Saka membuka pintu rumah, seorang wanita menatapnya tersenyum. Senyuman yang begitu dibencinya. Senyuman yang ingin ia musnakan.
“Kamu udah pulang? Mama udah bikin makanan di meja, cobain juga rotinya, resep baru.”
“Ngak usah sok akrab, lagi pula, Mama sudah lama mati. Jangan berharap bisa menggantikannya,” menatap sinis Diana, ibu tirinya, berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ia berpapasan dengan Rona, anak perempuan dari wanita dibencinya. Usianya terpaur lebih muda dua taun, dan gadis itu, ia icarannya.
Saka membersihkan tubuh, ia menahan diri tidak keluar kamar sejak pulang sekolah hingga tengah malam. Tidak memedulikan teriakan Ayah memanggilnya untuk makan malam.Anak yang begitu menentang pernikahan Ayahnya karena berada pada masa berkabung, sebab Ibunya meninggal belum genap seminggu. Namun pria itu, pria egois berlabel Ayah memilih nafsunya daripada perasaan anaknya. Hal lain yang dibencinya adalah kenyataan jika ia mempunyai adik tiri, sedarah. Anak dari perselingkuhan, dan sekarang wanita itu berani menampakkan diri selepas kematian istri sah, menjadi ratu dalam rumah ini. Hidup Saka cukup berantakan saat itu. Menciptakan sosok Saka sekarang, lelaki berhati dingin.
Saka mengendap-endap keluar kamar, tengah malam ia tidak ingin terlalu berisik melakukan aksinya. Berdiri di depan kamar tidur Rona, mengetuknya pelan.
“Rona, ini Saka.”
Butuh waktu lama pintu itu terbuka, Rona mengucek matanya. Perempuan itu memakai piyama pendek memperlihatkan keindahan betisnya.
“Ada apa Kak?”
Saka memasuki kamarnya, menutup pintunya. Rona yang baru saja terbangun dari tidur telat merespons tindakan lelaki itu.
“Ron, gue suka sama lo,” menangkup wajahnya.
“Kak, ini salah, gak boleh,” menggeleng, mundur beberapa langkah ke belakang.
Saka mendekat, “Ya, gue tau ini salah. Tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri, gue suka sama lo.” Menatapnya intens.
“Kak, kalau Papa sama Mama tau, kita dalam masalah,” berniat membukakan pintu.
Saka berdiri di depan pintu, menghalangi tangan Rona membuka pintu. “Yaudah, jangan sampai mama sama papa tau. Gampangkan?”
Rona menggeleng, “Ini salah kak, kita ada hubungan darah. Gak boleh,” Napasnya naik turun tak beraturan.
Tangan Saka menahan bahu Rona kencang, “Gue nggak peduli Diana sama papa marah, yang gue tau gue cuma sayang sama lo, gue mau milikin lo, dan orang lain gak boleh milikin lo. Gue sayang, Ron. Apa lo selama ini gak pernah anggep gue? Dua taun kita hidup bersama, dua taun juga gue selalu ngasih perhatian lebih, selalu ada. Apa perjuangan gue sia-sia?” menampilkan senyum sendu, menghembuskan napas pelan.
Rona terdiam, sebenarnya ia munafik, terlalu naif. Ia tau tindakan Saka dengan segala perhatian lebihnya adalah tindakan salah, namun ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia menyukai saudara tirinya.
Lelaki yang selalu ada untuk semua kondisinya, menghiburnya, menemaninya, dan terlalu sering membantu. “Aku juga suka sama kakak. Kak Saka adalah lelaki terbaik bagiku,” menundukkan pandangan.
Saka menyunggingkan senyum, memeluk Rona erat. “Gue seneng banget lo akhirnya jujur Ron, lama sekali gue nunggu lo jujur sama perasaan lo. Jadi sekarang kita pacaran ya?”Rona membatu mendengar ucapan keluar dari bibir Saka. Saka melepaskan pelukan, menatap Rona. “Ron, ada apa? Apa lo gak mau pacaran sama gue?”
Rona menggeleng, “Aku gak yakin kak, ini--”
Saka mengecup bibir Rona, membuat perempuan itu membuka mulutnya tak percaya. Sebuah telunjuk berada di bibirnya. “Hust, kita jalani ini rahasia ya. Supaya gak ada yang tau dan mengusik hubungan kita,” membuka pintu pelan, melambaikan tangan sembari menutup pintu, meninggalkan Rona masih terdiam.
Saka memasuki kamarnya, mengambil tisu di meja dan mengelap bibirnya, meludahinya, membuangnya ke tempat sampah. Sepertinya hari-hari setelahnya akan lebih menyenangkan dari biasanya. Malam ini ia bisa tertidur sangat puas.
###
Suara musik saling bersahutan dan kemerlip lampu warna-warni, juga keramaian manusia berniat menghilangkan setumpuk masalah, sekedar menikmati malam, atau membuang uang.
Kedua tangan terangkat ke atas, pinggul bergerak mengikuti alunan lagu, terkadang berniat bergesekan dengan lawan jenis.
Venez mengangkat tangannya, mengajak Uci berjoget yang sedari tadi hanya duduk menghabiskan segelas wine.
“Ayolah Ci, kita happy malam ini!” serunya kencang, agar suaranya terdengar jelas di antara keramaian.
“Gue masih kesel gara-gara ada yang mergokin gue!” menggelengkan kepala, menggebrak meja pelan.
Uci menatap sekitar, mengambil tas ranselnya. Berniat pergi.
Venez menahan tangan Uci, “Lo mau kemana? Joget dulu la Ci,” menaik turunkan alisnya.
Uci menghempaskan tangan Venez, “Gue mau ke toilet.”
Venez mengangguk, perempuan itu jika lagi kesal tidak dapat diprediksi reaksinya. Venez memasuki kerumunan, berjoget ria.
Ia melihat seorang perempuan berambut keemasan di tengah kerumunan, lelaki-lelaki hidung belang berusaha mendekat, tidak terkecuali Venez.
“Hello, girl” menyunggingkan senyum.
“Hai, boy. What’s wrong?” membelai pipi Venez, tersenyum centil.
Venez berbisik, “Your very beautiful,”
“Thank’s, lo juga.”
Mulut Venez terbuka tak percaya, ia tertawa. “Lo bisa bahasa indonesia?”
“Little bit, sedikit. Setahun di Jakarta.” Menggigit bibir bawahnya.
“Gue Venez,” menjulurkan tangan.
“Lenka,”
“Cantik seperti orangnya,”
Lenka tersenyum, menyampirkan anak rambut mengganggu ke belakang telinga. “Venez, dari nama lo kayaknya lo playboy,” jemarinya menari meraba tubuh Venez.
Venez menggeleng, mengendikan bahu. “Gue bukan playboy, lebih suka pakai buang aja. Pahamkan?” menyeringai.
Pesona tampannya tiada tanding, rahang kokoh dan pipi tirusnya menambah kesan sempurna, tak lupa bibir seksinya sanggup menggoda perempuan-perempuan dengan sekali menyunggingkan senyum.
Tubuh Venez lebih mendekat, bergoyang-goyang. Tangannya mulai nakal membalas meraba tubuh Lenka.
“Gimana kita lanjutin di ka— ” Ucapan Venez terputus mendengar teriakan siur-siur terdengar di antara keramaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY
Romance***Tidak untuk anak-anak, mengandung adegan 21+**** "Kita kan teman," Venez melirik perempuan dan lelaki di depannya. "Primadona sekolah." "Si pemikir gila." "Dan gue anak pemilik sekolah, anak tunggal kaya raya,"