Saat-saat malam yang dingin seorang pemuda tampak merenung di atas rumahnya memandangi bulan tanpa ditemani bintang, tatapannya begitu nanar sambil berkata,"Bulan, kepadamu aku berbicara. Sekarang ini tidak ada satupun teman-teman maupun kekasihku bersimpati bahwa aku sedang diterpa musibah."
Dia begitu meresapi angin yang berhembus turun dari bukit. Saat sedang hening-heningnya, suara petir menggelegar.
Pertanda langit malam akan turun hujan."Sepertinya bulan tidak mau mendengar curhatan ku sehingga ia memanggil hujan."
Ia bilang begitu dengan nada yang pasrah.Tak lama hujan turun, Ia tidak segera pergi melainkan membiarkan dirinya dibasahi oleh hujan. Lanjut meratapi kesedihannya dan berkata, "Wahai air yang jatuh yang memberi kesejukan, apa bulan memberi tahumu tentang curhatanku? Jika belum, aku memaksa ketersediaanmu untuk menjadi pendengarku malam ini saja."
Hujan semakin deras dan malam semakin kelam dan Pemuda itu melanjutkan curhatannya, "Hujan, beberapa minggu yang lalu, aku sedang merindukan kekasihku dan ku pikir rindu ini harus di balas dengan pertemuan, dan juga kita sudah lama tidak berkabar karena satu dan lain hal. Bermodalkan hasrat, berangkatlah aku menggunakan motor menuju rumahnya saat matahari pulang ke peraduan. Begitu tergesa-gesa diri ini ingin melihat matanya yang sayu, bibir yang basah seperti mangga muda. Dengan kecepatan motor 80 km/jam yang sudah di setengah perjalanan, tiba-tiba mobil keluar dari gang dan terjadilah kejadian yang tidak diinginkan."
"Hujan, sebelum aku melanjutkan curhatanku tetaplah deras dan bawalah angin yang keras kesejukannya tanpa menghadirkan petir dan guntur." Sejenak pemuda itu terdiam lalu memandang langit untuk memastikan kalau hujan masih deras masih bersedia mendengarkannya.
Pemuda itu lanjut berbicara, "Saat terbangun aku berada di kamar rumah sakit. Selama di rumah sakit kesunyian tak henti-hentinya menghampiri, sebab tidak ada yang menjengukku, aku meratapi derita ini sendiri. Dimana kekasihku? Dimana teman-temanku? Sampai hari ini, mereka hanya hadir di pikiranku saja."
Hujan semakin deras tampak pemuda itu mulai menggigil kedinginan dan akhirnya ia beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Esok hari pun tiba, matahari mulai terbit di saat orang-orang terlelap dalam tidurnya, suara ayam mulai berkokok dengan gagahnya. Terdengar suara sayup-sayup dari jauh yang semakin mendekat, "Banjir! Banjir!"
Air sudah naik seatas pinggang sebab hujan yang deras semalaman. Pagi itu para warga bergegas memilah-milah barang yang baginya penting.
Pemuda itu pun terbangun tersadar ranjangnya basah.
Lengkap sudah penderitaan yang dialaminya. Hidup sendiri dan selalu mengasihani diri.