LLS 3

1.9K 191 20
                                    


Sudah hampir sebulan ini aku bekerja seperti orang gila, kerja tanpa mengenal lelah. Yang paling parah adalah seminggu ini. aku bahkan bersedia mengambil shift jaga malam para rekan rekanku yang meminta bertukar jadwal. Rumah sakit ini telah berubah menjadi rumah keduaku.

Sudah satu minggu aku tak pulang ke rumah. Aku sengaja menginap di kosan salah satu temanku yang berada tepat di seberang rumah sakit tempatku bekerja. Jangan tanya betapa khawatirnya orang tuaku. Berulang kali mereka menanyakan keberadaanku. Kapan aku pulang. Tapi aku tak peduli, karena yang saat ini aku pedulikan hanya diriku. Betapa menggenaskannya nasibku. Kenekad-anku berbuah petaka ternyata. Dan aku malu untuk sekedar mengakuinya pada Ayah dan Bunda.

Bertemu dengan para pasien setidaknya berhasil membuatku bertahan sejauh ini. aku merasa kuat dengan hanya melihat ketegaran dalam diri mereka. Mereka bertahan semampu mereka bisa, dan tentu aku harus melakukan hal yang sama bukan?

Pergantian shift sudah sejam yang lalu kulakukan tapi aku masih tak bergeming di sini- di Nurse station. Pikiranku kembali menerawang, pada suatu siang, saat ia mengatakan "maafkan aku Zarah, aku tak bisa melanjutkan semua ini.." kata-kata itu terus berputar di otakku seperti kaset rusak.

Menyudahi pikiran kelam itu, akhirnya malam ini kuputuskan untuk pulang ke rumah. Bukan karena suasana hatiku telah membaik, tapi aku juga harus memikirkan orang tuaku bukan?. Kecemasan mereka sepertinya sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan.

Semilir angin malam yang menusuk sampai ke tulang, tak menyurutkan langkahku berjalan menyusuri koridor rumah sakit ini. Sudah hampir satu bulan sejak kejadian itu, tapi tak sedikitpun bayanganya memudar, justru bertambah kuat. Lagi-lagi pikiranku menerawang, mengandaikan sesuatu yang tinggal angan-angan, harusnya malam ini adalah tepat satu minggu sebelum akad terucap keseokan paginya. Dan itu berarti aku akan resmi menjadi seorang isteri dan Ia resmi menjadi Imamku. Tapi semuanya menguap, terbang begitu saja secepat kata- kata maaf yang ia ucapakan tempo hari.

Kubuang jauh-jauh pikiran itu. pikiran yang tiba-tiba membuat nafasku sesak, denyut jantungku bertambah kian cepat. Kupercepat langkah kakiku menuju parkiran rumah sakit untuk mengambil scooterku. Aku harus pulang. Aku butuh istirahat.

Sinar temaram lampu halaman rumahku menyadarkaknku bahwa aku telah sampai. Ku ucapkan salam sepelan mungkin supaya tidak membangunkan keluargaku. Aku sudah mengirim pesan pada Bunda aku pulang malam ini.

Derit suara pintu kamar ayah tiba-tiba terbuka. "Zarah itu kamu, nak?" sapa ayah yang terlihat sangat lelah. Aku bisa melihat semburat kekhawatiran khas seorang ayah kepada putri kesayangannya.

Aku hanya mengangguk, berlalu dan segera menuju kamarku. Bunda sengaja mengekor di belakangku. Kulihat bunda duduk di tepi ranjangku dan memperhatiakan putrinya ini melepas satu demi satu pakaian yang membalut tubuhku.

Tak ada yang berani memulai bicara. Saat semuanya selesai. Kulirik bunda dari balik bahuku.

"Zarah.."

"Yah bunda.." sahutku mencoba terlihat baik-baik saja.

"Bunda ada disini nak. Kamu tahu kamu tidak sendiri. Ceritakan apa saja yang mengganjal di hatimu.."

Aku menarik nafas sejenak, berusaha mati-matian terlihat baik-baik saja. kutahan sekuat tenaga air mataku agar tidak jatuh, tapi sia-sia. Perlahan bunda menghampiriku dan membawaku kepelukan hangatnya. Aku hanya bisa membenamkan kepala sambil menangis terisak-isak di bahunya.

"Bohong jika Zarah saat ini baik-baik saja, bun. Tapi percayalah, Zarah kuat. Zarah bisa melewati ini.." ucapku lirih. Masih tak yakin dengan kata-kataku barusan

Bunda hanya mengelus lembut bahuku. Mengantarkan kententraman di jiwaku. Dan untuk semua yang telah aku lalui selama ini. aku sadar bahwa aku tak sendiri. Tak pernah sendiri.

****

Sepertiga malam terakhir aku terjaga, berwudhu dan menyampirkan sajadah bermunajat kepadaNya. Ku ceritakan semua keluh kesahku. Hatiku terasa tentram, saat-saat inilah aku merasa paling dekat dengan sang penciptaku.

Tak ada sehelai daunpun gugur tanpa seizin dariNya. Aku yakin sangat yakin akan hal itu. semua yang telah terjadi dalam hidupku ini adalah scenario dari yang maha kuasa. Di titik ini aku harus ikhas. Dia memang bukan jodohku.

Perlahan semuanya menjadi jelas. Aku harus meyelesaikan semuanya besok. Aku juga harus mulai kembali ke aktivitasku yang dulu.

****

Kulangkahkan kaki keluar kamar, terlihat bunda dengan kesibukan pagi seperti biasanya dan Ayah duduk di teras sambil membaca Koran pagi.

Semuanya tampak seperti biasa, hanya kehadiranku yang sepertinya mengusik ritual pagi mereka. aku yang nyatanya sudah rapi dengan jilbab hijau dan gamis favoritku tampak tak terusik dengan keterkejutan mereka.

"Zarah, mau kemana nak?" Bunda menghampiriku. Ayah yang sedang focus membaca koran ikut menoleh.

Raut wajah mereka tampak khawatir. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum. Menunjukkan senyum keikhlasan bahwa aku-sekarang-baik-baik-saja tapi sepertinya yang tampak malah kegetiran.

"ada beberapa urusan di percetakan, gedung dan catring bun.." jawabku, seketika tak mampu menyembunyikan rasa sakit yang tertahan di dadaku.

Ya, pembatalan pernikahan memang sudah sebulan yang lalu, tapi nyatanya buntut dari semua itu tak sesederhana saat ia mengakhirinya.

Ku lihat ayah mengirimkan kode rahasia melalui bunda, jangan-biarakan-Zarah-pergi-sendiri!! Kurang lebih begitu, aku mengartikan kerlingan mata ayah, bunda langsung mengerti isyarat dari laki-laki yang telah menemani hidupnya selama 30 tahun ini. Seketika bunda menepuk pundakku..

"bunda temenin ya.." tawar bunda ramah

"eehmm, gak usah bund, Zarah sendiri bisa kok.."

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada suara yang mengintrupsi percakapan kami barusan.

"kalau kakak aja yang nemenin, gimana dek?" tanya kak Zaki yang entah dari mana tiba-tiba sudah ada di depanku..

"Atau aku aja yang nemenin gimana yuk?" tawar suara berat yang sangat amat kurindukan karena sudah 2 tahun aku tak mendengarnya secara langsung

Seketika aku menutup mulutku tanda tak percaya, adik kesayanganku yang sudah 2 tahun tak pulang tiba-tiba ada di depanku. "Mimpi apa kau semalam?"

"Zain, kapan pulang?" seruku sambil menghambur kepelukannya.

Tubuh kokoh itu seketika menguatkan pelukannya pada ayuk kesayangan satu-satunya ini. meski jarak umur kami 6 tahun, tapi lihat, kami sangat dekat.

"semalam, sekitar jam 1" jawabnya singkat,

"jadi, mau Zain temenin ngurus semuanya?" ulangnya

"gak usah dek, biar Bang Zaki aja yang nemenin. Ayuk tahu kamu masih capek. Ngambil Flight malem lagi.."

"serius kok yuk, ga apa apa, Zain temenin ya.."

"iih bandel banget. Bang Zaki aja. Udah istirahat lagi sana.." tolakku

Sekilas aku menatap Zain tersenyum manis dan sayangnya kelewat manis. Ayah-Bunda Bang zaki dan yuk Raya juga tak mau kalah. tapi aku tahu dibalik senyum manis mereka, ada semburat getir yang ditujukkan kepadaku

Demi hal apapun aku tersadar. semua yang ada di ruangan ini mengkhawatirkakku. Termasuk adikku—Zain. yang rela balik dari Aussie hanya untuk memastikan aku baik-baik saja menjelang satu minggu hari sacral yang tinggal angan-angan itu.

Tentu aku harus bangkit. Aku menghargai segala bentuk kepedulian ayah, bunda, Bang Zaki, Zain dan yuk Raya. Jujur aku tak ingin terus larut dalam kesedihan tiada akhir. Sementara dia yang aku rindukan justru tengah bahagia dengan "pengabdian" yang ia lakukan. 

---

gimana lanjut?

vote komennya jangan lupa

Lazarah's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang