••• Foto di atas adalah Venez, anak tunggal kaya raya ••••
°°
°°Saka, dan Uci berjalan memasuki gerbang sekolah. Wira Tama. Salah satu sekolah SMA swasta terbaik di Indonesia. Banyak murid di sekolah ini punya background keluarga kaya dan menarik. Beberapa sisanya, mendapat beasiswa, dan jalur prestasi yang sebenarnya tidak penting dimiliki saat bersekolah di sekolah ini.
Siapa yang mementingkah kepintaran dan kesempurnaan jika segebok uang mereka dapat dengan mudah? Segalanya bisa dibeli, pikir mereka. Anak-anak orang kaya. Mirisnya, murid yang tidak memiliki background kaya menjadi sasaran empuk melampiaskan kekesalan, kejailan dengan cara tidak wajar. Anak-anak orang kaya, punya selera bermain yang berbeda.
Sebuah mobil BMW hitam keluaran terbaru berhenti di depan mereka. Lihatlah semua pasang mata itu, terpesona.
“Hai bro,” seorang remaja lelaki keluar mobil, memeluk tubuh Saka.
Saka membalas pelukan orang itu. Itu temannya, ayahnya pemilik sekolah, dan ia anak tunggal. “Lama banget lo Ven.”
Seorang berpakaian jas rapi berkacamata hitam memberi hormat, Venez melemparkan kunci mobilnya. Orang itu salah satu pengawal atau satpam pribadi Venez di sekolah. Perintah Ayahnya. Kebutuhan apapun yang dibutuhkan Venez akan terpenuhi, ia hanya butuh duduk manis dan mengucapkan perintah. Semua akan tersedia tanpa ada secuil kesalahan.
Venez menatap Uci. “Hai Uci, tadikan gue chat lo niatnya mau jemput, sekalian pamer mobil baru,” berniat memberi pelukan.
Uci mendorongnya, “Lo lama, gue gak mau nungguin orang lelet.” Menatap kesal.
“Galak bener Ci, ntar suka lo,” mencubit pipi tirus Uci.
Uci berdesis, mengibaskan rambutnya ke belakang “Ish, ngak usah pegang-pegang!” berjalan lebih dulu meninggalkan mereka.
“Uci kenapa sih? Sensi amat?” beralih menatap Saka.
“Kemarin ada yang merogoki dia waktu ngoprasi perut kelinci.”
“Cari mati tu orang,” tertawa, merangkul pundak Saka, berjalan memasuki kelas.
###
Wira Tama punya tiga gedung tingkat tujuh. Di setiap puncak gedung bercat berbeda. Satu gedung bercat hijau di puncak, lalu satunya oren, dan sisanya merah. Penanda tingkat kelas. Gedung berpuncak cat hijau untuk murid baru, oren untuk kelas 11, dan merah untuk kelas 12.
Setiap gedung memiliki delapan kelas, tiga lapangan indor, dua outdor, perpustakaan, kantor guru, dua lift murid, dan satu lift guru, laboratorium dan kebutuhan sekolah lainnya.
Venez melempar gulungan tisu, gulungan itu mengenai kepala Kean, murid berprestasi yang mendapat beasiswa.
“Beliin gue sarapan dong,” menaikkan sebelah alisnya, tersenyum.
Kean menatap sinis, hal itu sering terjadi bahkan sudah menjadi kebiasaan setiap pagi di kelas. Di sekolah ini Venez ibarat raja, ia bisa melakukan apapun juga dipuja. Siapapun yang menentang ucapan Venez, hidup mereka di sekolah ini akan lebih bermakna. Kean beranjak dari duduknya, berlari kencang keluar kelas. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi, ia tidak ingin terlambat memasuki kelas atau nilai dan kesabarannya selama bersekolah tidak lagi berguna.
Kelas mereka ada di lantai 5, kelas tertinggi, terluas dan terlengkap. Venez menepuk bahu Saka di depannya. “Gimana rencana gue? Berhasil nggak?” wajahnya menunjukkan keingintahuan lebih.
Saka menggeleng, “Dia nolak, dia sadar kalau hal itu gak boleh dilakuin,” mengendikkan bahu acuh, berkutik dengan ponselnya.
“Pepet terus aja, kalau lo cuma nyatain sekali, dia bakal ragu. Tapi, kalau lo dekatin dia, baikin dia, perempuan selalu kalah dengan prilaku manis.”
Saka terdiam, “Ucapan lo ada benernya,”
“Yaiya gue gitu,” tersenyum sombong.
“Ntar malem ke club yuk? gue traktir,”
Saka menggeleng, “Gue mau deketin dia,” menampilkan senyum sinisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY
Romance***Tidak untuk anak-anak, mengandung adegan 21+**** "Kita kan teman," Venez melirik perempuan dan lelaki di depannya. "Primadona sekolah." "Si pemikir gila." "Dan gue anak pemilik sekolah, anak tunggal kaya raya,"