang tewas di balik batu besar berlumut itu.

Pendekar Mabuk tak bisa lupa dengan wajah tua berusia sekitar enam puluh tahun itu yang mempunyai rambut abu-abu, jenggot dan kumis pendek abu-abu, jubah biru dan celana hitam membungkus

Pendekar Mabuk - Pertarungan Dewi RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang