•Epiphany•

54 1 0
                                    

Yogyakarta, Indonesia.


...




15.00 WIB

"KAMU manusia paling ajaib, El".

Bukit mini berselimut karpet rumput hijau muda, bunga-bunga merekah yang beraroma, berguguran mendekap tanah basah, juga keluarga bebatuan yang berpijak mantap, menjadi saksi ketika Aku mengucapkannya.

"..."

Kali ini Kamu bahkan tidak menjawabnya. Kamu terdiam di tempatmu. Terlalu membisu, tidak seperti dirimu yang kukenal.

"..."

Terkadang Aku ingat, ingin sekali membekap mulut busuk milikmu. Seperti waktu itu, saat rembulan sedang letih dan tersedu. Mirip denganku.

"Kalau Aku jadi Kamu, lebih baik tenggelam. Menghilang tertelan ombak, lalu tinggal di terumbu karang. Haha hihi bersama cumi-cumi"

Bagiku, saat itu Kamu tidak lebih dari manusia usil yang ikut campur. Tapi Kamu tetap gigih, tetap tak tahu malu untuk terus mengatakan omong kosong padaku.








"Pulanglah"








Ingat? Apa yang terjadi setelah itu? Setelah Kamu menyuruhku segera pulang?

Pada ketinggian atap gedung berlantai dua belas, pada kerlap-kerlip malam Malioboro, Kita bertengkar hebat. Aku kekeuh tidak mau pulang, sedangkan Kamu masih keras kepala.

"Kamu hanya orang asing!" usahaku mengakhiri obrolan sampahmu. Tapi Kamu semakin menggila, mengatakan lebih banyak omong kosong.




"Elia. Namaku, Elia".




Aku hanya tidak habis pikir denganmu. Kamu seperti tidak mengerti bahasa manusia, berkomunikasi seperti si Jadoo.

"Sekarang Aku bukan orang asing. Jadi, pulanglah. Semesta akan berpesta seribu jam jika melihatmu kalah darinya".

Begitulah Kamu. Perempuan paling aneh sedunia yang penuh dengan omong kosong, juga konyol. Elia yang kukenal.
.
.
.
.
.

15.15 WIB

Aroma tanah basah di lapisan bukit-bukit mini masih tidak memuaskan awan kelabu di atas sana. Angin berhembus lebih kencang, dan dingin. Tapi Kamu tega, tidak juga beranjak dari sana. Bagaimana jika hujan turun lagi?

Ah, benar. Aku lupa. Kamu memang suka hujan.

Aku selalu bertanya, selalu merasa aneh ketika seorang Elia berkata "Tidak punya payung."

Saat itu Aku meragukanmu beserta payung lipat biru yang mengintip di sela resleting tasmu. "Jangan bohong. Hujannya deras".

"Bayu, hujan itu cuma air. Bukan Red Zone". Saat itu kita tidak lagi menjadi asing.

"Nanti bisa sakit"

Kamu memilih mengangguk sembari tersenyum manis sekali, lalu berkata "Iya" .

Kemudian berlarian di tengah derasnya hujan, tanpa payung. Meninggalkanku dengan sekantong belanjaan di depan minimarket kawasan Sedayu. sendirian.
.
.
.
.
.

15.30 WIB

Sudah setengah jam kita berhadapan di sini, Aku memandangimu dengan seksama namun Kamu begitu pemalu sekarang.

Epiphany [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang