LLS 4

1.5K 142 20
                                    

Menjelang jam makan siang, aku dan bang Zaki baru keluar dari hotel yang harusnya menjadi tempat resepsiku dilangsungkan. Menyedihkan rasanya menyaksikan ballroom hotel itu sudah mulai mempercantik diri untuk hari besarku yang seharusnya dilangsungkan minggu depan. Semua urusan yang kupikir akan mudah, malah menjadi semakin rumit tatkala aku mengangankan bahwa aku akan menjadi pengantin seminggu lagi. Hatiku berkali kali hancur. Ini sudah kesekian kalinya aku harus menarik ulang nafasku dengan berat. Tak mudah rasanya terlihat baik baik saja. Aku tahu, Semua orang memberikan tatapan kasihannya padaku, bahkan pegawai-pegawai di hotel ini. Kini, perubahan besar telah terjadi, di hari itu, sebagai gantinya hanya akan ada perayaan untuk yayasan Anak yatim karena pihak hotel dan catring menolak untuk membatalkan semuanya dengan alasan waktu resepsi yang sudah terlalu dekat.

Bang Zaki mengemudi dalam diam. Ia tak menggubris lagi urusan di hotel tadi. Ia juga tak berusaha menanyakan perasaanku. Ia sepenuhnya tahu bahwa aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri—Untuk menyerap semua kenyataan ini dengan lapang dada.

"Eehm ehmm"

Pikiranku sudah jauh ternyata, sampai aku tak mendengar bahwa bang Zaki sudah berdehem beberapa kali.

"Dek sudah sampai. Kamu gak mau ikut turun?" tanyanya

Tersadar dari lamunanku. Aku melihat sekeliling dan seperti tahu kebingunganku, Bang Zaki menjelaskan tanpa kuminta.

"ini rumah temen Abang. Maaf Abang mampir sebentar kesini tanpa memberitahumu. Abang belum sempat menemuinya sejak ia kembali ke Palembang. " Jelasnya panjang lebar.

Aku mengangguk pasrah. Mau protespun percuma, karena rumahnya juga sudah di depan mata.

"kamu mau ikut turun atau.."

"Zarah nunggu di mobil aja. Jangan lama ya Bang." Ingatku. Aku sengaja mewanti wanti Bang Zaki soal ini. sesuai kebiasaanya, kalau sudah ngobrol dengan teman lama, Ia seolah amnesia akan waktu.

Dalam sekejap mata, bang Zaki sudah sepenuhnya menghiilang di balik pintu kayu yang diplitur dengan warna senada. Di saat hampir bersamaan, aku mulai mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ehmm, halaman rumah ini cukup membuatku terkesan. Halamannya tidak terlalu besar, hanya saja semua terlihat begitu tertata. Pot pot bunga anggrek beragam warna dan jenis berada tepat di bawah jendela. Di sampingnya ada kolam ikan kecil dengan pancuran di tengahnya.

Kekagumanku terhenti saat ada seseorang yang menghampiriku. Dia tersenyum singkat saat mata kami sekilas bertemu pandang. Pandangan itu hanya sekilas, harusnya tak ada percikan apapun. tapi kenapa mukaku tiba tiba terasa panas? tapi seolah tak terjadi apa-apa, ia berjalan dengan pelannya lalu mengetuk kaca mobil.

Kenapa kami harus bertemu lagi? Gumamku dalam hati.

"Zarah" panggilnya pelan

Aku menolehkan kepalaku merespon panggilannya barusan. Ia kembali melengkukan senyuman. Senyuman yang lebih lembut dari sebelumnya. Untuk sesaat kami hanya diam dengan posisi aku yang masih duduk di dalam mobil dan dia berada di samping kaca. Tak ada satu katapun terucap, suasana terasa begitu canggung, sebelum bang Zaki memecahkan kecanggungan itu dengan teriakannya.

"Dek, ikut masuk. Udah dibikinin minuman nih" teriak bang Zaki dari teras depan rumah

Aku mengangguk sebagai jawaban walaupun aku tak yakin bang Zaki bisa melihatnya. Di saat hampir bersamaan, dia membukkan pintu mobil untukku.

"terima kasih" ucapku

Kami berjalan beriirngan sedang bang Zaki sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu

"Zarah, apa kabar?" tanyanya mengawali

"Baik. Seperti yang terlihat" jawabku. akhir akhir ini aku sedikit sensi dengan pertanyaan 'apa kabar'. Sudah terlalu banyak orang yang menanyakan itu padaku. mereka seolah ingin mengulik bagaimana perasaanku setelah apa yang menimpaku.

Merasa enggan untuk bertanya balik, kupercepat langkahku agar tak ada lagi obrolan tak-nyaman diantara kami.

Bergabung dengan Bang Zaki di ruang tamu membuatku mengerti satu keadaan dimana pertemuan ini bukanlah sebuah kebetulan seperti yang dibilang Bang Zaki bahwa ia hanya ingin say hi dengan sahabat lamanya ini. Walaupun motif pastinya belum bisa kupastikan. tapi aku tak cukup bodoh untuk membaca semua ini. Lihat saja, diantara kami bertiga hanya bang Zaki yang terlihat paling komunikatif. Ia berbicara banyak hal dan secara tak langsung memaksa kami untuk terlibat. Aku sempat memelototi bang Zaki setelah mata kami sekilas bertemu. Ia hanya tersenyum. Senyuman paling congkak selama seumur hidup aku mengenalnya.

Hening

Ada jeda beberapa saat dari semua celotehan gak-penting bang Zaki. Ia terlihat begitu berusaha menghidupkan suasana kaku diantara kami.

"Eh ehmm" Bang Zaki bergumam lagi, entah untuk yang keberapa.

Aku tak segera menoleh setelah mendengar gumaman yang aku tahu dibuat-buat itu. pikiranku terlalu sibuk mencerna semua ini. tubuhku memang berada di ruangan ini, namun ingatanku sudah melanglang buana menembus ruang dan waktu untuk kembali pada masa akhir putih abu abuku.

Masa dimana aku pertama kali mengenal cinta. Bukan, bukan pada teman seangkatan atau senior di sekolah. Tapi pada dia—teman karib kakakku yang pernah menginap selama satu bulan di rumahku sepanjang liburan semesternya.

Dari cerita yang kudengar ketika kakak pertama kali memperkenalkannya pada Ayah-bunda, dia adalah anak tunggal yang tinggal dengan Ibu dan mbahnya. Ayahnya sudah meninggal dunia sejak dia masih SMP. Dia tidak bisa mudik ke kampung halamannya di Kediri karena ada beberapa project yang harus dia dan kakakku selesaikan selama libur semester ini.

Selama sebulan penuh—30 hari dan 24 jam, aku belajar mengenalnya. Dari hanya sapaan sopan di awal perkenalan hingga akhirnya dia menjadi mentorku untuk persiapan SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri). Aku tidak pernah memintanya, dia menawarkan diri sendiri setelah melihatku beberapa kali kesulitan mengerjalan soal. Mulanya aku hanya kagum pada ketekuanannya mengajariku, tapi semakin hari rutinitas itu menjadi candu. Aku selalu menunggunya di ruang tamu hampir di setiap malam ketika dia pulang dari mengerjakan projectny bersama Bang Zaki. Walaupun terlihat lelah, namun ia tetap mengajariku dengan tekun, tetap sabar walaupun ia perlu mengulang penjelasan di beberapa bagian. Pada bagian ini aku salut. Saat bang Zaki sudah masuk kamar dan mungkin sudah tertidur pulas, dia masih disini menemaniku belajar bahkan mengoreksi beberapa soal yang kukerjakan. Dia juga memberi beberapa rumus singkat cara cepat mengerjakan soal yang cukup bisa kupahami. Diakhir sesi mentoring itu—yang berarti di hari ke-tiga puluh sejak aku mengenalnya, ia mengusap kepalaku seperti yang sering bang zaki lakukan seraya berkata "semangat Dek Zarah! Kamu pasti bisa" aku mengangguk malu malu sebagai responku atas tindakannya barusan. Dia sama sekali tak sadar jantungku sudah berdebar begitu cepatnya. Berminggu-minggu setelah hari itu aku tersadar, aku bukan sekedar kagum padanya, tapi ada satu rasa yang masih sulit kunamai namun sudah begitu bersemi dihati.

"Zarah" lamunanku seketika buyar

aku mengenal suaranya. Jelas bukan bang Zaki yang memanggilku.Aku menganggkat kepalaku untuk merespon panggilannya

"Zarah, sudah jadi perawat kan ya?" tanyanya ramah

Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaannya barusan.

"sudah dari lima tahun yang lalu" jawabku menekankan kata 5 tahun

Ia tersenyum lembut. Kulihat bang Zaki memasang cengiran dari tempatnya duduk.

"sama kayak Umi kakak" ucapnya menambahkan

Aku hanya bisa mengangguk-angguk bodoh. Betapa ia tak menyadari posisiku saat itu. bertahun tahun aku memendamnya. Bertahun tahun aku harus meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah masuk jurusan, bahwa mungkin saja aku akan jadi pilihannya bila aku menjadi seorang perawat sama seperti ibunya.

Tapi aku salah, rasa sayangnya pada ibu, membuat ia bahkan lebih memilih pilihan ibunya daripada diriku.

Ya, aku hanya dianggapnya adik layaknya bang Zaki kepadaku.

---

ditunggu vote dan komennya 

Lazarah's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang