10》[Bukan] Urusanmu

37 9 9
                                    

"Tubuhmu di sini, tapi pikiranmu ...." Ukaysha memulai, tetapi dia tahu bagaimana akan mengakhiri kalimat itu. "Jujur aja, ya, aku juga sempat kecewa berat sama kamu. Bisa-bisanya kamu sampai menekan Wayan hanya untuk memenuhi impianku. Kamu enggak mikirin perasaan aku kalau tahu Wayan bakal--"

"Jangan salah sangka, aku hanya membayar hutang."

"Tapi enggak gitu juga. Apa bedanya kamu sama Si Mata Merah? Em, tapi enggak apa-apa. Aku maafin. Kamu tahu, kenapa?" Asti begitu Antusias, seperti biasa. Wajahnya yang bersemu nyaris tak berjarak, hanya seberapa detik sebelum gadis itu merebut roti dan melemparnya ke kolam. "Tadi Wayan memang sempat marah dan dia bilang kecewa banget sama aku. Katakan apa itu artinya Wayan cemburu lihat aku dan kamu pas di Jakarta?"

Ukaysha melihat Asti menarik napas panjang. Hal yang baru pernah dilihatnya. Namun, hanya sekilas. Detik berikutnya, Asti sudah kembali menjadi Asti yang biasa.

"Katakan, seandainya kamu ada di posisi Wayan dan melihat pacarmu jalan sama cowok lain apa kamu akan cemburu juga? Apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku enggak akan mengampuninya."

"Itu artinya cemburu buta. Cemburu buta hanya akan menyakiti dirimu sendiri," gumam Asti. "Tapi kenapa kamu diam aja saat cewekmu nikah sama orang lain?"

"Bukan urusanmu."

"Dia enggak layak diperjuangkan?"

"Kenapa menanyakan sesuatu yang sudah kamu ketahui jawabannya? Bukankah itu buang-buang waktu?"

"Lantas kenapa kamu membiarkan dirimu hanyut dan terluka kalau dia tak layak dipertahankan?"

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Kenapa kamu mau tahu apa jawabanku? Kenapa kamu ingin tahu tentang kehidupanku?" Itu jawaban terpanjang yang pernah Asti dengar dari Ukaysha. Dia sempat membeku saking takjubnya.

Ukaysha tahu benar alasan pacarnya memilih menikahi lelaki lain yang lebih kuat. Wanita seperti itu hanya membuang waktu saja. Mempertahankan hal yang tak semestinya hanya membuat luka semakin menganga. Dia tak mengerti, mengapa hatinya tetap terluka disaat mencoba melepas dengan ikhlas. Rasa sakit itu berperang dengan dirinya. Sesak, nyeri, dan rasa yang sulit terdefinisikan. Ukaysha mendongak memandang kejauhan. Bintang-bintang seperti pecahan kaca yang bertebaran perlahan tersamar awan pengarak hujan.

"Ih, aku udah bilang, kan, kalau bicaranya nanti aja," keluh Asti saat Gusti menghampirinya.

Keduanya begitu serius sampai tidak menyadari kedatangan kakak Asti.

"Tukakiang enggak bisa nunggu," jelas Gusti sambil menggandeng Asti. "Dia juga menunggumu."

"Lepasin, dong. Aku bisa jalan sendiri."

"Kamu enggak denger, dia bisa jalan sendiri? Jangan memaksa!" Ukaysha melepas tangan Gusti. Namun, genggaman itu tak terlepas. Pegangan itu sangat kokoh.

"Aku adalah kakaknya, memangnya kamu siapa?"

Ukaysha tak memutus tatapan tajam itu. Namun, dia juga tidak bisa menjawab pertanyaan Gusti.

Dia bukan siapa-siapa!

Perlahan tangan Ukaysha terlepas. Dia bergeming melihat Asti dibawa paksa oleh Gusti. Berinteraksi dengan Gusti selalu kurang menyenangkan. Mulutnya hanya menyuarakan beberapa kalimat. Sayangnya, kalimat itu selalu setajam tombak. Sialnya, selalu tepat sasaran. Ukaysha yakin, dirinya tak menyukai pemuda itu.

Ukaysha mengikuti Gusti dan Asti sampai di ruangan pertemuan. Dinding yang mengelilinginya dihiasi ukiran-ukiran. Perabot yang ada di dalamnya mayoritas berbahan dasar kayu yang diukir sedemikian rupa.

[REPOST] The Stranger I Met in BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang