22》Rasa Tak Tertata

17 4 0
                                    

Asti tak tahu cara menghilangkan ingatan itu. Waktu berjalan, sampai tak sadar tahun demi tahun telah menapaki.

"Tarian yang bagus, San!" Wayan mengatakan itu dengan tersenyum. "Aku baru sadar, kamu punya tubuh yang bagus dan gerakan yang sangat luwes."

"Bagaimana Wayan mau lihat? Di mata Wayan cuma ada Asti."

Gelembung imajiner dalam dada Asti seolah mengembang. Perlahan, menghangat. Ya, sebelum Wayan akhirnya berkata sambil menunduk.

"Itu ...." Remaja itu bahkan tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

"Jadi Wayan suka sama tiang?" Santi memekik girang.

"Kayaknya enggak ada yang tidak suka Santi," jawab Wayan seolah melemparkan tombak besi ke dada Asti.

Sakit!

"Tiang juga suka Wayan," kata Santi kemudian dia mencium pipi Wayan. "Itu tandanya Wayan jadi milik tiang."

Lelaki itu diam saja. Dicium, dipeluk, menjengkelkan!

"Wayan grogi, ya?" Santi mengusap tangan kokoh itu berkali-kali.

Asti mundur tiga langkah dari ambang pintu, bergerak cepat ke arah kanan. Namun, gerakan panik tak terkontrol itu membuatnya menabrak tempat sampah.

Dia ingin berlari, tetapi Wayan sudah memegang jemarinya. Mati-matian gadis itu menahan air mata yang akan meleleh. Dia berusaha menampakkan senyum terbaiknya saat berbalik dan berkata, "Maaf, a-aku ... enggak tahu ada Wayan di sini."

Asti menunduk, rasa panas sudah merajah kedua matanya. Setetes bulir bening berhasil menjebol pertahanan yang Asti buat.

"Asti jangan pergi, ya? Kamu pasti capek. Biar aku yang keluar." Wayan mengusap puncak kepala Asti.

***

Rasa sakit itu begitu familier. Kabar burung yang berembus seolah menabur garam pada luka yang melangah. Punya anak dari Santi, itu cukup menyakitkan bagi Asti. Setelah tiga tahun usia anak laki-laki Santi, entah mengapa baru sekarang kabar berembus kencang?

"Ada yang kusembunyikan darimu selama ini. Tentang Santi dan anak laki-lakinya."

Kadang kebenaran menyakitkan, Asti. Dia sudah siap dengan kemungkinan terburuknya.

"Aku pikir, anak itu darah dagingku, makanya aku memilih Santi. Ternyata hasil tes DNA menunjukkan hasil yang berbeda."

Wayan ngomong apa?

"Aku menyayangi anak itu, jadi saat Santi kembali aku ingin menemuinya." Ada jeda sebelum dia melanjutkan. "Setelah Santi bercerai dengan orang asing itu kupikir dia akan menerimaku menjadi ayah dari anaknya, tapi Santi menolak."

"Aku turut bersimpati mendengarnya."

"Santi bilang, dia sudah mengkhianatimu dulu dan sudah berjanji untuk tidak mengganggu lagi. Santi bilang, dia masih melihat cintamu kepadaku masih sama persis. Apa itu benar?"

Kamu bahkan meragukanku, Wayan.

Asti membeku, kebenaran fakta yang dijejalkan bersamaan memberi sensasi yang tak bisa dia mengerti.

Ini saatnya, Asti! Kenapa diam? Kamu ungkapin perasaanmu atau marahin Wayan sekalian.

"Sepertinya Santi salah sangka." Suara yang bergetar itu terdengar sangat lirih. "Mungkin Santi benar," katanya sambil tersenyum simpul.

"Setelah apa yang terjadi, aku perlu waktu."

"Ambil waktumu sebanyak yang kamu inginkan." Wayan hendak mengelus puncak kepala Asti. Namun, gadis itu sudah bergeser dari posisinya.

[REPOST] The Stranger I Met in BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang